Partai Islam dan Jebakan Politik Kursi Ala Demokrasi


author photo

16 Nov 2020 - 09.07 WIB


Oleh : Nada Navisya
 
"Kami yang bertanda tangan di bawah ini, mendeklarasikan kembali aktifnya Partai Politik Islam Indonesia yang dinamakan 'Masyumi'," Kata Cholil dalam deklarasi yang disiarkan secara virtual, sabtu (7/11). Bagi masyarakat Indonesia, agaknya Masyumi bukanlah kata yang asing ditelinga. Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau yang dikenal dengan nama Masyumi, merupakan organisasi masyarakat yang dibentuk oleh Jepang pada 1943 untuk meredam potensi pemberontakan yang mungkin dikerahkan kelompok Islam pada saat itu. Anggotanya adalah perkumpulan-perkumpulan Islam yang mendapat status legal dari pemerintah serta para kiai dan ulama yang mendapat rekomendasi dari Shumubu (Biro Urusan Agama). 

Sejak didirikan, partai ini sudah banyak mengambil hati umat Islam di Indonesia. Bagaimana tidak, dalam anggaran dasarnya, disebutkan bahwa Masyumi memiliki tujuan utama yaitu untuk terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat, dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi. Sehingga seiring perjalannanya dalam kancah perpolitikan, banyak ormas Islam dan perorangan yang kemudian ikut bergabung dengan partai ini. 

Namun sayang, pasang surut partai Masyumi dalam perjuangannya untuk menegakkan syariat Islam selalu kandas karena pertentangan dengan beberapa rezim. Sebut saja Di era Sukarno, Masyumi merasakan masa keemasan. Mereka berada di urutan kedua partai dengan pemilih terbanyak dalam Pemilu 1955. Namun pada akhirnya partai ini dibubarkan Sukarno. Tidak sampai disini saja, Ketika Soeharto jatuh dan era Reformasi bergulir, Masyumi disebut-sebut bangkit dari kubur lewat Partai Bulan Bintang (PBB). Tapi PBB gagal mengikuti jejak Masyumi. Pada Pemilu 1999, PBB hanya mendapatkan 13 kursi di DPR. Lima tahun berikutnya, jumlah kursi berkurang menjadi 11. Pada Pemilu 2009, suara mereka anjlok lebih dari satu juta sehingga tak lolos ambang batas parlemen. Situasi ini terus berlanjut hingga pemilu terakhir. (tirto.id 13/11/2020).

Kejadian serupa terus berlanjut sampai sekarang, banyak dari partai politik Islam berdiri karena tiadanya peluang pada partai yg ada untuk mewujudkan cita-cita mulia, yaitu menegakkan syariat Islam. Partai Islam yang baru terus berdatangan menggantikan partai Islam yang lama karena ketidakpuasan terhadap partai sebelumnya. Jika dilihat dari realita yang terjadi timbul beberapa pertanyaan, Mengapa niat mulia yang ingin diperjuangkan oleh partai Islam ini tidak dapat terlaksana sampai sekarang? padahal banyak yang beranggapan jika ingin syariat Islam diterapkan maka harus masuk ke dalam politik demokrasi, apakah benar demikian? 

*Penegakan Syariat mustahil diwujudkan di kancah politik demokrasi*

Perjuangan partai Islam untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini agaknya mustahil terwujud, jika jalan yang ditempuh adalah dengan masuk ke dalam politik demokrasi. Jika sudah masuk, maka aktivitas-aktivitas politik yg dilakukan hanya berorientasi pada meraih kursi, hingga nantinya berkuasa untuk mengubah tatanan yg ada. Padahal hasilnya sudah jelas, yang akan memenangkan kursi di sistem demokrasi adalah partai yang paling banyak mendapat dukungan dari para pemilik modal, seperti yang dikatakan oleh Ketua Umum PBB Yusril "yang punya dana besar itu para cukong, para penguasa. Sepanjang pengalaman saya, tidak ada cukong dan pengusaha besar yang mendanai partai Islam. Makanya, partai-partai Islam itu hidupnya ngos-ngosan."(tirto.id/13/11/2012). 

Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan mustahil pemilik modal akan memilih partai Islam. Karena sangat jelas jika syariat diterapkan akan menghambat tujuan para pemilik modal yaitu salah satunya menguasai sumber daya alam yang seharusnya menjadi kepemilikan umum dalam Islam.

Selain itu, politik demokrasi berasal dari ideologi kapitalisme yang berasaskan sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Sehingga jelas tidak akan ada ruang kosong untuk syariat Islam didalam sistem ini. Karena Islam politik mewajibkan penerapan Islam Kaffah pada seluruh dimensi kehidupan. Seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin, Hujjatul Islam "Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang." Sangat disayangkan, jika partai politik Islam masih mau masuk ke dalam jebakan politik demokrasi, padahal akan menemui kegagalan lagi natinya, seperti partai-partai Islam sebelumnya.

*Penegakan Syariat hanya bisa terwujud di dalam Sistem Pemerintahan Islam (Khilafah)*

Niat yang benar haruslah diikuti dengan cara yang benar pula. Jika demokrasi bukanlah wadah untuk menerapkan syariat Islam, seharusnya umat memikirkan wadah yang tepat untuk menerapkan syariat Islam. Tidak usah mengambil sistem diluar Islam karena Islam bukanlah agama yang hanya bersifat ruhiyah namun juga bersifat aqliyah. Islam mempunyai institusi politik yang mampu menerapkan syariat Islam secara kaffah. Bahkan Rasulullah Saw. Ttelah mencontohkan bagaimana metode untuk menegakkan institusi politik (Khilafah) tersebut agar niat mulia tadi dapat terwujud.

 Adapun metode yang telah dicontohkan oleh rasulullah adalah (1) Pembinaan (at-tatsqif), (2) interaksi dengan umat (at-tafa'ul), termasuk mencari dukungan dan pertolongan (thalab an-nusrah), dan (3) penerimaan kekuasaan dari pemilik kekuasaan (istilam al-hukmi).

 Ketiganya adalah metode yang telah terbukti berhasil mendirikan Negara Islam pertama di Madinah, dan langsung dicontohkan oleh teladan kita Rasul Muhammad Saw. Sehingga kita wajib mengikuti metode tersebut. Seperti firman Allah Swt yang artinya: "apa saja yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…"(QS. Al Hasyr:7)

Metode shahih tadi, mengajarkan umat bahwa tidak mungkin mendirikan negara Islam jika masyarakat masih buta politik (abai kepada masalah umat). Pembinaan yang dilakukan tidak lain untuk mengubah pola sikap dan pola fikir sesuai dengan islam sehingga perubahan akan mudah untuk terwujudkan. Karena masyarakat sendiri nantinya yang meminta untuk diterapkan syariat Islam dalam naungan Khilafah bukan hanya anggota dari partai Islam itu. 

Oleh karena itu,  tujuan partai politik Islam tidak mungkin terwujud jika masih terjebak dalam politik demokrasi, tujuan menerapkan syariat islam secara kaffah hanya akan terwujud dalam naungan institusi Khilafah.
Bagikan:
KOMENTAR