Antisipasi Konflik Lahan di IKN Akankah Teratasi?


author photo

4 Des 2022 - 11.18 WIB


Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd, alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin

Otorita Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara diminta memberikan kompensasi terhadap lahan warga yang masuk dalam kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) IKN Indonesia baru. Yaitu di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yakni Kecamatan Sepaku.

Lahan warga baik garapan maupun permukiman yang masuk dalam KIPP IKN Nusantara, menurut tokoh masyarakat Kabupaten Penajam Paser Utara, Andi Muhammad Yusuf di Penajam harus diberikan kompensasi yang sesuai.
Apabila Otorita IKN Nusantara memberikan kompensasi terhadap lahan warga yang masuk KIPP, maka potensi gesekan sosial yang disebabkan permasalahan lahan dapat diminimalisir. (Kaltim.co, 7/11/2022)

Dikabarkan ratusan hektare lahan milik warga Kelurahan Pemaluan dan Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara masuk dalam KIPP IKN Nusantara, yang berpotensi terjadi gesekan apabila pemerintah pusat tidak memberikan solusi yang tepat.

Otorita IKN Nusantara disarankan membentuk tim pengendalian lahan untuk mengantisipasi permasalahan lahan di kawasan inti IKN Indonesia baru tersebut. Namun, akankah opsi tersebut diambil?

Masyarakat Lokal Bakal Tersingkir

Sebelumnya, kepemilikan tanah di kawasan IKN sempat menjadi sorotan publik. Pasalnya, ada sejumlah titik di kawasan IKN yang merupakan tanah milik perusahaan hingga masyarakat.

Gubernur Kaltim, Isran Noor pun membantah dugaan itu. Dia menyebut seluruh tanah untuk IKN merupakan milik pemerintah. Kalaupun ada lahan masyarakat yang mungkin masuk kawasan IKN akan ditata kembali oleh pemerintah.

Kekhawatiran konflik akan lahan bagi masyarakat wajar. Apalagi lahan milik warga di KIPP IKN Indonesia baru di Kecamatan Sepaku mayoritas berstatus APL (areal penggunaan lain), tidak semua memiliki surat kepemilikan lahan berupa segel tanah maupun sertifikat.

Merujuk data Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), terdapat beberapa masalah fundamental di lokasi IKN Nusantara, khususnya di Kaltim secara umum. Itu sekaligus membantah klaim pemerintah, lokasi ibu kota negara lahannya dikuasai negara.

Pembangunan IKN memang membuat sebagian warga was-was. Terutama warga di Kecamatan Sepaku yang tidak memiliki surat kepemilikan lahan.
Pembangunan proyek infrastruktur pendukung IKN juga sudah merusak mata pencaharian warga dengan mengambil alih lahan mereka. Andai diganti rugi, namun soal masa depan masyarakat masih luput dari perhatian pemerintah.

Selain itu, dikabarkan sebelumnya tanah adat juga bakal memicu konflik sosial. Raida tokoh adat Dayak Paser Balik meminta pemerintah melibatkan masyarakat adat agar tak ada kecemburuan masyarakat asli dengan pendatang. 

Suku Dayak Paser Balik yang telah turun temurun tinggal di Sepaku jangan sampai dirugikan karena sebagian tanah tak memiliki atas bukti hak kepemilikan, sementara ribuan hektare tanah masyarakat lainnya dalam bentuk HGU. Tanah HGU ini bakal diambil pemerintah untuk persiapan IKN, sedangkan tanah mereka di kampung tanpa bukti kepemilikan. (kaltim.idntimes.co, 17/9/2019)

Demikianlah potensi konflik lahan yang bakal melibatkan masyarakat lokal atau masyarakat adat dayak. Di tengah himpitan beban hidup yang berat dan impian hidup sejahtera, namun kondisi masyarakat justru berpotensi konflik. Akhirnya, IKN menambah masalah di tengah himpitan masalah.

Konflik Lahan Akibat Kapitalisme Liberal

Tidak dapat dipungkiri pindah IKN baru bakal melahirkan berbagai konflik, khususnya konflik lahan. Konflik kepemilikan lahan sudah menjadi hal biasa dalam sistem ekonomi kapitalis liberal. Rakyat biasa atau penduduk lokal bagai “dianaktirikan” karena keterbatasan dana. Sedangkan pendatang, khususnya pengusaha akan “dianakemaskan” atas nama investasi.

