Pinjol, Judol, dan Rapuhnya Perlindungan Negara terhadap Generasi Digital


author photo

10 Nov 2025 - 13.33 WIB




Oleh: Sarah Ainun

Sampai kapan anak-anak kita dibiarkan berjudi di layar ponsel sementara negara sibuk menata regulasi pasar? Ketika siswa SMP terjerat pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol), itu bukan sekadar kisah remaja tersesat, melainkan potret buram dari sistem yang rusak. 

Pendidikan gagal menanamkan iman dan arah hidup, sementara kapitalisme menanamkan satu nilai tunggal: uang. Di tengah hiruk-pikuk digital, generasi muda kehilangan pelindung sejatinya.

Beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh kasus seorang siswa SMP di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terjerat judol dan pinjol. Akibat kecanduan judi daring, siswa itu berutang hingga jutaan rupiah kepada sejumlah platform pinjol, bahkan harus bolos sekolah selama sebulan (Tirto, 29/10/2025).

Kasus ini sontak menjadi sorotan nasional karena menunjukkan bahwa bahaya pinjol dan judol kini bukan hanya menjerat orang dewasa, tetapi juga telah menelan korban di usia sekolah.

Sebagaimana dilansir Kompas (19/10/25), Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti, menilai munculnya kasus tersebut tidak lepas dari kesalahan sistem pendidikan saat ini. Ia menyebut, pendidikan yang hanya berorientasi pada akademik dan keterampilan tanpa pembinaan karakter dan moral yang kuat telah melahirkan generasi yang rapuh secara nilai. 

Pandangan ini membuka tabir persoalan yang lebih besar: ada yang salah dalam cara negara melindungi generasi muda dari arus destruktif dunia digital dan ekonomi kapitalistik yang kian tak terbendung.

Kasus siswa SMP di Kulon Progo hanyalah puncak gunung es dari situasi yang lebih luas. Banyak pelajar kini hidup dalam ekosistem digital yang sangat permisif terhadap konten berbahaya. 

Situs-situs judi online kini begitu mudah diakses, bahkan telah menyusup ke ruang-ruang yang seharusnya aman bagi anak, seperti laman pendidikan dan aplikasi permainan. Situasi ini diperparah dengan maraknya pinjaman online (pinjol) yang menjerat banyak anak muda. 

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, hingga Maret 2025, total outstanding utang pinjaman online di Indonesia telah menembus Rp75,44 triliun, dengan kelompok usia 19–34 tahun menyumbang hampir separuh dari total tersebut (Neraca, 10/11/2025) .

Sementara itu, data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dikutip dari laman resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (4 Juni 2025) menunjukkan bahwa pada kuartal I 2025, nilai deposit judi online yang dilakukan oleh pemain berusia 10–16 tahun mencapai lebih dari Rp2,2 miliar. Untuk kelompok usia 17–19 tahun, nilainya melonjak hingga Rp47,9 miliar, sedangkan yang tertinggi berasal dari kelompok usia 31–40 tahun dengan total deposit mencapai Rp2,5 triliun.

Dalam laporan berbagai lembaga keamanan siber, ditemukan bahwa situs pendidikan sekolah dasar dan menengah kerap dimasuki tautan atau iklan tersembunyi yang mengarah ke permainan judi daring. Situasi ini menunjukkan lemahnya perlindungan negara dalam menutup dan memblokir situs-situs ilegal yang jelas merusak moral dan psikologis anak.

Lingkaran Setan Judi dan Pinjol

Fenomena pelajar yang terjerat pinjol dan judol menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Banyak siswa yang awalnya hanya coba-coba bermain judi online dengan modal kecil. Ketika kalah, mereka tergoda untuk meminjam uang lewat pinjol agar bisa “balik modal”. 

Namun karena sifat judi adalah candu, kekalahan terus berulang dan utang makin menumpuk. Tekanan mental dan rasa malu sering kali membuat pelajar tersebut menutup diri, absen dari sekolah, bahkan dalam beberapa kasus nekat melakukan tindakan berisiko.

Lingkaran ini tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dalam ruang sosial yang longgar pengawasannya dan sistem ekonomi yang membuka jalan lebar bagi praktik eksploitatif. Akses pinjol kini hanya sejauh sentuhan layar gawai, bahkan tanpa verifikasi ketat. 

