Undang-Undang IKN telah di Sah kan, Semakin Menguatkan Penjajahan


author photo

20 Jan 2022 - 11.10 WIB


_Oleh : Novita Ekawati_ 

Uji publik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) pada Selasa, 11 Januari 2022, di Universitas Mulawarman, disebut kurang memadai. Hal tersebut dikarenakan uji publik berjalan dalam waktu yang sempit, hanya satu jam dan banyak substansi penting yang belum diatur dalam RUU. 

Sejumlah akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman melayangkan penolakan terhadap pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Ibu Kota Negara Baru (IKN). Sikap akademisi Fakultas Hukum Unmul tersebut menjadi satu dari empat pernyataan sikap yang disampaikan usai Konsultasi publik RUU IKN. (https://kaltimkece.id ) 

Penolakan ini diantaranya didasari karena kewenangan dan hubungan Badan Otorita IKN yang besar dibandingkan pemerintah daerah di Kaltim. Selain itu, tujuan pemindahan IKN pun dikhawatirkan bergeser dari pemerataan pembangunan menjadi pencaplokan wilayah. 

Akademisi Fakultas Hukum Unmul juga merasa khawatir akan penetapan ini yang hanya dilakukan berdasarkan Perpres. Akademisi Hukum Unmul menilai rencana induk IKN terlalu memberikan proporsi berlebihan kepada pemerintah atau pihak eksekutif tanpa mendapat kontrol dan pertimbangan dari legislatif sebagai bagian dari masyarakat. 

Meski mendapatkan penolakan dari berbagai pihak dan akademisi proyek pemindahan IKN tetap dikebut dan terburu-buru. DPR RI pun akhirnya tetap menyetujui dan mengesahkan RUU IKN menjadi UU pada tanggal 18 Januari 2022. Sehingga dengan UU ini proses pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) bisa segera dilaksanakan. 

*Penguasa dalam Kendali para Kapitalis* 

Pemerintah yang ngotot dengan proyek ini di tengah kontradiksi pihak yang kontra, pemerintah seakan tidak peduli dan proyek tetap berlanjut. Ada beberapa alasan pemindahan IKN ini diduga sebagai proyek ambisius pemerintah. Di antaranya, proyek ini menelan biaya yang tidak sedikit di tengah kondisi keuangan APBN negeri ini yang jauh dari kata cukup. Sehingga menjadi peluang bisnis bagi para kapitalis. Peluang mengajak pihak lain, baik pihak swasta lokal terutama asing untuk menginvestasikan dananya dalam proyek IKN semakin terbuka lebar. 

Dibukanya pintu investasi asing pun menjadi sangat berbahaya dikarenakan peluang privatisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi dari para oligarki kapitalis akan semakin kuat di negeri ini. Beban utang negara juga terus bertambah. 

Ketergantungan pada investasi asing tidak akan menjadikan negeri ini mandiri dan berdaulat. Menggantungkan pengelolaan negara kepada investasi asing hanya akan membuat negeri ini mudah tereksploitasi, baik secara politik maupun ekonomi. Jika demikian, kondisi ini tidak ada bedanya dengan penjajahan. Hal ini jelas berbahaya. Terjarah SDA-nya, terbajak potensinya, dan terkuasai aset dan pengelolaannya. 

Penguasa seringkali bersikap otoriter dalam melegalkan UU demi melancarkan kepentingan korporasi/asing. Jika UU-n-ya tak sesuai, bisa diubah dengan usulan RUU atau revisi UU yang ada agar sejalan dengan kepentingan mereka. 

Penguasa dalam sistem kapitalisme tidak akan pernah bisa bekerja untuk kepentingan rakyat. Mereka terpilih hanya untuk memuluskan jalan bagi kepentingan oligarki kekuasaan. Negara hadir justru sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemilik uang. Mengingat mekanisme pemilihan pemimpin ala demokrasi telah menempatkan mereka sebagai pemilik sejati kekuasaan. Jikapun ada kebijakan yang berpihak kepada rakyat, sifatnya setengah hati, tidak totalitas melayani rakyat. 

Dalam sistem politik demokrasi, negara serasa milik segelintir orang. Gurita oligarki akan selalu terbentuk selama ada kepentingan dan keinginan meraih kekuasaan. Inilah konsekuensi hidup dalam sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Penguasa atau negara dalam sistem ini tak berfungsi sebagai pengurus dan penjaga umat. Padahal, dalam Islam, rakyatlah pemilik sejati kekuasaan. Adapun penguasa adalah pemegang amanat untuk menjalankan urusan-urusan rakyat berdasarkan syariat Islam. 

Dalam Islam, kepemimpinan pada hakikatnya adalah melayani. Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya. Karena itu, seorang pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan visi misi pelayanan untuk korporasi, swasta, atau asing. Oleh karenanya, tak ada yang bisa menyetir penguasa kecuali syariat dan kemaslahatan umat. Jika penguasa berkhianat, cukuplah hal itu sebagai alasan bagi umat untuk mencabut mandat. 

Baginda Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya benar-benar menjadi teladan kepemimpinan ideal. Mereka berjalan di atas rel syariat serta menjadikan kepentingan rakyat dan negara sebagai hal yang utama. _Wallahu a’lam bishshawab.[]_
Bagikan:
KOMENTAR