Islamfobia di Dunia Pendidikan, Intelektual Muslim Harus Melawan


author photo

16 Mei 2022 - 14.05 WIB



Baru-baru ini dunia pendidikan mendadak gaduh akibat sebuah unggahan di laman facebook milik seorang profesor yang dinilai mengandung unsur islamfobia (anti islam). Tulisan tersebut diunggah oleh akun dengan nama Budi Santosa Purwokartiko, seorang rektor Institut Teknologi Kalimantan. Pada unggahan tersebut, Professor Budi Santosa menceritakan pengalamannya mewawancarai beberapa mahasiswa calon penerima beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) dan mengapresiasi mereka karena dianggap berpikiran terbuka dan tidak mengenakan kerudung (penutup kepala). Dalam potongan layar unggahan tersebut tertera kalimat Prof Budi yang menyatakan "..dari 12 mahasiswi yang saya wawancarai tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun." Jelas kalimat ini dianggap sebagai bentuk penghinaan kepada umat islam khususnya para muslimah yang berhijab. Dalam tulisannya tersebut, Prof Budi juga memperlihatkan reaksi alergi terhadap kalimat-kalimat bernuansa religius seperti InsyaAllah, barakallah, qadarullah, dsb.  

Banyak kalangan yang menilai unggahan rektor ITK tersebut tak pantas keluar dari seorang intelektual bahkan seorang professor. Founder of Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi menilai tulisan Prof Budi Santosa tersebut bisa masuk katergori rasis dan xenophobic. Rasis diartikan sebagai adanya pembedaan berdasarkan ras (manusia gurun, Arab), dan xenophobic adalah benci pada orang asing (manusia gurun) sebagaimana yang dilansir dari fajar.co.id (01/05/2022).

Republika.co.id (04/05/2022) juga memberitakan bahwa pernyataan dugaan rasis yang ditulis rektor ITK tersebut terus memunculkan reaksi dari banyak pihak. Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih, mendesak mendikbud untuk segera mengambil tindakan tegas karena sudah masuk ke ranah hukum. Menurut Fikri unggahan tersebut layak dinilai provokatif, rasis bahkan melecehkan agama. Anggota Komisi III DPR, Guspardi Gaus juga mengatakan bahwa Prof Budi Santosa layak dipecat dari tim reviewer program LPDP.  Menurut Guspardi, apa yang dilakukan oleh Prof Budi membuat publik jadi meragukan integritas, kapasitas, dan kapabilitasnya. 

Namun di sisi lain, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menilai sanksi terhadap rektor ITK Budi Santosa--yaitu diberhentikan sementara dari posisi reviewer LPDP--masih terlalu ringan. Menurutnya, Kemendikbudiristek harus mengambil sikap tegas dalam memerangi perilaku rasis di dunia pendidikan. Baidowi mengatakan bahwa sangat tidak rasional jika mengukur kemampuan seseorang dari cara berpakaian apalagi dihubungkan dengan tingkat spiritualitas, sebagaimana yang dilaporkan oleh CNNIndonesia.com (07/05/2022).

Kasus penghinaan terhadap agama Islam semakin sering terjadi, bahkan tak jarang dilakukan oleh oknum yang berstatus seorang muslim. Sungguh mengherankan, di negeri mayoritas penduduk muslim, tapi Islamfobia tak dapat dibendung Mirisnya jika islam dan kaum muslimin yang menjadi korban penghinaan, kasus-kasus tersebut dibiarkan begitu saja tanpa tindakan konkrit. Namun jika pelaku ujaran kebencian dilakukan oleh aktivis dakwah islam dan menyerang tokoh-tokoh sekuler liberal, maka kasusnya terus dibesar-besarkan bahkan pelaku sampai diberi sanksi. Ada apa sebenarnya dengan negeri ini?

Maraknya kasus Islamfobia tak bisa dipisahkan dari racun sekulerisme liberal yang telah nyata mengakar kuat di negeri ini. Sekulerisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan termasuk dalam pendidikan. Bagi orang-orang sekuler, dalam kehidupan publik seseorang tidak perlu terikat aturan agama, apalagi dalam urusan berbangsa dan bernegara maka ajaran agama harus dijauhkan.

Jika kita menganalisis lebih dalam, kasus seperti ini terus terjadi karena konsep kebebasan berekspresi yang ada di dalam sistem demokrasi. Dengan berlindung di balik kebebasan menyatakan pendapat, para pengusung ide sekulerisme liberal begitu lancang tanpa takut mengekspresikan ketidaksukaan bahkan kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka bahkan kini semakin berani karena adanya pembiaran dan tidak ada tindak tegas ataupun sanksi yang diberikan oleh pihak berwenang. Padahal tak sedikit masyarakat yang melaporkan pelecehan dan penghinaan ini kepada aparat keamanan, namun nihil respon dan tindakan. 

