Politik Oligarki dibalik Sengketa Lahan Bandara VVIP di IKN


author photo

9 Feb 2024 - 10.43 WIB



Oleh: Devi Ramaddani
(Pemerhati Sosial)


Memasuki bulan februari sudah mulai terwarnai banyak permasalahan yang mencuat. Salah satunya baru-baru ini Pembangunan Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN) dan jalan tol segmen 5B di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai, pasalnya, pada proses pembangunan pihak pemerintah diduga terus melakukan penggusuran lahan warga setempat tanpa ada konfirmasi kepada pemilik lahan.

Hal tersebut mencuat kembali saat pelaksanaan sosialisasi oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), dengan menghadirkan masyarakat dari kelurahan terdampak yakni Gresik, Jenebora, Riko, dan Maridan Selasa (23/1) lalu. (https://posliputan.com/proyek-bandara-vvip-ikn-gusur-lahan-warga-tanpa-ada-ganti-rugi/?fbclid=IwAR1feaubD5jz34TV0avr0AgwbhyVLHykwm-bTJm7yq1fuoAnc4GxbfSFkw4)
Seperti tiada habisnya proyek IKN selalu membuat masalah baru terkait lahan pembangunan bandara VVIP. Konflik ini nyatanya menjadi salah satu persoalan yang dihadapi banyak rakyat, negara saat ini seakan tutup mata terhadap kejadian ini yang seakan tak mempertimbangkan kehidupan rakyat.

Kasus ini menjadi bukti bahwa proyek IKN tidak memperhatikan kepentingan rakyat dan hak rakyat. Tanah digusur tanpa ganti rugi padahal dari pemerintah sudah melakukan sosialisasi terkait pergurusan kejelasan atau legalisasi lahan yang seolah terdengar mudah. Namun saat melakukan pergurusan rakyat malah dipersulit.

Konflik ini menjadi keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Politik yang selalu memihak pada kepentingan liberal dan kapitalistik. Lahan-lahan milik rakyat dijadikan komoditas secara perlahan-lahan demi kepentingan beragam bisnis besar. Mirisnya lagi, konflik ini akan terus ada karena penguasa dan pengusaha senantiasa menjadikan kepentingan sebagai acuannya.

Mereka hanya mempertimbangkan keuntungan materi dan rupiah yang bisa dihasilkan dari proyek yang ada. Mereka tidak peduli akibat yang dialami rakyat setelahnya. Keuntungan itu juga tidak akan dinikmati masyarakat sekitar, melainkan oleh para pengusaha. Inilah gambaran paradoks pembangunan sistem demokrasi. Kebijakan yang dibuat berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia belaka. Akhirnya rakyatlah yang jadi korbannya.  

Padahal kalo kita menilik aturan Islam, Islam menetapkan negara adalah pengurus rakyat sehingga proyek-proyek yang digagas negara harus berpihak pada kepentingan rakyat dan untuk kemaslahatan rakyat. Adapun lahan yang menjadi milik rakyat, akan dilindungi dan dijamin keamanannya oleh negara. Sehingga tidak ada pihak yang akan menggusurnya termaksud penguasa.

Hal itu pernah dicontohkan oleh sikap tegas Khalifah Umar bin Khattab. Saat itu, Amru bin ‘Ash hendak membangun masjid. Namun, ada seorang ahlu dzimmah yang tidak rida tanahnya digusur. Dia seorang Yahudi. Lalu, dia ke Madinah mengadukannya kepada khalifah. Si Yahudi pemilik gubuk reyot yang dibongkar itu kaget karena tempat tinggal khalifah tidak semegah wali di Mesir. Dia menceritakan kejadiannya kepada Khalifah Umar.

Dengan tenang Khalifah Umar meminta si Yahudi mengambil sepotong tulang. Lalu, beliau menuliskan huruf alif dan meminta si Yahudi membawa tulang itu ke hadapan Amru bin ‘Ash. Si Yahudi membawanya dengan kejengkelan karena merasa ganjil dengan keputusan khalifah yang dianggap tidak ada maknanya. Namun, ia patuh dan menyerahkannya pada Amru bin ‘Ash.

Seketika, Amru bin ‘Ash sangat kaget dan takut. Serta merta, dia memerintahkan para tukang untuk membongkar masjid yang telah siap. Namun, si Yahudi terperangah dan mencegah Amru membongkarnya. Dia menanyakan makna tulang yang telah digores Umar itu.

Dia baru paham saat Amru menjelaskan bahwa tulang itu berisi ancaman dari khalifah. Seolah-olah beliau berkata, “Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab, jika kamu tidak bertindak demikian, pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!”

Coba lihat, karena itu adalah proyek yang dirancang negara seharusnya mendapat izin dari rakyat jika itu merupakan hak rakyat. Andai negara melakukan penggunaan tanah rakyat maka akan ada ganti untung yang sepadan bahkan lebih baik lagi. Jika terjadi sengketa antara rakyat dan negara maka Qadhi Madzalim akan bertindak.

Dengan demikian sistem Islam benar-benar memeprhatikan kesejahteraan dan memelihara urusan rakyat. Wallahu a'lam bish shawab.
Bagikan:
KOMENTAR