Utak-atik Data Pandemi, Rakyat Makin Sekarat


author photo

1 Agu 2021 - 16.42 WIB



Oleh: Fadilah Rahmi, S.Pd
(Aktivis Muslimah)

Sudah 1,5 tahun Indonesia berjibaku melawan pandemi Covid-19. Tidak ada yang tahu pasti kapan pandemi akan segera berakhir dan Indonesia dapat kembali pulih. Melihat setiap kebijakan yang kadang tak masuk akal, tidak memberi solusi tuntas, bahkan baru-baru ini pemerintah pusat dan daerah harus berakrobat dengan angka-angka dan diduga mengutak-atik atau memanipulasi data penambahan kasus Covid-19.

Dilansir dari CNN Indonesia, penambahan kasus harian Covid-19 di Indonesia mencapai 34.257 orang pada Senin (19/7). Jumlah itu turun usai sepekan terakhir jumlah harian berada di kisaran angka 40-50 ribu. Epidemiolog Universitas Indonesia Hermawan Saputra menilai, penurunan kasus harian covid-19 selama tiga hari terakhir tak menunjukkan bahwa kasus benar-benar turun melainkan karena jumlah testing yang masih rendah

Dilansir dari KOMPAS.com , anggota Komisi IX DPR Alifudin meminta pemerintah transparan terkait turunnya jumlah tes Covid-19, yang saat ini berdampak ke turunnya angka kasus Covid-19.

Alifudin mengatakan, sejumlah asumsi pun muncul bahwa penurunan angka tes Covid-19 ini berkaitan dengan upaya pemerintah melonggarkan PPKM Level 4 pada 26 Juli mendatang. Sebab, fenomena ini terjadi menjelang berakhirnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4  pada 25 Juli 2021.

Utak-atik data seperti ini mengakibatkan turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam mengatasi pandemi. Kebijakan yang berfokus pada penuntasan pandemi sangat mendesak untuk diimplementasikan. Sedangkan pengendalian data hanya menjadi tameng bagi pemerintah untuk lepas dari tanggungjawab menuntaskan pandemi.

Manipulasi data ini sungguh sangat berbahaya, karena dapat membunuh rakyat secara tidak langsung. Anggapan bahwa kasus penularan virus sudah menurun serta aman terkendali, dapat membuat suatu daerah melonggarkan kebijakan dan penanganan terhadap pandemi akan keliru dan berujung menjadikan nyawa rakyat sebagai taruhannya.

Kebijakan PPKM yang berlevel juga sangat tidak mungkin dilakukan terus-menerus. Jika PPKM diberlakukan maka pemerintah harus memberikan bantuan sosial dengan biaya yang sangat besar, sementara pemasukan negara terus berkurang atau mengalami defisit, bahkan utang negara terus membengkak. Selain itu tak jarang bansos tak tepat sasaran, terlambat disalurkan, mekanisme yang begitu rumit, hingga dana bansos yang di korupsi. Jika tidak dilakukan PPKM maka kasus Covid-19 akan terus bertambah. Hal ini membuat pemerintah bagai buah simalakama, sehingga membuat sebagian pihak memanipulasi data demi citra bahwa pandemi sudah berhasil dikendalikan dan PPKM telah berjalan efektif.

Inilah bukti nyata bahwa pemerintah telah gagal mengatasi pandemi. Sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini telah melahirkan kebijakan yang berorientasi kepada untung rugi, terlebih untung rugi dalam bidang ekonomi dan kepentingan pribadi demi menjaga nama baik. Kebijakan tidak lagi berpihak pada kemaslahatan atau menyelamatkan nyawa rakyat.

Hal ini berbanding terbalik jika yang di terapkan adalah sistem pemerintahan Islam. Pemimpin atau Khalifah akan secara serius menangani pandemi, sebab Khalifah adalah pelaksana hukum syara' yang bertanggungjawab mengurus rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari)

Sistem Khilafah telah terbukti mampu menangani wabah secara cepat. Karena penanganan wabah dalam sistem Islam dilakukan secara preventif (pencegahan), bukan cuma kuratif (pengobatan). Sedari awal pemerintahan Islam akan melakukan tindakan pencegahan agar virus tidak menyebar semakin luas, yaitu dengan memisahkan orang yang sakit atau terkena wabah dengan orang yang sehat. Sebagaimana sabda Rasullullah saw.: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari).

Artinya, pada daerah yang terdampak wabah, Pemerintahan Islam akan melakukan lockdown yang tentu saja segala kebutuhan hidup rakyat akan dijamin selama lockdown diberlakukan.
Inilah yang tidak dilakukan pemerintah hari ini. Namun, yang dilakukan hanya bersifat kuratif atau memberikan pengobatan pada yang sudah terpapar virus dan juga menggaungkan untuk melakukan vaksinasi.

Selain itu dalam sistem kapitalisme saat ini, PPKM diberlakukan, rakyat dibatasi beraktivitas, termasuk aktivitas bekerja, namun kebutuhan hidup mereka tidak ada yang menjamin. Wajar saja kebijakan ini tak digubris oleh rakyat, karena mereka tidak hanya akan mati karena pandemi, namun juga karena menahan lapar. Jika diibaratkan, siapa yang tidak ingin "rebahan" saja di rumah, namun kebutuhan hidup tetap terjamin.

Kebijakan dalam sistem Islam tidak akan menzalimi rakyat karena setiap kebijakan yang dikeluarkan Khalifah berdasarkan wahyu Allah Swt., rakyat pun akan mematuhi kebijakan Khalifah berdasarkan ketaatan kepada Allah Swt. serta karena terjaminnya kebutuhan ekonomi dan kesehatan mereka.

Dengan aturan seperti ini InsyaAllah masalah pandemi dapat segera diselesaikan dengan tuntas tanpa aturan yang berbelit-belit. Selain itu, saat pandemi pemerintahan Islam juga akan mengedukasi rakyat tentang protokol kesehatan dan apa yang harus mereka terapkan selama pandemi. 

Aturan negeri ini terus berganti mulai dari PSBB sampai PPKM, namun tidak ada yang menjamin kebutuhan ekonomi rakyat. Data di utak-atik, membuat rakyat kian sekarat melawan pandemi. Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam secara menyeluruh yang mampu memberikan solusi dan menyelesaikan seluruh problematika manusia.
Wallahu a'lam bishawab
Bagikan:
KOMENTAR