Jangankan IKN, lahan warga saat ini sudah banyak beralih fungsi menjadi pertambangan.  Negara tega menyerahkan SDAE yang berlimpah kepada para kapital. Padahal SDAE berupa hutan, tambang, air, gas, emas, dsbnya adalah milik rakyat. Liberalisasi SDAE ini terjadi karena dijamin oleh negara.  

Ditambah saat ini tidak sedikit konflik lahan terjadi, masyarakat tidak hanya berhadapan dengan perusahaan tetapi juga kepada pemerintah. “Endingnya” masyarakat bakalan tersingkir dengan kompensasi yang tidak seberapa atau kalah karena tidak ada legalitas kepemilikan tanah.

Dalam sistem kapitalisme saat ini berhubungan dengan lahan, pemerintah hanya sebagai regulator bukan penjaga dan pelindung atas kepemilikan tanah warganya. Masyarakat berjuang sendiri dalam mempertahankan tanah yang memang menjadi haknya. 

Sering masyarakat dibuat susah mengurus legalitas tanah. Regulasi yang ribet dan panjang akhirnya terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan. Konflik antar masyarakat terkait lahan sering terjadi bahkan berujung kematian. Jika berhadapan kepada perusahaan atau pemerintah sendiri dipastikan mereka bakalan kalah.

Islam Atasi Konflik Lahan

Dalam Islam jika pindah IKN maka potensi konflik lahan tidak akan terjadi karena kepemilikan tanah yang jelas. Kepemilikan dalam Islam dibagi dalam tiga kategori yakni, kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. 

Pertama, kepemilikan individu merupakan hak seseorang yang diakui Syariah, individu tersebut memiliki otoritas untuk mengelola kekayaannya sendiri. Undang-undang Syariah telah memberikan perlindungan hak milik individu menjadi kewajiban negara sehingga tidak boleh dicederai. Karena itu dibuat hukum yang bersifat preventif bagi siapa saja yang menciderai hak tersebut. 

Kedua, kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim sementara pengelolaannya menjadi wewenang Khilafah. Ketiga, kepemilikan umum adalah kepemilikan yang telah dinyatakan Syara’ diperuntukkan untuk masyarakat dan individu dilarang menguasai. Yaitu fasilitas umum, barang tambang, dan SDAE.

Nabi saw bersabda: Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal air, padang, dan api (HR. Abu Dawud).

Perlu diperhatikan negara tidak boleh memiliki kepemilikan individu dengan alasan demi kemaslahatan umum sebab kepemilikan individu dilindungi Syariah bahkan negara sekalipun. Setiap pelanggaran atas kepemilikan individu dipandang tindakan zalim yang bisa diajukan kepada Mahkamah Mazalim. 

Negara pun tidak boleh menetapkan harta kekayaan milik umum atau negara sebagai milik pribadi dengan alasan kemaslahatan. Selain itu, dilarang memproteksi milik umum menjadi milik pribadi misalnya tanah mati dan barang yang menjadi milik umum sedangkan negara boleh memproteksi untuk kepentingan kaum muslim dengan syarat tidak mengakibatkan kemadaratan bagi siapapun.

Selanjutnya dalam Islam, hukum pertanahan pun diatur. Syariah Islam setidaknya memberikan 4 (empat) solusi mendasar terkait pertanahan. Pertama: Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât). Kedua: Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketiga: kebijakan negara, memberikan tanah secara Cuma-Cuma kepada masyarakat. Keempat: Kebijakan subsidi negara.

Setiap orang yang telah memiliki/ menguasai tanah akan dipaksa oleh negara (Khalifah) untuk mengelola/ menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/ menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka. 

Islam telah mengatur kepemilikan tanah sehingga tidak akan ada terjadi tumpang tindih tanah dan konflik. Jika negara memerlukan tanah untuk membangun IKN baru misalnya, maka akan terjadi transaksi oleh negara kepada individu secara suka rela tanpa konflik.

Demikianlah Islam mengatur kepemilikan dan pertanahan. Hanya dengan Islam, konflik lahan bisa diantisipasi. Dalam Islam pindah IKN tidak bakal menuai konflik lahan melainkan keberkahan.
Wallahu’alam...

Bagikan:
KOMENTAR