Meneladani Kartini di Masa Kini


author photo

25 Apr 2024 - 21.30 WIB


Oleh: Rosyidah Muslimah,S.Kom.I
(Pemerhati Sosial)
 
Nidya Listiyono Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur mengajak perempuan lebih meneladani perjuangan Raden Ajeng Kartini yang mampu menyalakan api perjuangan di masanya. Kaum perempuan diharapkan terus berkarya, mengembangkan diri, dan memperluas ilmu pengetahuan.
 
Memang Ibu Kartini adalah contoh perempuan di masa lalu yang memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, karena di masa itu jarang sekali perempuan yang berpendidikan. Sehingga beliau ingin menyamakan hak belajar antara perempuan dengan laki-laki.
 
Jika kita melihat pada sejarah, sosok Kartini merupakan perempuan yang cerdas dan kritis, beliau banyak belajar hal-hal baru untuk menambah wawasannya. Beliau juga bangsawan yang hidup dekat dengan ajaran Islam, saat itu beliau bertemu Kiai Sholeh Darat untuk mempelajari isi Al-Quran. Saat itu belum ada Al-Quran terjemah dalam bahasa Indonesia sehingga sulit untuk mengetahui arti dan maknanya.
 
Kiai Sholeh Darat saat itu menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa dan membuat pengajian di Masjid Agung Demak. Kartini rutin menghadiri pengajian tersebut dan menurutnya hal ini sangat penting untuk dipelajari oleh setiap umat Muslim baik laki-laki maupun perempuan.
 
Namun saat ini makna perjuangan Kartini disalahartikan oleh para kaum feminis, mereka menyamakan emansipasi perempuan dalam berbagai hal bukan hanya soal hak dalam belajar atau berpendidikan tetapi juga dalam hal pekerjaan, hak antara suami dan istri, hingga menjadi bagian dalam pemerintahan termasuk pemimpin negara.
 
Padahal dalam Islam sudah jelas mengenai hak dan kewajiban perempuan, adapun mengenai peran perempuan sebagai bagian pemerintahan dan pemimpin negara. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dikatakan:
 “Lan yufliha qawm[un] wallaw amrahum imra‘at[an]”
“Tidak akan pernah berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada perempuan).”
 
Lebih terperinci, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiah), perempuan boleh menjadi pegawai dan pimpinan swasta maupun pemerintahan, tetapi yang tidak termasuk wilayah al-amri atau al-hukmi, seperti kepala Baitulmal, anggota Majelis Wilayah, anggota Majelis Ummah, Qâdhi Khushumât (hakim yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat), ataupun Qadhi Hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat). Perempuan juga boleh menjadi kepala departemen, seperti bidang kesehatan, pendidikan, perindustrian, dan perdagangan; menjadi rektor perguruan tinggi, kepala rumah sakit, dan direktur perusahaan; dan lain-lain.
 
Kartini memang pahlawan perempuan dalam hal agar perempuan bisa terdidik. Pemahamannya itu karena inspirasi ayat Al-Quran pedoman hidup umat Islam, sayangnya perjuangannya belum selesai bahkan disalahartikan oleh para pejuang emansipasi perempuan. Kartini teladan dalam hal semangat untuk menuntut ilmu, tentu dalam Islam hal itu pun kewajiban. Jangan salah artikan perjuangan Kartini diera kekinian. Saatnya menyadarkan kaum muslimah akan perjuangan perempuan yang sesungguhnya yakni mengembalikan kehidupan Islam agar perempuan mulia.
 
Oleh karenanya, para muslimah muda harus memahami bahwa paradigma gender yang diserukan oleh kaum feminis sesungguhnya ilusi atau tipuan belaka. Muslimah muda harus bisa memahami akar masalah dan keterpurukan kondisi perempuan dan kehidupan manusia hari ini adalah akibat paradigma sekuler kapitalisme yang hanya akan bisa dibenahi dengan penerapan Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahu’alam.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT