Jerit Buruh di Tengah Kondisi Yang Kian Keruh


author photo

2 Mei 2024 - 19.03 WIB


Oleh: Novi Noor (Aktivis Dakwah)

Hari Buruh Internasional atau May Day diperingati setiap 1 Mei. Sayangnya, sejak awal diperingati hingga kini, buruh di berbagai penjuru dunia masih terbelit problem kesejahteraan.  Ribuan buruh dari berbagai daerah di Kaltim telah menggelar aksi demonstrasi di Kota Samarinda pada Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2024. Aksi ini akan memusatkan perhatian pada tiga isu penting, yaitu hubungan kerja, pengupahan, dan jaminan sosial.

Menurut Ketua Federasi Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan (FSP Kahutindo) Penajam Paser Utara (PPU), Dedi Saidi, aksi demo ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi ketenagakerjaan di Kaltim, termasuk di PPU. “Tiga hal ini semua terjadi di seluruh Kaltim bahkan Indonesia, termasuk di PPU,” kata Dedi Saidi, Minggu (28/4).

Berbagai tuntutan pada May Day dari tahun ke tahun tidak pernah beranjak dari tuntutan-tuntutan sebelumnya yaitu kesejahteraan buruh. Kesempatan buruh untuk mendapat kesempatan hidup yang lebih layak, juga posisi tawar yang adil dalam hubungan kerja yang dibangun dengan para pengusaha. 

Berbagai aturan lahir memihak para pengusaha, seperti munculnya UU Cipta Kerja, RUU Kesehatan, dsb. Walhasil, para buruh meminta ada aturan yang dianggap dapat  melindungi nasib mereka. 

Kapitalisme Membawa Sengsara 

Sejatinya, persoalan buruh akan terus ada selama dunia masih menerapkan sistem yang sama yaitu kapitalisme yang menganggap buruh hanya sebagai faktor produksi. Tujuan perusahan mendapatkan untung yang besar dengan meminimalkan biaya produksi, termasuk biaya tenaga kerja.

Namun pada saat yang sama tidak ada jaminan dari negara karena negara hanya sebagai regulator dan penengah antara buruh dan perusahaan jika terjadi  konflik terkait upah dan lainnya. Akibatnya, buruh pun terjepit dalam ketakberdayaan. Jika bekerja, upah tidak menyejahterakan, sedangkan beban kerja amat berat. 

Kebijakan negara meliberalisasi berbagai bidang kehidupan, termasuk layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi, juga kapitalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber-sumber ekonomi strategis, seperti listrik, BBM, air bersih, dan sejenisnya; jelas-jelas telah membuat rakyat, termasuk buruh, sulit mengakses dan harus membayar mahal kebutuhannya. 

Ditambah dengan tingginya harga-harga sembako akibat pemerintahan yang hobi impor. Juga adanya berbagai jenis pungutan pajak yang membuat beban ekonomi rakyat makin bertambah berat.

Kondisi ini memang tidak bisa dihindari akibat umat hidup dalam sistem kapitalisme yang destruktif dan eksploitatif. Sistem yang tegak di atas landasan sekularisme ini memang menjadikan pemilik modal sebagai sentral kekuasaan. Bahkan, kekuasaan beserta segala sumber daya strategis yang sejatinya milik rakyat, justru menjadi ajang bancakan bagi para pemilik modal.

Ini jelas memperlihatkan bahwa negara berada dalam kendali korporasi yang dengan uangnya dapat membeli penguasa dan mengatur sesuai kepentingan mereka. Jadi, selama kapitalisme masih bercokol dan diterapkan, maka nasib buruh akan tetap keruh. 

Islam Menyejahterakan Buruh

Islam memilki pandangan berbeda dengan kapitalisme yang lepas tangan terhadap kesejahteraan buruh. Islam mempunyai pandangan bahwa buruh adalah bagian dari rakyah yang harus di-riayah (diurusi) oleh negara. Negara bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan tiap-tiap warga, termasuk parah buruh.

Kondisi buruh seperti hari ini tidak akan ditemukan dalam sistem Islam. Sistem Islam mengatur segalanya dengan landasan keimanan, dibangun untuk memuliakan manusia. Islam mengatur perburuhan bukan seperti perbudakan. Buruh adalah pekerja yang memiliki kedudukan setara dengan pemberi kerja. 

 Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda. “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).

Dari hadis tersebut, tersurat jelas bahwa majikan tidak boleh menunda atau mengurangi hak pekerjanya. Bagi pekerja pun wajib melaksanakan kerjanya sesuai kesepakatan awal. Jadi, sesungguhnya Islam tidak membolehkan adanya penentuan upah minimum karena hal itu dapat menzalimi pekerja.

Apabila terjadi perselisihan diantara pekerja dan pemberi kerja, masalah tersebut akan diserahkan kepada pihak ahli, yaitu pihak yang dapat memahami masalahnya sesuai bidangnya. Bukan diambil aliholeh negara dengan mematok nilai upah. Karena sesungguhnya haram dalam mematok nilai upah. 

Disisi lain, negara juga menjamin semua kebutuhan rakyat. Memenuhi kebutuhan rakyat dari pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan secara gratis dan berkualitas. Walhasil, sistem Islam inilah jawaban jitu bagi seluruh problem perburuhan, bahkan bagi problem umat secara keseluruhan. Wallahualam bissawwab.
Bagikan:
KOMENTAR