Karhutla Kembali Berulang, Bukti Solusi Kurang Mendalam?


author photo

9 Agu 2022 - 10.11 WIB




Oleh: Djumriah Lina Johan
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Kebakaran lahan kawasan Bukit Parombahan (Simpang Gonting), Desa Aek Sipitudai, dan lahan kawasan Bukit Desa Siboro, Kecamatan Sianjur Mulamula, juga ikut terbakar, Jumat 5 Agustus 2022 malam. Hal itu dibenarkan Camat Sianjur Mulamula Sihar Limbong kepada Sumut Poskota.co.id saat dihubungi via telepon. Saat ini, katanya, kepolisian dan pemadam kebakaran sudah turun melakukan pemadaman di Bukit Desa Siboro. "Ini baru selesai kami padamkan," ujar Sihar.

Tak hanya di Bukit Desa Siboro, kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) juga terjadi di Provinsi Riau hinggamencapai 1.060,85 hektare. Angka luas Karhutla tersebut dihimpun selama periode Januari hingga Juli 2022.

Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edy Afrizal, Jumat, 5 Agustus 2022.
Edy menyampaikan rekapitulasi luas lahan kejadian Karhutla tersebut tersebar di berbagai kabupaten kota di Riau. Disebutkan Edy, terdapat 12 kabupaten dan kota yang mengalami karhutla. 4 Kabupaten di antaranya menjadi kawasan paling luas mengalami Karhutla.

"Rokan Hulu (Rohul) 302.50 hektar, Kampar 139.47 hektare, Bengkalis 136.70 hektare, Rokan Hilir (Rohil) 147,  Pelalawan 113.20 hektar," ungkapnya saat dihubungi SELASAR RIAU.
Karhutla juga terjadi di Indragiri Hulu (Inhu) seluas 31.90 hektare, Indragiri Hilir (Inhil) 80.50 hektare, Kuansing 0.50 hektare, Meranti 32,10 hektare, Siak 13.24 hektare, Pekanbaru 13.79 hektare, Dumai 49.95 hektare.

Pembakaran lahan secara sengaja demi perluasan perkebunan kelapa sawit bukan pertama kalinya terjadi di negeri ini. Tak hanya di Sumatera. Hutan di Kalimantan dan Papua pun hingga kini masih mengalami hal serupa. Dan hal ini tidak bisa dibawa ke jalur hukum sebab mereka, yakni korporasi memiliki hak konsesi lahan.

Sedang masyarakat yang merasakan dampak buruk pembukaan dan perluasan perkebunan kelapa sawit hanya mampu menangis. Karena negara tak berdiri di samping mereka sebagai pelindung dan penjaga.

Sudah puluhan hingga ratusan kasus, ketua adat hingga anggota masyarakat yang berjuang demi mempertahankan tanah dan hutan adat mereka justru berhadapan dengan jeruji besi atau bahkan merenggang nyawa.

Sehingga nampaklah bahwa polemik pembakaran hutan secara sengaja ini bukan hanya perkara parsial melainkan dampak sistemik sistem Kapitalistik. Kapitalisme yang berdiri di atas landasan kebebasan kepemilikan harta milik umum menjadi harta milik pribadi/swasta/korporasi menjadikan rakyat mati di tengah kekayaan yang sejatinya milik mereka.

Sistem kufur ini pula menjadikan negara sebatas regulator. Negara diam dan menutup mata atas pengrusakan lahan puluhan, ratusan, hingga jutaan hektar hutan yang sejatinya paru-paru dunia. Semua disebabkan pengadopsian ideologi Kapitalisme.

Sejatinya hanya sistem Islam yang mampu memberikan jawaban atas permasalahan lingkungan dan penjagaan hutan ini. Sebab, Islam adalah agama sekaligus ideologi politik yang berasal dari Allah, Al Khalik Al Mudabbir (Pencipta dan Pengatur). Penerapan Islam secara kafah dalam bingkai negara akan mewujudkan Islam rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam.

Lantas bagaimana cara Islam dalam mengelola hutan dan lahan?

Pertama, hutan termasuk dalam harta kepemilikan umum, bukan milik individu atau negara. Rasulullah Saw. bersabda, "Kaum Muslim bersekutu (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api" (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)

Syekh Taqiyuddin An Nabhani mendefinisikan kepemilikan umum sebagai izin Allah (selaku pembuat hukum) kepada jamaah (masyarakat) untuk memanfaatkan benda secara bersama-sama. Yang masuk kategori fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, seperti sumber-sumber air, padang gembalaan, kayu-kayu bakar, energi listrik dan lainnya.

Dengan demikian jika fasilitas umum tersebut benar-benar menjadi milik umum, maka diharapkan benda-benda ataupun barang-barang tersebut dapat dinikmati masyarakat secara bersama.

Kedua, hak mengelola hutan sebagai harta milik umum berada di tangan negara, bukan swasta atau individu. Islam melarang penguasaan aset milik umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat kepada individu atau swasta. Dalam praktiknya, kepemilikan umum harus dikelola negara dan hasil pemanfaatannya dikembalikan pada masyarakat.

Ketiga, pengelolaan hutan yang terkategori pemanfaatan yang tidak mudah dilakukan individu seperti eksplorasi tambang gas, minyak, dan emas, dibutuhkan peran negara dalam mengelolanya. Sebab, pemanfaatan jenis ini membutuhkan keahlian khusus, sarana dan prasarana, serta dana yang besar dalam memanfaatkannya. Semua ini memerlukan peran sentral negara sebagai wakil kaum muslim.

Keempat, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan individu secara langsung dalam skala terbatas, misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan, negara melakukan pengawasan dalam kegiatan masyarakat di hutan tersebut. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.

Kelima, pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).

Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat. Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (provinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya.

Keenam, hasil pengelolaan hutan dimasukkan dalam kas negara (Baitulmal) dan didistribusikan sesuai kemaslahatan rakyat menurut pandangan syariat Islam.

Ketujuh, negara wajib melakukan pengawasan serta mencegah pengrusakan hutan dan lingkungan sekitarnya. Fungsi pengawasan ini dijalankan lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (qadhi hisbah) yang bertugas menjaga hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan).

Kedelapan, negara memberlakukan sanksi tegas terhadap pelanggaran hutan seperti pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan. Sanksi ta'zir bisa berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya harus memberi efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi kejahatannya.

Itulah beberapa hal yang akan dilakukan negara yang menerapkan Islam dalam melakukan pengelolaan, pengawasan, dan pemberian sanksi terhadap hutan dan kekayaan alam yang menjadi hak milik umum. Dengan begitu, tidak akan ada celah bagi asing menguasai hajat hidup masyarakat. Tidak akan ada pula kebebasan kepemilikan individu yang mendominasi hak milik umum sebagai milik pribadinya. Wallahu a'lam. 
Bagikan:
KOMENTAR