Problematika SDAE dan Harapan Semu COP27


author photo

5 Des 2022 - 13.49 WIB


Oleh: Rizqa Fadlilah, S.Kep
(Pemerhati Masalah Sosial)

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadanya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat pada orang-orang yang berbuat baik." (TQS. Al-A’raf: 56) Firman Allah tersebut tepat untuk menggambarkan ketamakan manusia saat ini. Mereka halalkan segala cara demi meraup cuan, termasuk mengorbankan alam.

Kalimantan, satu pulau di Indonesia yang mendapat julukan paru-paru dunia. Tapi sayang, kini paru-paru itu tidak lagi sehat. Banyak kerusakan lingkungan terjadi akibat deforestasi, pertambangan, pembalakan baik liar maupun legal. Greenpeace Indonesia mengungkapkan angka deforestasi tertinggi ada di pulau Kalimantan dan Sumatera, yaitu  mencapai lebih dari tiga juta hektare dalam kurun waktu 2001-2020. Hutan yang hilang di Kalimantan mencapai 4.089.132,8 hektare. 

Besarnya angka deforestasi ini berbanding lurus dengan bencana hidrometeorologi yang terjadi di Kalimantan, karena daerah tanggapan air (DTA) sudah rusak. Sehingga ketika memasuki musim penghujan kerap kali terjadi banjir. Begitu pula ketika musim kemarau, sering terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Ditambah lagi dengan kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan, sudah tampak nyata dirasakan masyarakat. Tidak terkecuali kelebihan emisi karbon, merupakan dampak lanjutan dari masifnya deforestasi, aktivitas pertambangan, dan perkebunan. 

Mengenai kelebihan emisi karbon, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor telah melakukan lobi dengan Bank Dunia membahas opsi penjualan kelebihan emisi karbon dari Kalimantan Timur, dalam momentum konferensi iklim PBB tahun 2022 atau COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. Inisiatif Pemprov Kaltim untuk melakukan perdagangan karbon tersebut telah mendapatkan dukungan dari Mr Benoit Boquet, Regional Director For Environment, Natural Resources and Blue Economy Global World Bank, sehingga menghasilkan skema lelang Bank Dunia (kaltim.antaranews.com, 16/11/2022).

Selain penjualan kelebihan emisi karbon, pemerintah juga telah merumuskan rencana untuk melakukan transisi energi ke yang lebih ramah lingkungan. Menteri keuangan, Sri Mulyani, menjelaskan bahwa pemerintah bersama PLN sudah mengidentifkasi PLTU mana yang akan dipensiunkan dan berapa biaya yang diperlukan. PLN akan memensiunkan PLTU-nya secara bertahap karena memerlukan kerja sama dan investasi yang tidak sedikit untuk proyek tersebut. Sri Mulyani mengatakan Indonesia akan mengantongi komitmen dana dari Amerika Serikat dan Jepang senilai USD 15 hingga 20 miliar untuk membiayai program transisi energi ini. PLN akan memensiunkan 6,7 Gigawatt (GW) PLTU pada 2040 dan total 16 GW hingga 2060 mendatang, sebagai komitmen dari NZE (net zero emission) 2060 (kaltim.prokal.com, 12/11/2022).

Lempar Batu Sembunyi Tangan
Berbagai kerusakan alam yang terjadi, bencana hidrometeorologi, hingga kelebihan emisi karbon sejatinya tidak terlepas dari keserakahan sistem kapitalisme. Demi meraup keuntungan para kapitalis menghalalkan segala cara, termasuk eksploitasi sumber daya alam. Tambang dikeruk habis-habisan, hutan dialih fungsikan, dampak lingkungan diabaikan. Didukung dengan kebijakan-kebijakan yang mempermudah langkah para kapitalis menguasai sumber daya alam, semakin lengkaplah penderitaan. Rakyat sekitar justru hanya mendapat remahan, dan yang pasti merasakan dampak kerusakan lingkungan.

Berdasarkan data Walhi, sebanyak 62 persen lahan hutan di Indonesia sudah dikonsesi untuk korporasi. Dengan alasan pembangunan, pemerintah memberikan pemakluman pada aktivitas deforetasi ini. Namun, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KLKH, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) lebih banyak digunakan untuk tambang dari pada pembangunan (non tambang). Belum lagi aktivitas penambangan dan pembalakan hutan ilegal yang semakin marak terjadi, turut menyumbang sebab rusaknya lingkungan. 
Sayangnya, mereka yang seharusnya bertanggungjawab nyatanya sangat sulit tersentuh hukum. Kalaupun ada, hanya bersifat administratif, seperti pencabutan izin dan denda. Sanksi itu pun tidak membuat para pelaku pelanggaran hukum jera. Banyak kasus yang sudah sampai peradilan namun tidak pernah jelas akhirnya. Bukan menjadi rahasia sebenarnya, hal itu karena ada kongkalikong antara penegak hukum, pengusaha, dan penguasa. Bahkan tidak sedikit penguasa yang terjun menjadi pengusaha, pun sebaliknya. 
Jika sudah jelas akar masalahnya adalah sistem kapitalisme yang rusak dan merusak, maka tidak cukup menyelesaikan masalah lingkungan dengan solusi parsial. Apalagi mengandalkan bantuan dan investasi dari negara asing. Hal itu hanya akan memperkuat jerat jebak negara kapitalis asing terhadap negara pengekor seperti Indonesia. Juga akan semakin memperkecil tingkat kemandirian dalam mengatasi masalah yang terjadi di dalam negeri. Maka dibutuhkan solusi untuk menyelesaikan akar masalahnya, sehingga akan terselesaikan pula segala masalah turunannya, termasuk masalah lingkungan.

Tata Kelola Lingkungan yang Menyejahterakan Hanya Ada dalam Islam

Islam membagi harta menjadi 3, yaitu harta kepemilikan individu, harta kepemilikan negara, dan harta kepemilikan umum. Adapun sumber daya alam yang depositnya melimpah, termasuk tambang dan hutan merupakan harta kepemilikan umum, yang tidak boleh dikuasai oleh individu. Rasulullah saw bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, padang gembala, dan api. 

Harganya (memperjualbelikannya) adalah haram.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Negara lah yang berkewajiban mengelola harta kepemilikan umum, dan hasilnya sepenuhnya digunakan untuk kemaslahatan umat. Islam memiliki seperangkat aturan dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan dan tambang. Pertama, negara akan mengelola secara langsung sumber daya alam dengan memperhatikan kelestarian lingkungan bukan hanya optimalisasi produksi. Kedua, diberlakukan pengawasan yang serius dalam rangka penjagaan harta kepemilikan umum, dengan menggunakannya alat-alat canggih dan merekrut polisi dalam jumlah yang mencukupi. Ketiga, memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku kejahatan terkait sumber daya alam, termasuk akan menghukum aparat negara yang bekerjasama dengan pelaku kejahatan tersebut. 

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan berbagai masalah lingkungan, harus dimulai dengan mengganti paradigma kapitalistik menjadi paradigma Islam. Dengan menggunakan paradigma Islam, mengganti tata aturan kapitalis-sekuler menjadi tata aturan Islam, lingkungan akan terselamatkan, rakyat akan tersejahterakan, tanpa harus bergantung pada negara asing.

Allah Ta’ala berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf: 96)
Bagikan:
KOMENTAR