Lhokseumawe --- Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 19 Tahun 2017 yang mengatur struktur organisasi dan tugas Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dan Tenaga Kerja Kota Lhokseumawe memang diluncurkan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas birokrasi pemerintahan lokal. Namun, meskipun peraturan ini dimaksudkan untuk membawa kemajuan, sejumlah masalah mendasar harus dikaji dengan cermat, karena implementasinya bergantung pada kualitas birokrasi dan integritas kelembagaan yang ada.
Peraturan ini dirancang untuk memperjelas peran dan fungsi berbagai instansi yang mengelola investasi, pelayanan publik, serta tenaga kerja. Namun, pertanyaan fundamental yang perlu dijawab adalah sejauh mana peraturan ini mampu mengubah praktik birokrasi yang selama ini kompleks dan cenderung menghambat? Apakah pengaturan struktur baru akan benar-benar menyederhanakan proses administrasi atau justru memperburuk kondisi dengan menambah lapisan birokrasi baru yang lebih rumit? Koordinasi antar instansi yang dijanjikan dalam peraturan ini patut dipertanyakan apakah akan efektif atau justru menjadi instrumen baru bagi ketidakefektifan yang lebih besar.
Salah satu masalah yang patut dicermati secara mendalam adalah potensi tumpang tindih kepentingan antar lembaga. Penyatuan sektor penanaman modal dengan sektor tenaga kerja, meskipun terdengar ideal, harus dilengkapi dengan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel. Tanpa pengawasan yang memadai, kebijakan ini bisa dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, sementara masyarakat luas justru akan terpinggirkan. Keterpaduan yang diusung oleh peraturan ini harus benar-benar menjamin bahwa kepentingan publik tidak akan dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak yang berkepentingan.
Lebih jauh lagi, meskipun tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, kebijakan ini tidak lepas dari tantangan-tantangan struktural yang sering kali menghalangi efektivitas kebijakan ekonomi. Ketidaksesuaian antara kebijakan yang diterapkan dengan realitas yang ada di lapangan, serta lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaannya, dapat menjadikan peraturan ini sekadar formalitas yang tidak membawa dampak nyata. Tanpa adanya evaluasi yang objektif dan berkesinambungan, peraturan ini berpotensi menjadi sebuah dokumen normatif yang jauh dari harapan masyarakat.
Lebih penting lagi, peraturan ini tidak boleh dianggap sebagai sekadar upaya administratif yang bersifat kosmetik. Klaim-klaim optimis yang dikeluarkan oleh para penyusun peraturan ini tidak boleh mengaburkan kenyataan bahwa perubahan yang sesungguhnya memerlukan komitmen yang nyata, pengawasan yang ketat, dan akuntabilitas yang jelas. Tanpa implementasi yang transparan dan penuh tanggung jawab, peraturan ini hanya akan menjadi simbolisasi formalitas tanpa hasil yang konkrit bagi masyarakat Lhokseumawe.
Di sisi lain, peran Komisi B (Bidang Perekonomian dan Keuangan) yang dipimpin oleh Julianti, S.Sos (F-Partai Aceh) dan anggotanya, termasuk Masykurdin El Ahmady, S.Pd.I (F-Partai Golkar), sangatlah krusial untuk memastikan bahwa peraturan ini bukanlah sekadar wacana kosong. Komisi ini harus berani melakukan pengawasan yang objektif dan mendalam, jauh dari pengaruh kepentingan politik sesaat, untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.
Pengawasan yang tajam dan keberanian untuk mengkritisi kebijakan ini adalah prasyarat utama agar Peraturan Walikota Lhokseumawe dapat benar-benar mengoptimalkan potensi ekonomi dan tenaga kerja di daerah ini. Jika tidak, maka peraturan ini hanya akan menjadi selembar dokumen yang tidak berdampak nyata pada kehidupan masyarakat," sebut ketua komisi B.(Adv)