Sekalipun ada RUU KUHP pasal 156 (a) tentang penistaan agama yang diklaim sebagai upaya dalam menjaga toleransi beragama, namun kenyataannya ini tak cukup kuat untuk menindak tegas para pelaku penista agama. Alih-alih memberi sanksi, kasus-kasus penghinaan terhadap agama sering sekali dianggap selesai hanya dengan klarifikasi dan permintaan maaf. Itupun hanya sebatas untuk meredam kemarahan masyarakat sesaat, lama kelamaan kasus tersebut pun akan dilupakan. Maka tak heran jika kasus serupa terus berulang sebab tak menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. 

Dari sini kita semakin sadar bahwa negeri ini dengan sistem demokrasinya tidak pernah menyelesaikan problem yang ada dengan tuntas hingga ke akar masalah. Sebab sistem demokrasi adalah sistem yang muncul dari pemikiran manusia yang terbatas. Sehebat apapun manusia, belum tentu mampu menciptakan solusi yang paripurna untuk setiap permasalahan. Seringnya menimbulkan masalah baru di kemudia hari, termasuk dalam perkara perlindungan hak beragama. Demokrasi yang dianggap mampu mengakomodir hak-hak setiap pemeluk agama, namun pada faktanya gagal menjamin kerukunan dan perlindungan beragama bagi penduduknya. Tak jarang muncul kegaduhan antar umat beragama, dan lagi-lagi para penguasa hanya bisa diam.  

Jika kita merujuk kepada pandangan Islam, barang siapa yang melakukan penghinaan terhadap agama Islam maka dihukumi seperti orang yang murtad (keluar dari agama) dan kafir. Imam Syafi'i pun pernah menyatakan bahwa mengolok-olok al Quran dengan maksud bercanda atau sebagai lelucon bisa dikategorikan sebagai kafir. Hal ini berdasarkan ayat Quran Surah At Taubah ayat 65, yang artinya: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan itu tentulah mereka akan menjawab : sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja, katakanlah "apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?".
Imam Al Maliki pun menyebutkan "Siapa yang merendahkan al Quran atau sejenisnya atau mengingkari satu huruf darinya, atau mendustai al Quran atau bahkan sampai membuktikan apa yang harus diingkari, maka termasuk kafir menurut kesepakatan ulama." 
Hukuman bagi penista agama dalam sanksi islam (uqubat) sudah jelas termasuk dalam sanksi ta'zir yang kadarnya ditentukan oleh ijtihad qadhi (hakim). Penentuan kadar ini disesuaikan tingkat kemaksiatan/pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. 

Namun, untuk menerapkan hukum syariat ini  tidak bisa bahkan tidak boleh dilakukan oleh individu atau kelompok. Hukum syariat ini membutuhkan sebuah instansi yaitu sistem pemerintahan yang menerapkan islam secara Kaffah (keseluruhan). Dalam sistem Islam, penerapan sistem uqubat islam akan menimbukkan efek jawazir (pencegah) bagi masyarakat dan sebagai jawabir (penebus hukuman) di akhirat untuk pelaku. 

Perlu diketahui, sistem Islam tidak akan memberi sanksi bagi aspirasi masyarakat/warganya selama apa yang disuarakan termasuk hal yang diperbolehkan dalam syariat. Selain itu ,sistem Islam akan membentuk karakter masyarakatnya agar senantiasa melakukan amar ma'ruf nahi mungkar (mengingatkan kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan) dengan cara yang ahsan (santun), menampilkan kebaikan-kebaikan ajaran islam sehingga menutup celah bagi penghinaan ataupun pelecehan terhadap agama. 

Inilah solusi yang ditawarkan oleh islam untuk menumpas islamfobia dan penistaan terhadap agama. Jika Umat islam berharap kasus-kasus serupa tidak terulang kembali, maka umat harus tegas melawan. Umat islam khususnya para intelektual harus bersinergi dalam membangun kesadaran politik islam, dan mengedukasi umat agar dapat memahami penerapan islam kaffah, sehingga akan terbentuk sebuah peradaban Islam yang menjaga kemuliaan Islam dan umat islam demi terwujudnya islam rahmatan lil 'alamin (Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam). 

*Oleh : Nurul Wahida, S.Pd, M.Si (Guru/praktisi pendidikan*
Bagikan:
KOMENTAR