Petaka di Tempat Wisata, Butuh Pengelolaan Oleh Negara


author photo

15 Mei 2022 - 07.46 WIB



Oleh: Mutiara Putri Wardana
Wakil Wali Kota Surabaya Armuji meminta semua fasilitas hiburan dicek kelayakannya pascakejadian ambrolnya seluncuran di Waterpark Kenpark, Kenjeran, Kota Surabaya, Sabtu, 7 Mei 2022. Insiden ini mengakibatkan 16 orang cedera.

Menurut dia, taman-taman di Surabaya banyak mainan anak-anak yang juga harus dicek apakah masih layak apa tidak. Begitu juga yang dikelola oleh pihak swasta harus sering dilakukan monitoring.

Pengelola Kenjeran Water Park di kawasan Kenpark Surabaya, Jawa Timur, mengungkap perosotan kolam renang ambruk diduga karena overload. Pengelola mengklaim selalu rutin melakukan perawatan.

Perawatan perosotan ini lazimnya dilakukan setahun sekali. Dia menyebut perosotan sudah dilakukan perawatan 9 bulan lalu, artinya masih ada waktu 3 bulan sebelum dilakukan perawatan kembali. (https://news.detik.com/berita/d-6067040/pengelola-perosotan-kenpark-surabaya-ambruk-karena-overload)


Berdasarkan keterangan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Surabaya, sambungan seluncuran air di kolam renang Kenpark tiba-tiba ambruk jatuh ke bawah sekitar pukul 13.30 WIB.  Pada saat ambruk, banyak pengunjung yang bermain di wahana tersebut sehingga sebagian pengunjung berjatuhan dari seluncuran yang ambruk dari ketinggian 10 meter. Dugaan sementara penyebab ambruk sambungan seluncuran tersebut dikarenakan lapuk.

Dalam sistem kapitalisme hari ini, pengelolaan tempat rekreasi diserahkan sepenuhnya pada pihak swasta sebagai pemilik atau pengelola. Jelas saja orientasi keuntungan akan mendominasi dan mengalahkan pertimbangan keamanan apalagi kenyamanan. Karena untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar salah satunya perlu adanya efisiensi biaya. 

Bisnis tempat wisata seringkali tak disertai dengan perawatan fasilitas yang ada sehingga wajar kejadian semacam ini terjadi. Sebab sudah watak kapitalis untuk menjadikan keuntungan sebagai prioritas di atas segalanya. 

Dalam ekonomi kapitalisme pariwisata dipandang sebagai orientasi bisnis yang cukup menjanjikan. Sementara negara menjadikannya sebagai sumber devisa, meski nilainya tak sebanding jika hasil pengelolaan sumber daya alam yang ada dikelola oleh negara sendiri, bukan swasta apalagi asing. 

Hal ini tentu berbeda dalam sistem Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Islam yang dijadikan panduan hidup ini akan memperhatikan destinasi wisata bagi warganegaranya dengan syarat tetap terikat pada hukum syara. Obyek  wisata berupa potensi alam seperti keindahan alam pegunungan, air terjun, hamparan pantai serta keberagaman flora dan fauna yang berasal dari Allah. Dengan demikian ketika melihat semua ini akan muncul kesadaran akan Maha Besar Allah sehingga semakin mengokohkan iman dan ketakwaan. 

Obyek wisata lainnya yang bisa dipertahankan adalah wisata non natural atau kunjungan ke tempat peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Hal ini agar bisa dijadikan sebagai wasilah untuk menanamkan pemahaman Islam kepada para pengunjung. Sehingga dengan hanya melihat peninggalan bersejarah tersebut dari peradaban Islam maka akan tergambar kehebatan Islam dan umatnya pada masa itu, sehingga mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Dengan demikian obyek wisata ini bisa digunakan untuk semakin mempertebal keyakinan dan keagungan Islam. 

Namun bagi wisatawan non-Muslim destinasi wisata alam dan tempat bersejarah ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan akan kebesaran Allah serta sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya. Dengan demikian destinasi ini bisa menjadi wasilah dakwah dan di'ayah (propaganda) untuk menumbuhkan keimanan pada Allah, bagi yang sebelumnya belum beriman dan semakin memperkokoh mereka yang sudah beriman. 

Lain halnya dengan destinasi wisata yang notabene merupakan peninggalan bersejarah dari peradaban lain, maka Islam dalam hal ini bisa menempuh beberapa cara yaitu: Pertama, jika tempat tersebut adalah tempat peribadatan kaum kafir dan masih digunakan sebagai tempat peribadatannya maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan, namun bangunan ini tidak boleh dipugar atau direnovasi jika mengalami kerusakan. Sedangkan ketika sudah tidak digunakan lagi maka obyek tersebut akan ditutup atau bahkan bisa dirobohkan. 

Kedua, jika tempat tersebut bukan merupakan tempat peribadatan yang di dalamnya ada patung makhluk hidup maka akan ditutup, dihancurkan atau diubah. Ataupun sejenisnya yang tidak bertentangan dengan peradaban Islam. Sejarah mencatat, ketika penaklukkan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih gereja Aya Shopia diubah menjadi masjid. Gambar-gambar dan ornamen khas Kristen pun dicat. Setelah itu yang sebelumnya adalah tempat peribadatan Nasrani berubah menjadi masjid yang digunakan untuk melakukan shalat Jumat. 

Begitulah Islam memandang pariwisata sebagai sarana taqarub ilallah dan dakwah, tidak lebih dari itu, meski mampu mendatangkan devisa bagi negara. Negara akan mengambil sumber perekonomian dari pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Keempat sumber ini akan menjadi tulang punggung Negara Khilafah.

Dengan demikian wisata dalam pandangan Islam adalah terikat dengan hukum syara. Hal ini membutuhkan kajian mendalam tentang Islam serta adanya kesadaran, kemauan, dan keistikamahan agar dakwah Islam selalu tersebar ke penjuru dunia. Hal ini dilakukan agar penerapan Islam sebagai aturan kehidupan bisa mewujudkan kembali kesejahteraan umat. Wallahu'alam
Bagikan:
KOMENTAR