Oleh: Sarah Ainun
Sekolah semestinya menjadi tempat anak-anak belajar hidup — bukan tempat mereka kehilangan alasan untuk hidup. Namun kini, ruang kelas berubah menjadi saksi bisu tragedi. Bunuh diri pelajar kian sering terdengar, bahkan di usia belia.
Angka ini bukan sekadar statistik, tapi jeritan sunyi generasi yang tumbuh dalam sistem pendidikan yang kehilangan arah dan makna. Pertanyaannya: pendidikan macam apa yang membuat anak tak lagi ingin hidup?
Dalam sepekan terakhir, kabar duka datang bertubi-tubi dari ruang-ruang sekolah. Dua siswa SMP di Sawahlunto ditemukan tewas gantung diri, disusul dua kasus serupa di Cianjur dan Sukabumi (Kompas, 01/11/2025).
Mereka bukan korban bullying, bukan pula siswa dengan catatan perilaku bermasalah. Mereka hanyalah anak-anak biasa, dengan seragam, buku pelajaran, dan cita-cita yang mungkin belum sempat tumbuh. Namun di tengah sorak prestasi pendidikan, mereka memilih jalan sunyi: mengakhiri hidup.
Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, mengungkapkan data mengejutkan: dari program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis, lebih dari dua juta anak Indonesia menunjukkan berbagai bentuk gangguan mental dari total sekitar 20 juta jiwa yang diperiksa (MetroTVNews, 30/10/2025).
Data dan fakta ini menohok nurani. Bunuh diri di usia belia bukan sekadar peristiwa tragis individual, melainkan cermin retaknya fondasi sosial dan pendidikan bangsa. Apa yang sebenarnya gagal kita bangun hingga anak-anak kehilangan alasan untuk hidup?
Kepribadian Rapuh, Cermin Pendidikan Tanpa Arah
Kerap kali publik terburu-buru mencari kambing hitam: tekanan akademik, bullying, atau faktor keluarga. Padahal, tidak semua kasus bunuh diri disebabkan oleh perundungan. Banyak di antaranya berakar pada rapuhnya kepribadian anak, hilangnya daya tahan menghadapi tekanan hidup, dan ketiadaan makna yang kokoh dalam diri.
Fenomena ini menyingkap betapa rapuhnya fondasi akidah dan spiritualitas dalam diri pelajar—buah dari sistem pendidikan sekuler yang sibuk mencerdaskan akal, namun membiarkan jiwa kelaparan. Pendidikan kita begitu tekun mengasah intelektual, tapi lalai menumbuhkan kecerdasan emosional dan spiritual yang justru menjadi penopang ketangguhan hidup.
Sistem pendidikan sekuler hari ini memisahkan nilai agama dari proses pembentukan kepribadian. Agama hanya dijadikan pelajaran teoritis dengan jam terbatas, bukan fondasi berpikir dan bertindak. Akibatnya, anak-anak tumbuh dengan kecerdasan kognitif tinggi tetapi miskin ketangguhan moral dan spiritual. Mereka cerdas secara akademis, tapi kehilangan arah hidup.
Paradigma pendidikan Barat yang kita adopsi pun turut memperparah keadaan. Anak dianggap baru dewasa pada usia 18 tahun, sehingga anak yang sudah balig secara syar’i masih diperlakukan seperti “belum matang”. Padahal, dalam Islam, masa balig justru menjadi awal pembentukan tanggung jawab moral dan spiritual.
Ketika pendidikan gagal menumbuhkan kematangan berpikir dan kedewasaan bertindak, anak-anak dibiarkan berjuang sendirian menghadapi tekanan hidup tanpa kompas makna.
Akar Masalah yang Lebih Dalam
Bunuh diri hanyalah puncak dari gunung es krisis kejiwaan. Di baliknya tersimpan tekanan ekonomi keluarga, konflik rumah tangga, perceraian, hingga tuntutan gaya hidup yang serba materialistik. Semua ini adalah buah dari sistem kapitalisme yang menilai manusia dari sisi manfaat dan materi, bukan dari nilai kemanusiaannya.
Tekanan ekonomi memicu stres kronis, keluarga tercerai berai oleh kebutuhan hidup, sementara media sosial menambah luka dengan menampilkan kehidupan serba sempurna. Ironisnya, ruang digital kini bahkan menampung komunitas “sharing bunuh diri” yang memperkuat ide putus asa di kalangan remaja. Semua faktor ini berpadu membentuk kondisi sosial yang mendorong generasi muda ke jurang kegelapan.
Krisis ini bukan hanya soal psikis, tapi sistemik. Kita hidup dalam sistem yang menekan jiwa tanpa memberi arah hidup. Anak-anak tidak diajarkan untuk memahami mengapa mereka hidup, untuk apa mereka belajar, dan ke mana harus kembali saat terjatuh. Mereka tumbuh dalam ruang pendidikan yang penuh tuntutan, tapi miskin makna.
Islam dan Pendidikan yang Menghidupkan Jiwa
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam menempatkan akidah sebagai fondasi utama pendidikan. Pendidikan dalam Islam tidak sekadar mencetak siswa berprestasi, tetapi membentuk manusia berkepribadian Islam — yang berpikir dan bersikap berdasarkan keimanan kepada Allah SWT.
Dalam Islam, anak yang sudah balig diarahkan untuk menjadi aqil — yakni memiliki akal yang matang dan mampu menilai segala hal dengan standar syariat. Maka pendidikan sebelum balig adalah masa penting untuk mematangkan kepribadian dan pola pikirnya.
Anak tidak hanya diajari menghafal ayat, tetapi juga diajak mengenal asal-usul dirinya, alam semesta, dan kehidupan yang menaunginya. Mereka dibimbing memahami mengapa mereka hidup atau untuk apa mereka hidup (tujuan penciptaan), serta ke mana jiwa akan kembali setelah perjalanan dunia ini usai. Di sanalah pendidikan Islam menanamkan kesadaran mendalam tentang makna hidup dan tanggung jawab di hadapan Sang Pencipta.
Ketika akidah menjadi dasar, anak memiliki ketahanan menghadapi ujian hidup. Ia tahu bahwa kesulitan adalah bagian dari ujian iman, bukan akhir dari segalanya. Ia sadar hidup bukan untuk memuaskan ekspektasi dunia, tetapi untuk mencari ridha Allah SWT. Nilai-nilai inilah yang justru hilang dalam pendidikan modern hari ini.
Sistem Islam dan Solusi Sistemik
Pendidikan Islam tidak berdiri sendiri. Ia hanya dapat berjalan sempurna dalam sistem yang mendukung seluruh sendinya: ekonomi, keluarga, dan masyarakat. Dalam sistem Islam Islam, negara menjamin kebutuhan pokok rakyat sehingga tekanan ekonomi tidak menjadi beban keluarga.
Keluarga dibangun di atas fondasi takwa, bukan kompetisi dan ego. Masyarakat diarahkan pada budaya amar makruf nahi mungkar, bukan permisivisme moral.
Kurikulum pendidikan dalam sistem Islam pun tidak hanya memadukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai Islam, tetapi juga menumbuhkan kesadaran spiritual. Anak dididik untuk menjadi ilmuwan sekaligus hamba Allah yang berakhlak, berpikir kritis, dan tangguh menghadapi kehidupan. Dalam atmosfer seperti ini, gangguan mental bukan hanya bisa dicegah, tetapi akar penyebabnya — kekosongan makna hidup — juga disembuhkan.
Mengembalikan Arah Pendidikan
Meningkatnya angka bunuh diri di kalangan pelajar adalah alarm keras bagi bangsa ini. Kita telah lama memuja sistem pendidikan sekuler yang menjanjikan kemajuan, tapi lupa bahwa manusia bukan sekadar otak dan angka, melainkan jiwa yang butuh arah dan makna.
Padahal Islam telah menegaskan bahwa kemuliaan sejati lahir dari perpaduan antara iman dan ilmu. “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu tanpa iman hanyalah keringnya pengetahuan tanpa arah, sedangkan iman tanpa ilmu menjadikan manusia tak mampu menunaikan peran khalifah di muka bumi.
Sudah saatnya pendidikan dikembalikan pada fitrahnya: menumbuhkan manusia yang kuat secara akidah, matang secara akal, dan lembut secara hati. Pendidikan yang menjadikan iman sebagai fondasi, bukan tambahan.
Islam bukan sekadar alternatif, melainkan solusi menyeluruh yang menuntun anak-anak untuk hidup dengan makna, berjuang dengan sabar, dan bertahan dengan keyakinan. Karena generasi yang dididik dengan akidah yang kokoh tak akan mudah runtuh — sekalipun dunia menekan sekuat-kuatnya.
Islam telah menegaskan arah hidup manusia dengan sangat jelas: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56).
Maka sudah saatnya kita kembalikan generasi kepada pendidikan yang menumbuhkan kesadaran akan tujuan hidupnya — hidup untuk beribadah, berpikir dengan iman, dan berbuat di bawah naungan hukum Allah. Hanya dengan itulah akan lahir generasi tangguh yang tak mudah runtuh meski dunia mengguncang sekeras-kerasnya.
Generasi yang kehilangan makna tak akan pulih hanya dengan reformasi kurikulum atau kampanye kesehatan mental. Mereka butuh sistem yang menuntun, bukan menyesatkan; sistem yang menanamkan iman, bukan menumbuhkan keputusasaan.
Sudah saatnya menyelamatkan generasi yang rapuh akibat didikan sekuler-kapitalistik dengan mengembalikan mereka ke pangkuan pendidikan Islam yang menumbuhkan iman dan akal sekaligus.
Perubahan itu hanya mungkin jika kita berani mengganti sistem sekuler yang menyingkirkan Tuhan, dengan sistem Islam yang menempatkan Allah sebagai sumber hukum dan arah hidup. Dari sanalah akan lahir generasi tangguh—yang kuat menghadapi dunia karena hatinya terpaut kepada Sang Pencipta.
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
(QS. Al-Ma’idah [5]: 44)