Utak-atik Data, Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme


author photo

2 Agu 2021 - 11.22 WIB


Penulis : Mutia Puspaningrum ( Aktivis Muslimah Balikpapan)

Memasuki tahun kedua, terlihat bagaimana jungkir baliknya pemerintah dalam menangani pandemi. Baik pemerintah pusat maupun daerah diduga telah memanipulasi data angka kasus covid19 demi penilaian keberhasilan penanganan pandemi. Menteri Kesehatan  Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan pers pada hari Senin (26/7) di Kantor Presiden, melaporkan bahwa pada saat itu BOR (Bed Occupancy Rate) atau tingkat keterisian tempat tidur untuk pasien COVID-19 menurun. Hal ini juga diperkuat dengan statement Satgas Penanganan COVID-19 melalui channel Youtube BNPB pada Selasa (27/7) yang menyampaikan perkembangan berupa kasus harian yang cenderung turun, kasus sembuh yang meningkat, namun kasus kematian mengalami peningkatan.

Hal tersebut mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga (UNAIR) Yanuar Nugroho yang menilai bahwa data penurunan kasus COVID-19 ini bermasalah. Berkurangnya jumlah testing ditengarai menjadi penyebab penurunan angka kasus COVID-19 beberapa waktu belakangan (kompas.com 22/07/2021). Senada dengan hal tersebut, Ahli Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riyono menilai bahwa kasus harian COVID-19 di Indonesia masih meningkat, penurunan kasus harian berbarengan dengan penurunan jumlah testing. Beliau menegaskan seharusnya jumlah testing tidak boleh menurun. Ditambah lagi jumlah kematian yang meningkat. Terlalu prematur untuk mengatakan bahwa pandemi terkendali (kontan.co.id 22/07/2021).

Dilansir dari tempo.co (12/7/2021) MenKes mendapatkan laporan perihal banyaknya pemerintah daerah yang menutupi angka kasus COVID-19 di wilayahnya yang bertujuan untuk menghindari kategori zona merah. Selain itu, Dr dr Sutrisno SpOG (K) Ketua IDI Jatim meminta pemerintah daerah tidak menutup-nutupi data riil covid19 di provinsi tersebut. Pasalnya jumlah pemakaman covid19 di lapangan jumlahnya mencapai 20 hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan jumlah kematian yang dirilis. Beliau mengatakan ada beda yang jauh antara  data-data yang dipublikasikan dengan realitas yang dihadapi fasilitas kesehatan dan masyarakat (detik.com 28/07/2021).

Tidak berlebihan jika banyak pihak menilai bahwa pemerintah kewalahan menghadapi pandemi ini. Alih-alih mengendalikan pandemi, pemerintah justru mengendalikan data yang berkaitan dengan pandemi, yang sesungguhnya hal ini akan berakibat kekacauan yang lebih parah. Namun hal itu tidaklah aneh jika kita menilik bahwa PPKM adalah sebuah kebijakan yang berat bagi pemerintah. Karena dengan diterapkannya PPKM maka pemerintah harus menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk berbagai macam jenis bantuan sosial. 
Keberatan pemerintah nampak pada ucapan MenSos Tri Rismaharini yang dilansir dari kompas.com (6/7/2021). Beliau mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa terus menerus memberikan bantuan sosial dan menyarankan masyarakat untuk mematuhi prokes. Jika tidak, kita tidak bisa menggerakkan ekonomi. 

Maka berbagai upaya dilakukan agar kebijakan PPKM ini segera berakhir. Termasuk mengutak-atik data kasus COVID-19. Padahal data amatlah penting dan sangat berpengaruh terhadap langkah atau kebijakan yang akan di ambil oleh pemegang kebijakan. Salah data pasti akan berefek nantinya.

Inilah sebuah sistem kehidupan, yang saat ini diterapkan di banyak negara termasuk di Indonesia. Sebuah sistem yang pengaturan kebijakannya lahir dari kepentingan para pemilik modal yang dikenal dengan sistem kapitalisme. Sistem ini secara perlahan dan pasti melahirkan penguasa yang bermental pengusaha. Segala hal di ukur dengan asas manfaat, untung apa rugi. Termasuk yang berkaitan dengan hak hidup, bahkan tentang pandemi ini sekalipun. Semua di ukur dengan kacamata ekonomi. Termasuk kebijakan dalam penanganan pandemi inipun lebih melihat bagaimana sektor ekonomi tetap berjalan, bahkan pariwisata masih saja tetap digalakkan ketika awal pandemi ini ada.

 Penyelamatan nyawa manusia tidaklah menjadi prioritas utama. Aturan setengah hati kerap diperlihatkan. Pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang terdampak COVID-19 tidak bisa tercover. Akibatnya angka yang diberi bantuan menjadi sangat kecil jika di bandingkan dengan jumlah penduduk. Bahkan data penerima bantuan inipun juga bermasalah. Kesalahan yang terus berulang yang berefek pada dana yang di keluarkan pemerintah, hingga berakibat terjadinya dana salah sasaran. Hal ini sangat mungkin terjadi di dalam sistem kapitalisme dikarenakan semua segmen mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Semua segmen bisa mendata, akibatnya data menjadi berbeda dikarenakan ada standar dan batasan yang dipakai tidak sama.

Semua itu tentunya berkaitan dengan pos pembiayaan. Sistem yang telah membentuk mental penguasa menjadi pengusaha tentu akan mengkalkulasi untung dan rugi dalam mengeluarkan bantuan untuk rakyat kecil. Namun di waktu yang sama sangat memanjakan para pemilik modal, cukup dengan kebijakan yang berpihak kepada para pemilik modal ini. 

Pergantian istilah kebijakan dalam penanganan pandemi ini, mulai dari PSBB sampai PPKM berlevel, tetap tak merubah substansi. Tetap saja tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Tetap saja memenuhi kebutuhan mendasar bagi masyarakat akan di anggap beban, karena bagi pemerintahan kapitalis membiayai rakyat sama dengan membuang uang dan tidak akan balik modal. Rekomendasi para ahli untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah pun hanyalah angan-angan rakyat semata.

Mari kita bandingkan sistem tersebut dengan sistem Islam. Rasulullah saw. Bersabda, "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad). Dalam sistem Islam seorang khalifah akan mengurus urusan umatnya dengan dasar keimanan kepada Allah SWT dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Mereka tidak membuat aturan dan kebijakan yang dapat mendzalimi umatnya karena ketakutan mereka kepada Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, "Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim." (HR Tirmidzi).

Khalifah akan membuat kebijakan yang berdasarkan pada hukum syara yang diperintahkan Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dan Islam sebagai ideologi yang memiliki solusi pandemi sesuai sunatullah, yaitu lockdown (karantina wilayah). Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya." (HR Muslim). Khalifah akan memenuhi kebutuhan umatnya ketika lockdown karena menjalankan tanggung jawab sebagai seorang raa'in (pengurus).

Seorang khalifah tidak memerlukan pencitraan di hadapan manusia. Sehingga tidak diperlukan rekayasa data seperti yang terjadi di sistem kapitalis yang rusak saat ini. Dari Ma'qil Bin Yasâr Radhiyallahu anhu berkata, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allâh untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allâh mengharamkan surga atasnya (Muttafaq alaih).
Bagikan:
KOMENTAR