Oleh: Ferdina Kurniawati
(Aktivis Dakwah)
September 2024, kelompok nelayan tradisional telah mengadu ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, kata Ketua Front Kebangkitan Petani dan Nelayan, Heri Amrin Fasa. Saat itu mereka menemukan deretan pagar bambu di perairan Kabupaten Tangerang. Selain telah menyulitkan mereka melaut, kelompok nelayan juga cemas pagar dan petak-petak itu didirikan untuk proyek reklamasi.
Heri berkata, pejabat dinas waktu itu menyebut pagar bambu itu didirikan tanpa izin. Namun mereka membuat klaim tak berwenang mencabutnya. Tak menemukan solusi dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Heri dan kelompok nelayan lantas mengadu ke Ombudsman di Jakarta. Langkah itu yang belakangan membuat persoalan ini viral dan ramai dibicarakan publik.(BBC news)
Misteri pagar bambu sepanjang 30 km di Pantai Tangerang akhirnya terkuak. Pihak swastalah yang ternyata melakukan pemasangan pagar-pagar bambu tersebut, bukan warga nelayan sebagaimana klaim sejumlah tokoh dan ormas.
Lebih mengejutkan lagi, ternyata kawasan tersebut sudah dikapling-kapling dan sudah memiliki HGB (Hak Guna Bangunan). Menurut Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, total ada 263 HGB milik dua perusahaan. Padahal ini merupakan pelanggaran terhadap putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 yang melarang pemanfaatan ruang untuk HGB di atas perairan.
Terungkap pula ternyata pemagaran dan pengkaplingan kawasan laut sudah terjadi di sejumlah kawasan di Tanah Air. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono membeberkan, total ada 169 kasus yang membentang dari Batam hingga Surabaya. Bahkan di Sidoarjo, laut yang sudah dikapling-kapling mencapai 657 hektare.
Sebanyak enam pejabat di lingkungan Kementerian ATR/BPN telah dicopot dari jabatannya buntut kasus pagar laut sepanjang 30 km di Kabupaten Tangerang, sedangkan dua lainnya disanksi berat. Tidak dijelaskan secara rinci mana pejabat yang dicopot dan mana yang dikenakan sanksi berat.
Namun, yang pasti, berdasarkan keterangan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis (30/1/2025), salah satu yang terkena imbas dari kasus pagar laut adalah mantan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang berinisial JS.
Menurut Nusron, delapan orang tersebut sudah diperiksa dan disanksi inspektorat Kementerian ATR/BPN. Kini, mereka tinggal menunggu surat keputusan terkait penjatuhan sanksi itu.
Negara Absen
Melihat kondisi ini wajar jika masyarakat mempertanyakan peran negara dalam menjaga kedaulatan wilayah dan melindungi kepentingan warganya. Mengapa pemasangan pagar laut dan pengkaplingan tersebut bisa terjadi secara masif dan luas? Mengapa pula para pemilik kapling tersebut bisa mendapatkan HGB maupun Sertifikat Hak Milik (SHM) di atas laut? Padahal Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan larangan terhadap hal tersebut.
Pemagaran itu juga dinilai oleh banyak pihak merugikan warga nelayan dan mengancam ekosistem. Bagi nelayan, ruang tangkap ikan menjadi terbatas dan menambah jarak tempuh pelayaran. Belum lagi risiko kapal rusak karena menabrak pagar bambu.
Secara lingkungan, menurut Walhi, konstruksi pagar bambu di Laut Pantura tidak bermanfaat untuk mencegah abrasi laut sebagaimana klaim sebagian orang. Malah pagar-pagar itu dapat mengakibatkan sejumlah kerusakan alam, seperti menghambat laju arus laut, memicu kekeruhan air laut, juga dapat menimbulkan penumpukan sedimen akibat terhalang pagar bambu yang menancap di pasir.
Rakyat mengkhawatirkan ada permufakatan jahat pejabat dengan para pengusaha. Akibatnya, terjadi pembiaran proses pemagaran, bahkan sampai terbitnya HGB dan SHM atas kawasan laut tersebut. Anehnya, sampai hari ini tidak ada instansi atau pejabat terkait yang menyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Rakyat juga khawatir jika kejadian seperti ini meluas dengan mengatasnamakan Proyek Strategis Nasional (PSN). Faktanya, PSN banyak memicu konflik agraria atau pertanahan. Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA) melaporkan bahwa sepanjang 2024, pembangunan infrastruktur menjadi penyebab nomor dua konflik agraria pada 2024. Dari total 79 kasus agraria bidang infrastruktur, 36 kasus di antaranya disebabkan oleh pengadaan tanah untuk PSN. Ini mencakup PSN kawasan industri, kawasan kota baru, fasilitas umum, kawasan pariwisata atau infrastruktur, pembangkit listrik, Ibu Kota Nusantara (IKN), bendungan, hingga bandara.
