Refleksi Hari Kesehatan: Akses Kesehatan Bermutu, Sudahkah Kita Dapatkan?


author photo

12 Apr 2024 - 18.34 WIB


Penulis: Yulita Andriani, A.Md.Rad

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan melalui kampanye Hari Kesehatan Dunia 2024, diharapkan terwujudnya kesehatan bagi semua agar mendapat akses pelayanan kesehatan bermutu

Menurut beliau, “Dengan tema Hari Kesehatan Dunia tahun ini diharapkan terwujudnya kesehatan bagi semua. Didambakan agar semua kita mendapat akses pada pelayanan kesehatan yang bermutu, juga mendapat pendidikan dan informasi kesehatan yang diperlukan.” Juga menambahkan kesetaraan kesehatan bagi semua juga termasuk memperoleh air minum yang aman dan sehat, udara bersih, makanan bergizi, rumah yang sehat, pekerjaan yang memadai dan terhindar dari berbagai diskriminasi kesehatan.
Untuk dapat mewujudkan hak kesehatan yang baik, World Health Organization (WHO) meminta agar pemerintah berbagai negara menjamin terwujudnya proteksi sosial seperti berbagai asuransi kesehatan, sistem pensiun, perlindungan bagi mereka yang tidak bekerja, dan lain-lain. “Agar semua anggota masyarakat akan mendapat pelayanan kesehatan tanpa berdampak yang berarti bagi kantong dan keuangan diri dan keluarganya,” katanya.
Tanggal 7 April 2024 diperingati sebagai “World Health Day” atau Hari Kesehatan Sedunia. Ini ditetapkan sejak WHO berdiri di tahun 1948. Tema Hari Kesehatan sedunia tahun ini adalah 'My health, my right’, atau kesehatan kita adalah hak kita.

Tema ini dipilih oleh WHO karena hak mendapatkan kesehatan yang setara masih mendapat tantangan di berbagai belahan dunia yang ditunjukkan dengan terjadinya berbagai wabah dan peningkatan berbagai jenis penyakit, terjadinya berbagai perang, kelaparan bahkan kematian, merebaknya masalah polusi udara, dan lebih dari separuh penduduk dunia belum sepenuhnya mendapat pelayanan kesehatan esensial bermutu yang diperlukan.
Menjadi pertanyaan, sudahkah terjamin akses kesehatan bermutu bagi rakyat?
Antara Realita Dan Harapan, Jauh Panggaang daripada Api
Saat ini, jumlah SDM kesehatan di Indonesia mencapai 1.182.024 orang, terdiri dari 73,13% tenaga kesehatan dan 26,87% tenaga penunjang kesehatan. Tentu saja jumlah ini masih jauh dari tersedianya kebutuhan tenaga kesehatan. Belum lagi jika kita dihadapkan dengan distribusi dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia yang belum merata hingga menjangkau pelosok desa. Melihat realitas ini, SDM kesehatan masih banyak PR-ny
Transformasi kesehatan harusnya dimulai dari kualitas pelayanan kesehatan. Contoh indikator paling mudah dalam menilai layanan kesehatan hari ini adalah BPJS Kesehatan. Karut-marut mewarnai perjalanan BPJS Kesehatan sebagai lembaga yang mengomersialisasi kesehatan seperti bisnis. 
“Anda bayar berapa, sebanyak itulah kami melayani kesehatan Anda,” seperti itulah fakta BPJS Kesehatan. Masyarakat diharuskan membayar sejumlah premi, tetapi pelayanan yang diberikan sangat minimalis dan sebisanya atau ala kadarnya. Padahal layanan kesehatan adalah kebutuhan asasi publik. Tetapi justru negara melakukan pelayanan kesehatan kepada rakyat dengan prinsip profit oriented.
Layanan kesehatan seharusnya diberikan secara gratis atau setidaknya berbiaya murah. Namun, dalam pandangan  kapitalisme “Tidak ada makan siang gratis.” Bahkan, negara dituntut untuk menyerahkan kepada swasta dan hasilnya terjadilah kapitalisasi dunia Kesehatan, mulai dari jasa pelayanan hingga pengadaan obat-obatan.
Transformasi kesehatan harusnya mengarah pada terselesaikannya persoalan dasar kesehatan, yakni jaminan kesehatan negara kepada rakyat, seperti infrastruktur memadai, layanan kesehatan gratis, serta pemenuhan kebutuhan pokok sehingga tidak ada masalah stunting, gizi buruk atau dampak negatif akibat ekonomi yang tidak sejahtera, Bukan malah tersibukkan pada persoalan cabang seperti ekosistem digital kesehatan. 
Digitalisasi kesehatan memang penting pada era digital. Tentunya untuk pelayanan Kesehatan yang lebih efektif dan efisien. Namun, alangkah baiknya negara memprioritaskan jaminan kesehatan dahulu sebelum bicara digitalisasi. Sebagai contoh, masyarakat pelosok desa tentu lebih membutuhkan puskesmas, klinik, atau rumah sakit dan tenaga kesehatan yang lokasinya dekat dengan rumah mereka ketimbang konsultasi dengan dokter secara online.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyayangkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak diikuti dengan perbaikan kualitas pelayanan seperti yang dijanjikan. Ia mengatakan, sudah tagihan naik, pelayanan pun memburuk. Nyatanya, hak ini memang sesuai dengan kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat.
Pemerintah beberapa kali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Mengatakan BPJS Kesehatan memudahkan masyarakat berobat tanpa pungutan biaya, justru salah besar sebab masyarakat justru “dipalak” untuk membayar iurannya setiap bulan. Dalam sistem kesehatan kapitalistik yang berlaku ialah “ada uang, ada pelayanan”. Pemberi iuran akan memperoleh sesuai dengan yang telah dibayarkan.
Maka, tampak bahwa tema “My Heath My Right” bagaikan jauh panggang dari api, tampak jauh antara realita dan harapan.
Jaminan Kesehatan dalam Islam
Sistem Islam adalah satu-satunya yang bisa menjamin kesehatan masyarakat steril dari komersialisasi. Pertama, kesehatan merupakan kebutuhan pokok yang diharamkan untuk dikomersialkan.
Kedua, peran negara bukan regulator, melainkan pihak yang bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat, secara gratis dan berkualitas. Negara harus mendirikan rumah sakit sesuai kebutuhan masyarakat dengan fasilitas lengkap tanpa membedakan antara desa dan kota. Ketersediaan para dokter dan obat-obatan juga sangat diperhatikan untuk dipenuhi oleh negara.
Ketiga, pembiayaan kesehatan antidefisit tidak membebani masyarakat, rumah sakit, dan para dokter sedikit pun. Pembiayaannya berbasis baitulmal yang bersifat mutlak, sumber-sumber pemasukan serta pengeluaran berdasarkan ketentuan syariat. (Nizhamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 245). Keberadaan lembaga-lembaga pelaksana teknis fungsi negara (rumah sakit atau laboratorium) dilarang menjadi sumber pemasukan kekayaan negara.
 Kemampuan sistem Islam sebagai institusi penjamin Kesehatan yang non komersial  terbukti saat Islam menaungi dunia dalam institusi Khilafah. Fasilitas-fasilitas kesehatan tersedia, jumlah dan kualitas serta keberadaannya pun merata ke seluruh negeri.
Mengeluarkan masyarakat dari berbagai masalah kesehatan hanya dapat terealisasi dengan mengganti sistem yang “sakit” bernama kapitalisme,  dengan sistem Islam. Masyarakat pun bisa merasakan apa yang disabdakan Rasulullah saw., “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari). Wallahualam.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT