Tiket Pesawat Naik, Hanya Sultan Yang Boleh Mudik


author photo

11 Mei 2022 - 16.21 WIB


Oleh : Widya Soviana Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat

Menjelang libur lebaran Idul Fitri tahun ini, masyarakat Aceh dikejutkan dengan harga tiket pesawat yang selangit. Impian untuk pulang kampung setelah dua tahun lebaran tidak mudik berakhir sirna. Rindu yang telah ditumpuk dengan kebijakan cuti yang diperpanjang tidak lantas membuat para perantau Aceh merasa girang. Mengapa tidak, cuan yang dikumpulkan tidak cukup banyak untuk menebus tiket untuk sekelas para sultan. Apatah, jumlah pemudik yang ditanggung para perantau juga sudah berlipat-lipat. Ada istri dan juga anak-anak. 

Armada penerbangan yang kerap terbatas pada tujuan Jakarta-Banda Aceh dan sebaliknya, memunculkan paradigma di tengah-tengah masyarakat Aceh bahwa pemerintah kurang memberi hati terhadap layanan penerbangan masyarakat Aceh. Harga tiket pesawat yang mencapai Rp. 9,6 juta untuk pemberangkatan Jakarta-Banda Aceh pada beberapa hari sebelum lebaran diluar perkiraan harga tertinggi dan sangat tidak pantas. Jika sebelumnya tiket pesawat hanya dijual  Rp. 2,6 juta dengan jumlah penumpang yang bisa saja tidak memenuhi kabin pesawat. Lantas mengapa, pada saat  pesawat memiliki peluang penuh harga menjadi di luar logika.

Meski intervensi telah dilakukan oleh Gubernur Aceh terkait meroketnya harga tiket penerbangan Jakarta ke Banda Aceh tersebut, namun dalih yang disampaikan oleh pihak penerbangan bahwa harga tiket telah sesuai dengan koridor dan ketentuan yang berlaku (Kompas.com, 01/05/22). Tingkat permintaan yang sangat tinggi, yang disebabkan membludaknya jumlah pemudik tidak dapat diatasi dengan telah melakukan penambahan penerbangan untuk memenuhi kuota pemudik. Alhasil, hanya yang bergelar sultan yang mampu menjangkau sistem penerbangan tersebut.

Berangkat dari sistem ekonomi yang diadopsi oleh negara yang berdasarkan sistem kapitalisme, sehingga menjadi wajar bahwa dasar tujuan dari kegiatan ekonomi adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Fungsi layanan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi nomor sekian dalam prinsip ekonomi tersebut. Penyerahan layanan umum sebesar-besarnya kepada swasta menjadikan negara lepas tangan terhadap kebutuhan hidup masyarakat banyak. Padahal, negara seharusnya bertanggung jawab terjadap layanan transpotasi publik yang berkualitas dan terjangkau. 

Disamping itu, peran indatu yang telah menyumbang pesawat perdana di negeri ini seakan memang sudah lama dilupakan. Dahulu, memang masyarakat Aceh bisa menyumbangkan pesawat terbang, namun sekarang tidak semua orang Aceh bisa menikmati penerbangan. Laksana kacang yang lepas dari kulitnya. Begitulah sekilas gambaran maskapai penerbangan di hati masyarakat Aceh. Berbeda halnya dengan kisah lada sicupak, yang dengan rempah segenggam mampu menawan hati sang sultan khilafah Utsmaniyah terhadap masyarakat Aceh dalam menghadapi musuh di medan perang. Berbagai bala bantuan yang diberikan atas dasar persaudaraan dan keimanan, jauh di atas asas manfaat dan untung rugi sebagaimana dalam iklim kapitalisme saat ini.

Negara khilafah hanya akan menjalankan sistem ekonomi berasaskan sistem Islam, termasuk dalam hal pelayanan transportasi publik. Negara khilafah menjadikan prioritas pelayanan terhadap masyarakat secara layak dan tercukupi atas dasar hukum syara' bukan atas dasar keuntungan materi. Hal ini yang menjadikan sistem negara khilafah sangat jauh berbeda dengan sistem negara demokrasi-kapitalisme. Namun demikian, bukan berarti negara khilafah tidak boleh mendapatkan keuntungan dari sistem ekonomi tersebut. Hanya saja, masyarakat tidak dibebani dengan kepentingan pada bisnis orientasi profit. Masyarakat dalam sistem negara khilafah hanya  dibebankan pada harga produksi saja, boleh mengambil keutungan dengan nilai yang wajar dan tidak berlipat ganda. Dengan demikian, seluruh masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan transpotasi publik tersebut meski tidak bergelar sultan seperti yang terjadi pada saat ini.[]
Bagikan:
KOMENTAR