Ramadhan Pergi, Akankah Ketakwaan Juga Ikut Pergi?


author photo

10 Apr 2024 - 01.01 WIB



Oleh: Ninis (Aktivis Muslimah Balikpapan)

Ramadhan sudah berada di penghujung waktu.  Sebentar lagi umat Islam seantero dunia akan merayakan Hari Kemenangan. Umat Islam tersibukkan menyiapkan lebaran dibandingkan mengoptimalkan ibadah di akhir ramadhan.  Sedangkan para sahabat Rasulullah SAW sedih menjelang akhir ramadhan dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. 

Sedihnya para sahabat menjelang akhir ramadhan disebabkan bulan penuh ampunan dan dilipatgandakan pahala akan segera pergi. Sekaligus mereka khawatir apakah tahun depan masih berjumpa kembali di bulan ramadhan. Namun, pemandangan yang berbeda di negeri ini justru di akhir ramadhan masjid-masjid menjadi sepi. Tempat perbelanjaan ramai.

Padahal hampir sebulan penuh sudah menggembleng diri dengan banyak mendekatkan diri pada Allah. Kaum muslimin  selain menjalankan ibadah puasa juga melakukan amal-amal yang lain seperti tadarus, sholat tarawih, berinfak, mengkaji Islam, berdakwah, itikaf dan lain sebagainya. 

Tak hanya menjalankan ibadah yang wajib dan sunnah. Namun kaum muslimin juga berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah selama bulan Ramadhan.  Makan dan minum di siang hari saja mampu ditinggalkan apalagi perbuatan maksiat yang jelas keharamannya.

Ketakwaan yang sudah dibangun pada bulan ramadhan akankah tetap ada ataukah hilang tak berbekas? Lantas, bagaimana caranya agar kaum muslimin senantiasa dalam ketakwaan setelah Ramadhan?

*Hilang Tak Berbekas*

Suka cita dirasakan kaum muslimin di hari kemenangan. Bahagia berkumpul bersama keluarga, memakai baju baru, memakan hidangan khas lebaran merayakan hari kemenangan. Seolah makna hari kemenangan sebatas itu saja. Ketakwaan yang dipupuk di bulan ramadhan mulai berkurang bahkan hilang tak berbekas. 

Pasca Ramadhan kaum muslimin terjebak kembali ke habitat  semula. Melalaikan sholat, membaca Al Qur'an, tidak menutup aurat, mengkaji Islam apalagi mendakwahkan Islam. Seolah ketakwaan itu hanya ada di bulan Ramadhan saja.

Sejatinya penerapan aturan sekuler (menjauhkan agama dari kehidupan) yang menyebabkan sulitnya menjaga ketakwaan. Konsisten dalam ketaatan (istikamah) butuh effort yang kuat karena tidak didukung oleh aturan Islam dan suasana keimanan.

Oleh karena itu,  support sistem dari masyarakat dan negara sangat berperan dalam menjaga ketakwaan individu serta ketakwaan kolektif. Suasana keimanan dan amar ma'ruf nahi mungkar ada di tengah-tengah masyarakat. 

*Kemenangan Hakiki*
Idul fitri merupakan hari kemenangan bagi kaum muslim, yakni kemenangan mengendalikan hawa nafsu. Jangankan yang haram, makanan dan minuman halal pun mampu ditinggalkan pada siang hari selama Ramadan. Tentu ini merupakan madrasah penting bagi kaum muslim di seluruh dunia untuk melakukan perubahan yang berujung pada ketakwaan.

Dalam Al Qur'an surah Al Baqarah Ayat 183 dijelaskan hikmah dari ibadah puasa agar bertakwa. Artinya selepas ramadhan taat dan tunduk pada aturan Allah. Inilah makna kemenangan hakiki yakni ketakwaan yang seharusnya terpatri dalam diri seorang muslim.

Imam Ath-Thabari saat menafsirkan ayat tersebut, antara lain mengutip Al-Hasan yang menyatakan, ”Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang telah Allah haramkan atas diri mereka dan melaksanakan perkara apa saja yang telah Allah titahkan atas diri mereka.” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân li Ta’wîl al-Qur’ân, I/232-233).

Menjalankan semua perintah Allah Swt. dan menjauhi semua larangan-Nya itu harus diwujudkan dengan cara mengamalkan seluruh syariat-Nya. Baik terkait akidah dan ibadah, makanan, minuman, pakaian, dan akhlak. Juga terkait muamalah  seperti ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya.  Maupun terkait ‘uqubat (sanksi hukum) seperti hudud, jinayah, takzir, dan mukhalafat.

Tentunya tidak dapat disebut takwa jika seseorang biasa melakukan salat, puasa ramadhan, bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah, tetapi ia juga masih memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat, serta menolak penerapan syariat secara kaffah.
Ketakwaan tentu saja harus diwujudkan tidak hanya dalam ranah individu belaka, tapi juga pada ranah masyarakat dan negara. 

Ketakwaan itu harus bersifat kolektif. Hal ini hanya mungkin bisa diwujudkan dalam institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Institusi negara itu  adalah Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Khilafah inilah yang dahulu pernah dipraktikkan oleh Khulafaurasyidin dalam mewujudkan ketakwaan kolektif di masyarakat. Wallahu A'lam.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT