Banda Aceh – Ambisi Direktur Utama PT Pembangunan Aceh (PEMA), Mawardi Nur, untuk menjadikan perusahaan daerah sebagai lokomotif ekonomi Aceh kini berbalik menjadi bumerang. Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) melontarkan kritik keras, menyebut pernyataan Mawardi tak lebih dari janji kosong yang jauh dari realita di lapangan, Sabtu (26 April 2025).
Sorotan tajam muncul setelah diketahui bahwa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PEMA justru digelar di Ballroom Hotel Adimulia, Medan, Sumatera Utara. Keputusan ini dinilai sebagai penghinaan terhadap semangat membangun Aceh dari dalam.
"Ini perusahaan milik rakyat Aceh. Bagaimana mungkin pengambilan keputusan strategis justru dilakukan di luar tanah sendiri? Ini simbol kegagalan berpikir," tegas Direktur Forbina, Muhammad Nur, SH, dalam pernyataan resminya.
Tak hanya soal lokasi RUPS, kepemimpinan Mawardi Nur juga dinilai belum menunjukkan kapasitas memadai dalam mengelola entitas bisnis daerah. Forbina menyebut, pernyataan kontroversial Mawardi yang mengklaim PEMA tidak memerlukan dukungan dana Otonomi Khusus (Otsus) semakin memperjelas ketidakpahamannya terhadap struktur ekonomi Aceh.
Forbina menekankan, dana Otsus – sebesar 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 – bukan sekadar ‘uang gratis’. Dana ini memiliki mandat jelas: membiayai pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, hingga peningkatan sektor pendidikan dan kesehatan.
Mengabaikan urgensi dana Otsus, kata Forbina, adalah bentuk pengingkaran terhadap perjuangan rakyat Aceh yang melahirkan MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sementara wacana Mawardi untuk hanya mengandalkan sumber daya alam Aceh dianggap prematur dan tanpa kajian matang.
"Kalau basis pikirannya seperti ini, jangan harap PEMA bisa jadi motor ekonomi Aceh. Ini bukan sekadar masalah retorika, ini soal komitmen terhadap cita-cita perjuangan rakyat," seru Muhammad Nur.
Kini publik Aceh menanti, apakah PEMA akan menjawab keraguan dengan kerja nyata, atau sekadar terus menari dalam retorika yang justru memperkaya daerah lain? Satu yang pasti, rakyat Aceh tak butuh mimpi kosong—mereka menuntut bukti.(M)