NIK Menjadi NPWP Bukti Pajak Memalak Rakyat


author photo

7 Agu 2022 - 22.13 WIB



Oleh Mauiza Ridki Al-Mukhtar
(Aktivis Dakwah Peduli Umat dan Pegiat Literasi Dakwah)

Pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh.(bisnis.com)

Menurut Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, tidak semua yang memiliki NIK secara otomomatis menjadi wajib pajak atau membayar pajak. Menurutnya dalam Undang-Undang Perpajakan telah mengatur dengan jelas bahwa wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia dan mempunyai penghasilan melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) Rp54 juta setahun atau Rp4,5. (bisnis.com).

Penggunaan NIK menjadi NPWP akan mempermudah pembayaran pajak secara administrasi. Penggunaan NIK tersebut dianggap pemerintah memiliki prinsip keadilan, jika tidak memiliki penghasilan yang cukup tidak akan bayar, justru yang sekolah dan kuliah akan dibiayai oleh negara melalui Kartu Indonesia Pintar ( KIP) dan Kartu Indonesia Kuliah (KIP-Kuliah). Enggunaan NPWP tersebut jika dirasa tidak tepat sasaran nantinya bisa dilakuakan validasi.

Dengan diubahnya NIK menjadi NPWP bagi masyarakat yang memiliki penghasilan yang besar, hal ini dilakukan untuk menunjang dan meningkatkan penghasilan negara dari sektor pajak. Namun langkah pemerintah dalam rencana tersebut dinilai menyulitkan rakyat dan membebani rakyat. 

Tak hanya itu kondisi masyarakat yang kian sulit akibat naiknya harga kebutuhan pokok, mulai dari bahan pangan bahkan Bahan Bakar Minyak (BBM) juga dinaikkan. Ini membuktikan bahwa NIK diubah menjadi NPWP bukti pajak dari kebijakan pemerintah memalak rakyat. Karennya, Tak mengherankan jika rakyat menolak keras rencana tersebut bahkan muncul seruan di media sosial tagar stop bayar pajak (#stopbayarpajak) dan boikot bayar pajak ramai diperbincangkan di media sosial
Seruan itupun langsung ditanggapi oleh Menteri keuangan Sri Mulyani yang menjabat sebagai menteri keuangan Indonesia. Menurutnya mereka yang tak mau bayar pajak artinya tak ingin Indonesia maju. Ajakan tersebut lebih baik tak ditanggapi pungkasnya. (detiknews.com). Sri Mulyani juga menegaskan, "Jika tak ingin bayar pajak maka jangan tinggal di Indonesia.(viva.com)..

Tagar stop bayar pajak juga ditanggapi oleh Tedi Kurniadi Wakil Ketua Umum Partai Garuda, Ia mengatakan, "yang menyerukan tidak bayar pajak bisa dipidanakan, lebih lanjut Ted juga mengatakan,"orang beli rokok secara otomatis juga bayar pajak, jika tak mau bayar pajak artinya dia tidak bisa merokok. Perusahaan yang tidak mau bayar pajak akan dipidanakan dan izin usaha akan dicabut, ini sudah undang-undang yang mengaturnya,". (detiknews.cim)

Dilema Rakyat Hidup di Sistem Kufur Kapitalis

Pajak tak kan bisa dihapuskan dalam sistem kapitalis, karena pemasukan negara bertumpu dari sektor pajak dan pariwisata. Sedangkan kekayaan alam, mulai dari migas, tambang, hutan dan laut semuanya dekelola oleh pihak swasta baik lokal, asing dan aseng. Apalagi di tengah gurita hutang yang kian menggunung, dikutip dari kompas.com, pertahun 2022 hutang Indonesia tembus Rp. 7.002 Triliun. 

Rakyat kian tercekik karena hidup semakin terhimpit, pupus sudah harapan rakyat karena pajak yang selama ini menjadi beban rakyat tak bisa dihapus. Maka rakyat berharap pada sistem kapitalis untuk menghapus pajak, sama saja berharap bagaikan unta yang di masukkan ke dalam lubang jarum. Artinya tidak dapat terwujud sampai kapanpun.

Sistem Islam Yang Mampu Menghapus Beban Rakyat Akibat Pajak

Dalam sistem Islam kas negara bukanlah bertumpu pada pajak. Penghasilan negara melimpah yakni: Sumber Daya Alam (SDA) mulai dari barang tamban, hutan, laut, zakat mal, ghonimah, ushr, kharaj dan lainnya. Sehingga kas negara terap melimpah.

Daulah Islam/ negara Islam tak kan memungut pajak kepada rakyat kecuali dalam keadaan genting, yakni ketika musim paceklik dan kas negara dalam keadaan kritis. Hal ini jarang terjadi, jikapun dilakukan pemungutan pajak itu hanya bagi rakyat yang mampu, sedangkan rakyat yang tidak mampu tidak akan dibebani pajak. 

Sejarah tekah mencatat di masa kekalifahan Umar Abdul Aziz tak ada satupun rakyat yang menerima zakat, beberapa kali petugas Baitu Mal bolak-balik mencari rakyat yang berhak mendapatkan zakat. Namun tak ada satupun yang menerima zakat dari Baitul Mal karena sangking sejahtera rakyat hidup dalam Daulah Khilafah kala itu.

Kas Daulah Khilafah tak kan bertumpu pada pajak, seperti halnya dalam sistem kapitalis. Sehingga rakyat tak kan terbebani dengan pajak. Justru rakyat hidup makmur, sejahtera dan amna sentosa dalam naungan Daulah Khilafah.

Waalahu a'alam bi ash-shawab
Bagikan:
KOMENTAR