Akidah Tak Terlindungi Dalam Naungan Demokrasi


author photo

14 Sep 2021 - 10.40 WIB



Oleh : Sri Mulyati
(Pemerhati Masalah Sosial)

Beberapa hari yang lalu telah terjadi  perusakan masjid dan bangunan milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Balai Gana, Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Sekretaris Jendral PBNU, Helmy Faishal Zaini meminta kepada semua pihak untuk menghormati hukum dan aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia menyikapi perusakan tersebut

Helmy mengecam keras aksi pengerusakan masjid milik Ahmadiyah yang dilakukan pihak tak bertanggung jawab tersebut. Baginya, tindakan itu telah bertentangan dengan nilai agama dan hukum yang ada di Indonesia. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210905173326-20-690005/nu-muhamadiyah-minta-aparat-tindak-perusak-masjid-ahmadiyah).

Dilansir dari laman yang lain, dia meminta masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi. PBNU, kata dia, senantiasa mengajak masyarakat mengedepankan prasangka baik untuk membangun kebersamaan yang baik.  "Mari bangun dialog antar umat beragama, atau antar mazhab, agar kita senantiasa dapat hidup dalam satu ikatan kewarganegaraan sehingga kita dapat menyelesaikan persoalan ini dengan baik," ujarnya. 

Dia juga meminta aparat keamanan untuk mengusut dan menindak tegas seluruh oknum yang menyebabkan kerusakan Masjid Ahmadiyah, dan mengajak seluruh warga Indonesia untuk bersama menciptakan Indonesia yang lebih baik. (https://republika.co.id/berita/qyyd9d320/kasus-mesjid-ahmadiyah-sekjen-nu-kita-bukan-negara-barbar).

Pada dasarnya Ahmadiyah bukan bagaian dari kelompok Islam lantaran mereka meyakini bahwa ada nabi setelah nabi Muhammad SAW yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Ajaran dari kelompok ini jelas keliru atau menyimpang dari asal usul akidah Islam yang meyakini bahwa nabi terakhir atau penutup adalah Nabi Muahammad SAW. Seperti firman Allah, "Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang diantar kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (TQS. Al-Azab ayat 40).

Kelompok ini dianggap sesat tidak hanya MUI yang mengecam, tapi seluruh dunia mulai dari Oki dan sebagainya. Ketika terjadi konflik di Sintang, Kalimantan Barat, sesungguhnya merupakan bentuk dari konflik sosial akibat provokasi kelompok aliran sesat ini yang masih eksis di tengah-tengah muslim. Pangkal persoalan ini bukan terletak pada sikap masyarakat, namun karena tidak adanya upaya maksimal negara menghilangkan eksistensi aliran sesat tersebut. Semestinya kelompok ini harus segera ditangani sampai ke akarnya.

Negara tidak mampu menangani aliran sesat karena mengadopsi nilai Liberalisme, HAM dan antidiskriminasi. Atas nama kebebasan beragama, negara tidak berbuat apa-apa. Justru membiarkan bahkan melindunginya sebagai agama yang diakui keberadaannya. Ini terlihat seperti negara memberi peluang bagi siapa pun untuk keluar dari agamanya dan memeluk agama baru. Begitulah kebebasan beragama berlaku. Mau keluar masuk agama mana pun, itu hak warga negara. Negara tak boleh melarang hak individu dalam beragama.

Alhasil, penerapan sistem kapitalisme demokrasi telah memberi banyak kerugian kepada umat Islam karena tumbuh suburnya aliran sesat  yang mengaburkan dan menyesatkan akidah Islam yang lurus. Negara kapitalisme demokrasi gagal melindungi umat dari penyesatan dan pendangkalan akidah Islam.

Solusinya bukanlah dengan meningkatkan toleransi antarwarga, sebab Islam mengharamkan toleransi terhadap kesesatan. Solusinya adalah dengan menegaskan kriteria aliran,  melarangnya hadir di tengah-tengah  masyarakat. Menurut pandangan Islam, sebuah kelompok atau jamaah telah diatur oleh Allah Swt. Adapun syarat jamaah tersebut adalah tidak boleh melenceng dari ajaran Islam. Maka Ahmadiyah tidaklah dianggap kelompok Islam karena  akidahnya dinilai cacat.

Dalam surah Al Imran: 104, disebutkan bahwa keberadaan jamaah Islam hukumya fardu kifayah. Ayat ini pun membatasi aktifitas kelompok tersebut, yaitu berdakwah pada Islam dan amar makruf nahi munkar. "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh  (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (TQS Al Imran:104).

Sistem Islam menjadikan negara sebagai perisai yaitu tempat umat berlindung padanya. Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah 'Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya." (HR Bukhari dan Muslim)

Maka, ketika ada kelompok yang telah dinyatakan kesesatannya, kelompok tersebut akan disejajarkan dengan golongan murtad. Kewajiban pertama bagi Khalifah adalah menasihati mereka dan menunjukkan ke jalan kebenaran. Setelahnya, Khalifah wajib menjelaskan kesesatan mereka dan meminta mereka untuk tobatan nasuha.

Jika pada batas yang sudah ditetapkan, para penganutnya masih tidak mau bertobat, barulah mereka diperangi layaknya orang-orang murtad. Apalagi jika kelompok tersebut merusak persatuan umat muslim dan terbukti bersekongkol dengan orang-orang kafir, Khalifah akan segera bertindak menyelesaikannya sebelum bahaya yang menimpa Islam dan kaum muslim makin besar.

Oleh karena itu,  konflik berkepanjangan yang terjadi akibat banyaknya aliran sesat hanya akan bisa terselesaikan manakala negara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dengan itu, fungsi negara sebagai penjaga akidah umat Islam dari berbagai penyimpangan, pendangkalan serta penyesatan akan berjalan sesuai syariat Islam yakni berfungsi menjaga agama, akal, jiwa, harta dan keamananya. Sehingga kehidupan umat pun akan senantiasa diliputi ketenangan dan kedamaian dalam beribadah. Wallahu'a lam.
Bagikan:
KOMENTAR