Musibah banjir dan longsor di Sumatera, Bahaya nyata kerusakan lingkungan


author photo

7 Des 2025 - 14.43 WIB




Oleh : Leli Indriani

Bencana yang terjadi di Sumatera telah memakan korban sedemikian banyak dengan dampak yang begitu besar. Bencana longsor hingga banjir bandang yang mengenai sebagian wilayah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan beberapa wilayah lainnya. Namun yang membuat miris adalah para penguasa yang terus menyampaikan bahwa penyebab bencana ini hanya faktor alam, yakni akibat siklon senyar.

Pada 29 November 2025, ketiga wilayah tersebut dihantam banjir bandang serta longsor yang menelan banyak korban jiwa. Update data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan jumlah korban jiwa sudah mencapai 836 orang meninggal dunia, 518 orang hilang, 2.700 orang luka-luka. Ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi (Kapusdatinkom) Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam konferensi pers, Kami (4-12-2025). 

Jika dirincikan per provinsi, sebanyak 325 orang meninggal di Aceh dan dilaporkan 170 orang masih hilang. Kemudian jumlah korban jiwa di Sumut saat ini menjadi 311 orang dan korban meninggal di Sumbar sebanyak 200 orang. Sementara itu, berdasarkan data situs Pusdatin BNPB, per pukul 17.33 WIB, total rumah rusak akibat bencana di 3 provinsi ini sebanyak 10.500. BNPB juga melaporkan 536 fasilitas umum rusak, 25 fasilitas kesehatan rusak, 326 fasilitas Pendidikan rusak, kemudian 185 rumah ibadah rusak dan 295 jembatan rusak.

Bencana yang terjadi saat ini bukan karena faktor alam atau sekedar ujian semata, melainkan merupakan dampak buruk kebijakan penguasa alias bencana terencana. Bagaimana tidak? Semua kerusakan hutan di wilayah Sumatera, baik aktivitas perkebunan khususnya sawit dan konversi lahan untuk industri ekstratif seperti penebangan komersial dan pertambangan terbuka. Semua aktivitas ini telah mengancam keanekaragaman hayati, merebut habitat hewan seperti gajah, kera dan lainnya, juga telah mengurangi kemampuan hutan sebagai benteng alami menghadapi siklon. 

Sesungguhnya ada masalah besar di balik semua kejadian bencana serta masalah penanganannya. Masalah tersebut adalah digunakannya paradigma kepemimpinan sekuler kapitalistik dalam menentukan prioritas pembangunan tidak kenal konsep halal-haram, pro kepentingan modal, membuka ruang kongkalikong antara penguasa-pengusaha, dan jauh dari paradigma pengurusan, alih-alih perlindungan atas rakyat. 

Musibah banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera memperlihatkan bahaya nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya. Pembukaan hutan secara ugal-ugalan jelas telah merusak ekosistem dan merenggut ruang kehidupan.  

Paradigma kepemimpinan sekuler kapitalistik seperti ini tentu saja tidak layak dipertahankan. Sistem ini terbukti telah melahirkan para penguasa zalim yang hanya mampu memproduksi kebijakan-kebijakan destruktif yang menonjolkan nilai-nilai materi, tetapi mereduksi nilai-nilai ruhiah, kemanusiaan dan moral. Semua ini niscaya karena sistem ini memang sudah cacat sejak asas. Ia tegak di atas paham yang pemisahan agama dari kehidupan sekaligus tidak mengenal halal-haram dan begitu mengagumkan paham kebebasan, termasuk kebebasan kepemilikan yang meniscayakan munculnya sikap egois dan serakah tanpa batasan. 

Sementara itu, posisi rakyat dalam sistem ini hanya sebagai objek penderita. Mereka hanya dibutuhkan sebagai alat legitimasi bagi para oligarki duduk di kursi kekuasaan dengan jalan memberi mereka hak suara pada pesta lima tahunan. Seakan-akan rakyatlah pemilik kedaulatan sekaligus pemilik hakiki kekuasaan. Padahal slogan demokrasi ini hanyalah tipuan. 

Hal ini berbeda dengan dengan system kepemimpinan Islam. Sistem ini berasal dari keyakinan bahwa manusia diciptakan dengan tujuan mulia yakni untuk tugas penghambaan sekaligus tugas kekhalifahan, yakni memakmurkan bumi dan seluruh alam. Untuk itulah Allah Swt menurunkan syariat Islam sebagai pedoman tentang bagaimana hidup harus dijalankan, hingga semua yang Allah ciptakan benar-benar bisa mendatangkan kebaikan, keselarasan, kebahagiaan bahkan keberkahan. 

Penguasa sendiri berperan sebagai penegaknya sehingga fungsinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat benar-benar bisa dijalankan. Untuk itu Islam telah menetapkan berbagai aturan atau prinsip terkait pengelolaan sumber daya alam yang menjauhkan manusia dari kemudaratan. 
Dalam Al-Qur’án, Allah Swt, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-A’raf : 96)

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi umat Islam selain segera kembali kepada syariat-Nya dan berupaya menegakkan kepemimpinan Islam sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan.tentu butuh perjuangan yang serius dan panjang yang dimulai dari membagun kesadaran di tengah umat Islam. Terutama kesadaran bahwa keimanan menuntut ketaatan kepada seluruh syariat Islam dan bahwa pelaksanaan seluruh syariat Islam butuh kekuasaan atau kepemimpinan Islam yang disebut sebgai system kekhilafahan. 
Wallahu a’lam bish shawab.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT