(Pemerhati Masalah Sosial)
Pajak menjadi sumber pendapatan bagi negara ini. Sehingga berbagai upaya terus dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara maupun daerah melalui pajak. Sebagaimana yang dilakukan pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda tak henti mengupayakan peningkatan pendapatan daerah di setiap tahunnya.
Sejak akhir tahun lalu Pemkot Samarinda melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) menjalankan sensus pajak secara door to door, dengan harapan pihaknya dapat menghimpun data pajak dengan maksimal.
Diketahui, sensus pajak ini mencakup Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya seperti hotel, restoran, hiburan, dan parkir, yang merupakan turunan dari Pajak Bumi dan Jasa Tertentu (PBJT). Hal ini disampaikan oleh Kepala Bapenda Kota Samarinda, Hermanus Barus. (TribunKaltim.co, 26/8/2024)
Negeri ini khususnya Kalimantan Timur termasuk Kota Samarinda adalah kota yang kaya sumber daya alam. Namun menggantungkan pendapatan daerah hanya dari pajak. Dari SDA yang melimpah, Pemkot hanya mendapatkan tetesan kekayaan alam tersebut dari pajak ataupun dari hasil production sharing (bagi hasil) yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan yang diperoleh individu yang merampas SDA tersebut dengan dalih kerja sama. Sementara rakyat terus menerus dijadikan sumber penerimanaan negara dan daerah dari pajak.
Beginilah akibat negara mengadopsi sistem kapitalis dengan neoliberalismenya. Pendapatan negara dibebankan pada rakyatnya melalui penarikan pajak. Negara akan terus berusaha meningkatkam perolehan pajak agar apa yang disebut biaya pembangunan semakin besar didapat. Berbagai upaya terus dilakukan. Objek pajak dan mekanisme pajak baru terus diciptakan. Rakyat hanya menjadi objek pemerasan melalui berbagai aturan pajak. Hasilnya, rakyat tentu makin terbebani.
Dalam Kapitalisme pajak diberlakukan terhadap perorangan, badan usaha dan lembaga-lembaga masyarakat, tanah dan bangunan, barang-barang produksi, barang-barang perdagangan dan jasa. Sehingga secara keseluruhan semua rakyat dibebankan pajak secara berganda. Pajak ini diterapkan dari tingkat pusat sampai daerah dengan berbagai jenis dan nama pajak. Tentu keadaan ini sangat membebani perekonomian dan menyebabkan harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok jauh di atas harga sewajarnya.
Rakyat memiliki tanah yang dibeli dengan uang sendiri. Maka tanah ini dikenakan pajak. Jika dibangun rumah diatas tanah tersebut, maka rumahnya pun dikenakan pajak. Untuk membeli tanah dan membangun rumah saat ini membutuhkan biaya yang besar. Namun, ketika rumah tersebut telah berdiri, rakyat dibebankan lagi dengan pajak. Belum lagi jika memiliki kendaraan yang juga dikenakan pajak. Inilah pajak berganda yang dibebankan kepada rakyat di kota hingga pelosok desa.
Inilah bentuk kezaliman yang merata di tanah air akibat aturan perpajakan buah dari penerapan sistem kapitalisme dengan rezim yang kian neoliberalismenya. Pajak diberlakukan dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan rakyat. Nyatanya, rakyat kian terjerat pajak yang terus memalak.
Ironisnya lagi, ketika rakyat terus dibebankan dengan pajak, penguasa di negeri ini justru dimanjakan dengan fasilitas serba mewah. Mulai dari tempat tinggal, kendaraan bahkan mereka kerap mempertontokan kehidupan yang serba “wah”.
Dikalah rakyat semakin terjerat pajak dan kehidupan yang semakin sempit, lagi-lagi penguasa negeri ini mempertontonkan euforia upacara HUT RI di IKN yang menghabiskan anggaran hingga milyaran. Darimana anggaran tersebut diambil, tentu dari pajak. Karena pajak menjadi sumber pemasukan negara penganut kapitalisme seperti negeri ini. Mirisnya lagi, lembaga pajak juga justru tak luput dari korupsi.
Pajak Dalam Islam
Islam memiliki cara tersendiri untuk mengatur pendapatan negara. Diantaranya dari hasil kepemilikan umum seperti minyak dan gas bumi yang dikelola sesuai syariat Islam. Dari sektor pertanian seperti kharaj. Sektor industri seperti zakat atas barang dagangan, dan lain-lain. Dengan demikian, negara dalam Islam mampu memperoleh pemasukan yang besar. Pada saat yang sama mampu mendorong aktivitas ekonomi yang luar biasa.
Mengenai pajak, Islam membebaskan rakyat dari beban pajak yang zalim. Kalaupun ada pajak, tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syariat. Negara juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.
Selain itu, negara Islam juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.
Bandingkan dengan negara saat ini, yang menghisap “darah” rakyatnya hingga tetes darah yang terakhir melalui pajak. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
“ Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zalim).” (HR. Abu Daud)
Wallahua'lam Bishowab