Perspektif Islam Memandang Kesetaraan Gender Dalam Perayaan Hari Kartini


author photo

5 Mei 2024 - 14.00 WIB



(Siti Aisyah, penulis adalah Mahasiswa di Universitas Mulawarman)

Tahun demi tahun kita pasti sudah tak asing dengan perayaan pada 21 April yang biasanya diperingati sebagai hari Kartini. Perayaan yang disemarakkan setiap tahun ini dipandang tidak hanya menjadi sebuah momentum seremonial semata. Akan tetapi, sebagai wujud perjuangan aktivis perempuan masa kini, agar perempuan tidak lagi dipandang sebelah mata. Tak ayal beragam kegiatan turut serta untuk memeriahkan hari tersebut.

Seperti yang dilakukan oleh Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kaltim yang mengajak seluruh masyarakat Benua Etam, untuk menyadari peran perempuan dalam mewujudkan perempuan yang mandiri secara pemikiran dan tindakan. Penasehat GPMB Kaltim, Encik Widyani Sjaraddin mengatakan, perjuangan perempuan dimulai dari sadar terhadap pentingnya sebuah literasi. Misalnya Kartini yang merupakan sosok perempuan, yang memiliki akses pendidikan dan banyak literatur. (Pusaran Media, 24/04).

Dari banyaknya sumber yang ada, memang sosok Kartini patut dijadikan inspirasi dalam hal keilmuan. Dengan ilmunya itu, dibagikan kepada perempuan yang tidak mendapatkan akses pendidikan pada masanya. Akan tetapi, saat ini narasi Kartini ala feminis berbanding terbalik dengan pola bentuk perjuangan Kartini di masa lalu. 

Apakah benar Kartini menggaungkan kebebasan untuk perempuan seperti yang diperjuangkan kaum feminis? Saat ini, narasi feminis membuat seruan perempuan harus bekerja,  berperan di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan juga pemerintahan. “Kartini masa kini”, inilah narasi yang diembuskan oleh kaum feminis sebagai bentuk emansipasi. Ide kaum feminis mengenai kepemimpinan perempuan pada sektor pemerintahan sebagai upaya memperjuangkan kesetaraan gender lahir dari akidah sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. 

Sejatinya kesetaraan gender bukanlah isu yang asing lagi bagi masyarakat. Kita dapat mendengar, membaca, atau bahkan melihat seorang yang menyuarakan kesetaraan gender di lingkungan tempat tinggal kita. Pasalnya, pilihan-pilihan dan keadilan yang digaungkan nampaknya membuat kita tak melihat akibat dan bagaimana sebenarnya pandangan Islam menanggapi hal ini. Karena sejatinya, agama tak dapat dipisahkan dari kehidupan pribadi kaum muslimin. 

Sebelum menilik lebih dalam membahas terkait kesetaraan gender, perlu kita ketahui apa itu feminise itu sendiri. Feminisme adalah sebuah pemahaman, sedangkan feminis adalah sebutan bagi orang yang menganut pemahaman tersebut.

Hal ini, juga berkaitan dengan beberapa surah di dalam Al-Qur’an yang memaparkan lebih dalam mengenai laki-laki dan perempuan. Sebagaimana, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Maha teliti.”  (QS. Al-Hujurat: 13)

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa Islam melihat laki-laki dan perempuan dengan pandangan proporsional tidak memakai pandangan subjektif atau asumtif seperti yang ada di negeri-negeri Eropa tadi, dalam Islam kedudukan perempuan sangatlah dimuliakan. 

Pada sistem sekarang, definisi boleh atau tidaknya suatu perbuatan bukan berlandaskan pada aturan Allah, tetapi pada hawa nafsu manusia. Pada lembaga institusi misalnya, tak jarang kita temukan diadakannya sebuah webinar atau kelas mengenai perspektif feminisme yang bertujuan memberi pemahaman bahwa untuk memperoleh keadilan, maka hendaknya perempuan memperjuangkan haknya untuk menjabat di kursi kepemimpinan.

Sejatinya perempuan dan laki-laki itu sama di mata pencipta. Hal yang membedakan hanyalah wujud ketaatan dan ketakwaan terhadap peraturan hidup yang telah Allah berikan kepada seluruh manusia. Ada yang taat, dan ada yang tidak. Kebebasan yang barat gaung-gaungkan justru mengeluarkan perempuan dari kemuliaannya. 

HAM merupakan konsep busuk yang barat jadikan sebagai alat untuk menjauhkan kaum muslim dari agamanya sendiri. Perempuan tidak butuh kebebasan untuk mencapai kebahagiaan dan tidak perlu memperjuangkan kesetaraan gender. Penyebabnya, permasalahan perempuan bukan terletak pada gendernya setara atau tidak.  

Dalam sejarah, para pembela Nabi Muhammad SAW tidak hanya berasal dari kalangan laki-laki, tetapi juga perempuan. Salah satunya seorang shahabiyah yang menggoreskan tinta emas dalam sejarah adalah Khaulah binti Tsalabah. Wanita dari Bani Auf ini termasuk yang unggul karena kecerdasannya. Ia pun piawai sehingga menjadi “juru bicara” muslimah.

Permasalahan perempuan sesungguhnya terletak pada penerapan sistem sekuler liberal yang membawa petaka bagi manusia dan seluruh alam raya. Bukan hanya perempuan, laki-laki pun nelangsa hidup dalam sistem ini. Oleh karena yang harus dikampanyekan adalah penerapan syariat Islam dan berjuang menerapkannya secara utuh dalam bingkai Daulah Islamiyah. 
Wallahu a’lam bish shawwab.
Bagikan:
KOMENTAR