Sementara itu, algoritma media sosial dan iklan daring terus mempromosikan “kemudahan uang instan” dan “keberuntungan besar” dari taruhan digital. Bagi remaja yang belum matang secara mental dan nilai, jebakan ini sangat mudah menjerat.

Orang tua dan sekolah sering kali disalahkan karena dianggap lalai dalam mengawasi anak. Namun, menyalahkan keluarga semata tidak adil. Dalam situasi digital yang begitu masif, mustahil pengawasan manual mampu menandingi sistem algoritmik yang dirancang untuk memanipulasi perhatian manusia. 

Pengawasan harus menjadi tanggung jawab bersama, termasuk negara yang memiliki kewajiban untuk menciptakan lingkungan digital yang aman. Sayangnya, peran negara dalam hal ini masih sangat lemah. 

Pemerintah tampak hanya menjadi “pemadam kebakaran” — bereaksi setelah banyak korban jatuh, bukan membangun sistem perlindungan yang menyeluruh.

Pendidikan yang Gagal Mencegah

Kita sering mendengar jargon “pendidikan karakter” dan “literasi digital” sebagai solusi untuk mengatasi masalah moral generasi muda. Namun, dua pendekatan ini terbukti belum mampu menuntaskan akar persoalan. 

Literasi digital hanya melatih kemampuan teknis dalam memilah informasi, sementara pendidikan karakter sering kali berhenti pada level slogan moral tanpa fondasi ideologis yang kuat. 

Akibatnya, anak didik tahu mana yang baik dan buruk secara teori, tetapi tetap mudah tergoda karena tidak memiliki keyakinan yang menuntun tindakan.

Akar persoalan sesungguhnya terletak pada cara berpikir masyarakat yang rusak — mental “ingin cepat kaya tanpa kerja keras”. Pola pikir ini tumbuh subur dalam sistem kapitalisme, di mana keberhasilan diukur dari capaian materi, bukan dari nilai moral atau keberkahan. 

Judi online, investasi bodong, hingga pinjaman instan adalah manifestasi logis dari sistem yang menuhankan keuntungan. Sementara itu, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator — penjaga mekanisme pasar agar tetap berjalan — bukan pelindung rakyat dari bahaya ideologis dan moral.

Selama negara berfungsi hanya sebagai pengatur lalu lintas ekonomi, bukan penuntun moral masyarakat, maka generasi muda akan terus dibiarkan terpapar pada jebakan sistem yang merusak ini. Ketika keuntungan menjadi tujuan utama, industri digital bebas memasarkan produk dan iklan apa pun selama menguntungkan. 

Tidak ada filter nilai yang membatasi, tidak ada landasan halal-haram yang menjadi panduan. Di sinilah akar persoalan pendidikan dan perlindungan anak di bawah sistem kapitalistik: nilai-nilai moral tercerabut dari kebijakan publik.

Negara yang Abai

Pemerintah memang telah beberapa kali melakukan operasi siber untuk menutup ribuan situs judi online. Namun, langkah-langkah itu tidak menyentuh akar masalah. Selama logika pasar dibiarkan menjadi penguasa dunia digital, situs-situs semacam itu akan terus bermunculan. 

Iklan judi bisa menyusup melalui platform global, promosi lewat media sosial bisa dilakukan dengan akun palsu, bahkan influencer lokal bisa menjadi agen promosi terselubung. Negara hanya menutup satu pintu, sementara sepuluh pintu lain terbuka lebar.

Di sisi lain, pinjaman online tumbuh subur karena dianggap membantu inklusi keuangan masyarakat. Dalam narasi kapitalisme, akses kredit adalah tanda kemajuan ekonomi. 

Namun, di balik itu tersembunyi jerat bunga, data pribadi yang disalahgunakan, dan eksploitasi terhadap masyarakat miskin dan remaja yang tidak paham risiko. 

Regulasi yang ada lebih berpihak pada stabilitas pasar daripada keselamatan rakyat. Inilah yang menunjukkan betapa lemahnya perlindungan negara di bawah sistem yang menomorsatukan profit.

Pendidikan dan Sistem Berbasis Islam

Kasus siswa SMP yang terjerat pinjol dan judol tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan moral parsial atau literasi digital semata. Diperlukan perubahan mendasar dalam sistem berpikir, sistem pendidikan, dan sistem negara yang menaungi kehidupan masyarakat. 