Faktor lain yang mengakibatkan konflik lahan, termasuk privatisasi kawasan publik, adalah permufakatan jahat penguasa dengan kaum kapitalis. Para penguasa menjadi pemburu renten. Mereka berkolusi dengan pengusaha jahat untuk keuntungan pribadi. Mereka mengkhianati rakyat mereka sendiri. Padahal Allah Swt. telah mengingatkan bahaya dari pengkhianatan ini. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), dan jangan pula kalian mengkhianati amanat-amanat yang telah dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui.” (QS Al-Anfal [8]: 27).
Sayangnya, pengkhianatan inilah yang kita saksikan di negeri ini. Banyak kebijakan penguasa khianat yang justru menguasakan kepemilikan umum (seperti pertambangan, hutan, kawasan laut, dll.) kepada para pengusaha. Bahkan tidak jarang warga diusir dari lahan mereka atau mereka diberi kompensasi yang tidak adil. Padahal Allah Swt. telah mengingatkan tentang kerasnya ancaman yang bakal ditimpakan kepada para pelaku kezaliman. Allah Swt. berfirman, “Jika Allah menghukum manusia karena kezaliman mereka, niscaya tidak akan Dia biarkan satu makhluk melata pun di bumi. Akan tetapi, Allah menangguhkan mereka sampai pada waktu yang telah ditentukan. Kemudian saat telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkan atau memajukan waktu tersebut sesaat pun.” (QS An-Nahl [16]: 61).
Islam Melindungi Hak Milik
Salah satu penyebab konflik lahan, termasuk kawasan perairan di negeri ini adalah karena ketakjelasan perlindungan terhadap kepemilikan lahan. Akibatnya, kerap terjadi kasus penyerobotan lahan warga, baik oleh warga lainnya, oleh perusahaan, ataupun oleh negara.
Sementara itu, hukum Islam sedari awal telah mengklasifikasikan kepemilikan lahan dengan jelas, yakni milik pribadi, milik umum, dan milik negara. Islam pun memberikan perlindungan atas kepemilikan lahan ini. Perlindungan atas hak milik ini pernah disampaikan oleh Nabi saw. saat Khotbah Wada di Padang Arafah. Sabda beliau saw., “Sungguh, darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian itu haram atas kalian seperti haramnya hari ini, bulan ini, dan negeri ini.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Pesan Rasulullah saw. di atas berlaku untuk semua macam kepemilikan, yakni milik pribadi, milik umum, maupun milik negara. Siapa pun diharamkan merampas hak milik pihak lain.
Negara pun haram merampas lahan milik rakyat/perorangan, walaupun dengan dalih untuk pembangunan. Negara wajib memberikan kompensasi atau membeli lahan warga dengan cara yang diridai oleh pemilik lahan. Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil, kecuali dengan jalan perniagaan atas dasar keridaan di antara kalian.” (QS An-Nisa’ [4]: 29).
Syekh As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah tindakan mengambil harta dengan cara perampasan (ghasab), pencurian, perjudian, dan penghasilan yang buruk. (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân, 1/175).
Syariat Islam menetapkan kawasan laut sebagai milik umum sehingga tidak boleh dikuasai oleh perorangan atau perusahaan swasta. Laut adalah area yang dibutuhkan oleh banyak orang, seperti untuk mencari hasil laut, pelayaran untuk kapal penumpang dan kapal perdagangan, dsb. Dengan demikian laut termasuk ke dalam hadis yang disampaikan oleh Nabi saw., “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api. Dan harganya adalah haram.” Abu Sa’id berkata, “Yang dimaksud adalah air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah).
Membatasi hak masyarakat untuk memanfaatkan kawasan laut, seperti dengan pemagaran, adalah kezaliman. Negara jelas tidak boleh mengeluarkan izin eksklusif bagi segelintir orang atau perusahaan swasta untuk menguasai sebagian kawasan laut. Sebabnya, hal itu akan menyebabkan akses masyarakat untuk memanfaatkan laut menjadi terhalang.
Kawasan yang merupakan milik umum, termasuk kawasan laut, terbuka untuk dimanfaatkan oleh siapa saja. Ini persis sebagaimana Mina yang diizinkan oleh Nabi saw. bagi siapa saja yang datang ke sana untuk menunaikan ibadah haji. Sabda Rasulullah saw., “Mina adalah tempat singgah bagi siapa saja yang datang lebih dahulu.” (HR At-Tirmidzi).
Oleh karena itu, pembatasan akses masyarakat terhadap kawasan milik umum, seperti laut, adalah haram. Apalagi jika hal tersebut mengakibatkan kemudaratan atau kerugian bagi masyarakat. Kaum muslim, apalagi penguasa, berkewajiban untuk mencegah kemudaratan atau kerugian apa pun yang menimpa rakyat.