Awas Logo Halal Padahal Haram!


author photo

9 Jun 2025 - 19.46 WIB


Oleh: Wardatil Hayati, S.Pd
(Pemerhati Ibu & Generasi)

Menjadi ibu sekarang ini, memang kudu musti penuh pengawasan ekstra, termasuk dalam hal memilih ataupun memberikan jenis jajanan untuk anaknya. Tak cukup hanya memperhatikan logo halal, nyatanya kita tetap kecolongan, buktinya ada banyak produk jajanan berlabel halal namun faktanya mengandung unsur babi. 

Seperti yang terjadi di Paser, Kalimantan Timur, sebagaimana yang dilaporkan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM) Paser menemukan 9 merek jajanan marsmellow mengandung babi (porcine).  Hal ini ditemukan saat melakukan pengawasan di sejumlah ritel modern toko tradisional. 

Kepala Disperindagkop UKM Paser, Yusuf mengatakan pengawasan dilakukan menindaklanjuti surat edaran dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim). Terkait temuan 9 produk jajanan bersertifikasi halal yang mengandung unsur babi.  
(https://nomorsatukaltim.disway.id/read/57516/disperindagkop-paser-temukan-9-merek-jajanan-marsmallow-mengandung-babi) 

Halal dan haram bagi setiap muslim bukanlah perkara main-main. Ini adalah perkara yang harus jelas dan pasti. Karena setiap muslim akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat terhadap apa yang masuk ke dalam perutnya.
Mengonsumsi produk halal merupakan perintah wajib dari Allah SWT, sebagaimana yang tercantum  dalam firmanNya, “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik” (QS Al-Maidah : 88).

Mengingat pentingnya perkara ini, memastikan produk halal untuk dikonsumsi tidak bisa hanya diserahkan kepada individu rakyat. Pemerintah wajib menjamin beredarnya produk halal di tengah masyarakat. Ini adalah salah satu peran penting pemerintah sebagai penanggung jawab segala urusan rakyat. 
Beredarnya produk makanan haram karena mengandung babi adalah bagian kecil dari akibat sistem ekonomi sekuler kapitalisme yang selama ini berlaku di negeri mayoritas muslim. Bisnis ala sistem sekuler kapitalisme tidak memedulikan halal-haram dan hanya berorientasi pada keuntungan saja.
Dalam sistem kapitalis sertifikasi halal justru dimanfaatkan sebagai celah untuk meraup cuan. Pelaku usaha harus membayar biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan sertifikasi halal. Jika pelaku usaha memiliki beberapa jenis produk, tentu biaya yang dikeluarkan semakin besar. Apalagi, proses sertifikasi kerap membutuhkan syarat yang rumit dan memerlukan waktu yang lama. Alhasil, tidak semua pedagang bisa mendapatkan sertifikasi halal, meski produk yang dibuatnya bebas dari zat haram. 
Lalu hanya yang "mampu" yang bisa 'membeli' sertifikat halal ini. Kondisi ini menyebabkan jaminan sepenuhnya terhadap kehalalan produk tentu tidak akan terwujud.

Negara gagal menjamin dan melindungi warganya dari produk halal. Bisa jadi masih banyak beredar makanan mengandung babi, seperti fenomena gunung es, yang terungkap ke permukaan hanya sebagian kecil saja. Tentu saja peristiwa ini sangat miris bagi  negeri muslim terbesar di dunia.

Kaum muslim akan terus menghadapi berbagai masalah dalam kehidupannya. Di antaranya terkait jaminan halal. Fungsi pengawasan tidak akan berjalan efektif jika akar masalahnya tidak pernah dihilangkan. Karena itu solusinya juga harus bersifat sistemik. 
Islam memandang bahwa barang haram bukanlah barang ekonomi yang boleh diperjualbelikan. Produk yang beredar di tengah masyarakat muslim wajib produk halal saja, sedangkan produk haram hanya boleh beredar di kalangan non-muslim. Di dalam sistem Islam (Khilafah), produk makanan yang diimpor ke wilayah Khilafah akan disaring dan diperiksa kehalalannya sebelum masuk pasar. Peredaran produk di tengah masyarakat akan mendapat pengawasan dari negara. Negara memberikan wewenang tersebut kepada qadhi hisbah, yaitu hakim yang mengadili hak-hak masyarakat secara umum. Qadhi hisbah ini bertugas melakukan pengawasan produk secara rutin ke pasar, tempat pemotongan hewan, ataupun pabrik untuk memastikan kehalalannya. Ketika terjadi pelanggaran, maka qadhi hisbah berhak menjatuhkan sanksi pada saat itu juga. Sanksi bisa berupa pelarangan produk untuk beredar, atau pelaku usaha yang menjual barang haram bisa dijatuhi hukuman ta’zir.

Demikianlah pengaturan dalam Islam dalam menjamin produk halal untuk dikonsumsi rakyatnya. Tentu jaminan ini akan membuat rakyat tenang dalam memenuhi kebutuhan mendasarnya. Maka, sudah saatnya Islam menjadi hukum untuk mengatur urusan publik, bukan hanya mengatur ibadah ritual saja. Semua pengaturan ini hanya akan terwujud ketika negara menerapkan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah.

Wallahu’alam bishowab.
Bagikan:
KOMENTAR