Islam menawarkan solusi yang komprehensif karena tidak memisahkan moral dari hukum dan tidak memisahkan pendidikan dari tujuan spiritual.

Pertama, Islam secara tegas mengharamkan judi dan riba dalam segala bentuknya. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 90).

Ayat ini memberikan landasan moral sekaligus hukum bahwa segala bentuk perjudian, termasuk judi online, adalah haram. Demikian pula pinjaman berbasis bunga (riba) yang menjadi fondasi pinjol juga diharamkan secara mutlak.

Pemahaman ini bukan sekadar doktrin agama, tetapi juga mekanisme pencegahan sosial yang efektif. Ketika seseorang meyakini bahwa judi dan riba adalah dosa besar, ia akan menahan diri bukan karena takut hukum negara, melainkan karena takut kepada Allah Swt.

Kedua, pendidikan Islam berperan membentuk kepribadian anak berdasarkan akidah Islam. Dalam sistem ini, setiap pelajaran — baik sains, teknologi, maupun sosial — diarahkan untuk memperkuat iman dan akhlak. Anak tidak hanya diajarkan cara berpikir kritis, tetapi juga cara berpikir yang benar (fikrah Islamiyyah) yang menuntun pada amal saleh.

Pendidikan semacam ini menumbuhkan kesadaran bahwa kesuksesan sejati bukan diukur dari materi, melainkan dari ketakwaan dan kontribusi terhadap masyarakat.

Ketiga, negara dalam sistem Islam tidak berperan sebagai regulator pasar, tetapi sebagai pelindung rakyat. Negara wajib menutup semua akses menuju perbuatan haram, termasuk situs judi dan pinjol berbunga. Negara juga wajib memberi sanksi tegas bagi pelaku dan penyebar judi. 

Selain itu, negara menyediakan sistem ekonomi yang bebas riba, berbasis zakat, infak, dan investasi halal, sehingga masyarakat tidak tergoda mencari solusi keuangan melalui pinjol. Dengan begitu, perlindungan terhadap generasi muda bukan hanya berupa larangan, tetapi sistemik dan menyeluruh.

Membangun Generasi Saleh dan Kuat

Hanya dalam sistem Islam, pendidikan dan perlindungan moral saling berkait. Negara, masyarakat, dan keluarga bergerak dalam satu pandangan hidup: membentuk generasi beriman, berilmu, dan berakhlak.

Ketika nilai iman menjadi fondasi berpikir, pelajar tidak akan mudah tergoda oleh janji palsu judi online atau kemudahan pinjaman instan. Mereka akan memahami bahwa setiap tindakan di dunia memiliki konsekuensi di akhirat, dan setiap harta harus diperoleh dengan cara yang halal.

Selain itu, sistem Islam menjamin keterpaduan antara pendidikan, ekonomi, dan hukum. Tidak ada ruang bagi industri yang merusak moral masyarakat. Negara tidak hanya menutup situs haram, tetapi juga mencabut akar ekonominya. 

Media dan teknologi diarahkan untuk mendukung dakwah, ilmu, dan kemaslahatan umat. Inilah bentuk perlindungan sejati yang selama ini hilang dalam sistem sekuler-kapitalistik.

Kasus siswa SMP di Kulon Progo yang terjerat pinjol dan judol harus menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Jika anak usia sekolah saja sudah menjadi korban sistem ekonomi yang eksploitatif, apa yang bisa diharapkan dari masa depan generasi kita? 

Ini bukan sekadar masalah kenakalan remaja, tetapi bukti kegagalan negara dalam melindungi warganya dari kejahatan yang tumbuh di bawah sistem kapitalisme.

Sudah saatnya kita berhenti menambal lubang di sistem yang rusak, dan mulai membangun pondasi baru yang kokoh. Islam menawarkan sistem pendidikan dan pemerintahan yang tidak hanya menuntun kecerdasan akal, tetapi juga kemurnian jiwa. 

Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, negara akan mampu menutup akses terhadap judi dan riba, melindungi generasi muda, serta membentuk masyarakat yang bersih, kuat, dan berakhlak.

Hanya dengan kembali kepada Islam, negara dapat benar-benar menjadi pelindung, bukan sekadar regulator. Karena perlindungan sejati bukan sekadar menutup situs haram, tetapi menanamkan iman yang membuat manusia tidak ingin mendekatinya sejak dalam hati. Wallahu a'lam bishsawab.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT