Oleh: Amirudin
Dalam sepekan terakhir, wajah Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) tercoreng oleh potret ketimpangan ekologis yang begitu mencolok. Di Desa Padang Baru, Kecamatan Susoh, warga mengeluhkan dampak serius dari aktivitas truk pengangkut bijih besi milik PT Juya Aceh Mining. Truk-truk raksasa ini setiap hari melintas di jalan desa, mengangkut hasil tambang dari Babahrot ke Pelabuhan Susoh untuk kemudian dikirim ke Morowali, Sulawesi Tengah. Di balik deru mesin dan jejak keuntungan korporasi, tersimpan kisah getir rakyat yang tercekik debu dan ketidakadilan.
Setiap hari, puluhan truk menghantam jalan desa yang sempit dan tak layak menjadi jalur industri berat. Debu tebal mengepul, menyelimuti rumah warga, merusak dagangan, dan menyisakan gangguan pernapasan bagi anak-anak dan orang tua. Ironisnya, penyemprotan air yang dilakukan perusahaan hanya dua kali sehari, sementara intensitas truk jauh melampaui batas kewajaran. Sisanya? Warga menyiram sendiri jalanan dengan air seadanya, seolah-olah mereka yang harus memikul beban ‘tanggung jawab sosial perusahaan’.
Masalah ini bukan sekadar polusi atau jalan rusak. Ini adalah bentuk nyata dari ketidakadilan ekologis di mana masyarakat miskin dan terpinggirkan harus menanggung dampak dari eksploitasi sumber daya alam yang manfaat ekonominya tidak mereka rasakan. PT Juya Aceh Mining meraup keuntungan dari bijih besi, sementara warga hanya mendapat batuk dan kerugian.
Lebih dari itu, negara tampak absen. Tak ada kontrol ketat terhadap pelaksanaan AMDAL, tak ada sanksi terhadap perusahaan yang merugikan lingkungan, dan tidak ada empati dari pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak warganya. Diamnya otoritas publik mengindikasikan adanya pembiaran struktural—di mana logika ekonomi dibiarkan menindas hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, yang sejatinya dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Dalih pembangunan demi pertumbuhan ekonomi dan investasi tak lagi relevan jika realitas di lapangan menunjukkan kemunduran kualitas hidup masyarakat. Retorika penciptaan lapangan kerja menjadi kosong jika rakyat sekitar justru kehilangan ruang hidup yang layak. Maka, kita patut bertanya: untuk siapa sesungguhnya pembangunan ini digelar?
Ketika perusahaan diberi karpet merah untuk menambang, tetapi rakyat harus menyiram jalan agar anaknya tidak sesak napas, maka pembangunan telah melenceng dari semangat keadilan sosial. Ini bukan sekadar pengabaian, tapi pengkhianatan terhadap mandat konstitusi.
Sebagai mahasiswa, saya menolak untuk berdiam diri. Persoalan ini bukan hanya milik Desa Padang Baru, melainkan alarm bagi seluruh rakyat yang haknya terancam oleh kerakusan dan kelalaian sistemik. Kami mendesak transparansi dalam pelaksanaan AMDAL, evaluasi operasional tambang, dan penegakan regulasi lingkungan yang berpihak pada rakyat, bukan pada korporasi.
Apa yang terjadi di Aceh Barat Daya adalah wajah buram dari sistem pembangunan yang tidak adil. Dan selama rakyat kecil terus menjadi korban, kita tidak sedang membangun melainkan menggali lubang ketimpangan yang semakin dalam.
Amirudin – Mahasiswa dan Pemerhati Isu Sosial & Lingkungan