Generasi Rusak dalam Penerapan Sistem Pendidikan Kapitalisme


author photo

16 Mei 2025 - 11.49 WIB




Oleh : Ainayyah Nur Fauzih, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)

Publik baru-baru ini dihebohkan dengan dugaan kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) tahun 2025. Kecurangan ini mencakup berbagai modus canggih, seperti penggunaan kamera tersembunyi di behel gigi, kuku, dan kancing baju, hingga penyebaran soal ujian melalui media sosial. Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) pun mengecam tindakan ini karena mencederai prinsip keadilan, integritas, dan kejujuran dalam seleksi nasional. (Sumber: Beritasatu.com, 25 April 2025)

Meskipun persentase kasus kecurangan masih tergolong kecil—yakni 0,0071 persen dari total 196.328 peserta—panitia menilai bahwa sekecil apa pun pelanggaran tidak bisa ditoleransi. Ketua Umum SNPMB, Prof. Eduart Wolok, mengungkap bahwa tahun ini kecurangan dilakukan dengan cara yang lebih sistematis dan kompleks, seperti penggunaan perangkat tersembunyi hingga praktik remote desktop yang melibatkan pihak eksternal. Selain itu, muncul pula fenomena peserta yang memilih lokasi ujian jauh dari domisili asalnya secara tidak wajar, yang kini tengah dianalisis lebih lanjut oleh panitia. (Sumber: Kompas.com, 25 April 2025)

Kasus kecurangan dalam UTBK sejatinya bukan sekadar pelanggaran teknis dalam ujian, melainkan gejala dari problem integritas akademik yang lebih sistemik. Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2024 memperkuat hal ini. Survei tersebut menyoroti bahwa ketidakjujuran akademik bukanlah sesuatu yang terjadi sesekali saja, melainkan sudah menjadi bagian dari kebiasaan di lingkungan pendidikan. Sebanyak 98 persen kampus dan 78 persen sekolah melaporkan kasus menyontek, disertai tingginya angka plagiarisme di kalangan mahasiswa. Bahkan, penurunan skor Indeks Integritas Pendidikan Nasional menjadi 69,5 menjadi sinyal keras bahwa integritas akademik tengah mengalami krisis serius. (Sumber: Detik.com, 2 Mei 2025) 

Selain itu, ketidakdisiplinan akademik juga menjadi sorotan, dengan 69 persen siswa melaporkan guru yang terlambat hadir dan 96 persen mahasiswa menyatakan dosen sering terlambat atau tidak hadir tanpa alasan jelas. Praktik gratifikasi juga masih marak, di mana 30 persen guru/dosen dan 18 persen kepala sekolah/rektor menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid sebagai hal yang wajar. (Sumber: Kompas.com, 24 April 2025). 

Pemanfaatan teknologi secara licik untuk mengakali tes UTBK sejatinya mencerminkan buruknya akhlak sebagian calon mahasiswa. Tindakan tersebut tidak hanya menunjukkan lemahnya integritas individu, Temuan Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2024 oleh KPK, yang mengungkap bahwa praktik menyontek masih marak di kalangan siswa SMA dan mahasiswa, semakin menegaskan bahwa krisis moral ini bukanlah kasus perorangan, melainkan persoalan sistemik. 

Fenomena ini juga mencerminkan bahwa orientasi pendidikan hari ini menunjukkan ketidakmampuan sistem pendidikan untuk menanamkan nilai kejujuran sebagai prinsip utama. Ketika hasil ujian lebih dipandang sebagai tujuan akhir, tanpa mempertimbangkan proses yang benar, maka tak heran jika integritas sering kali dikorbankan. Budaya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan ini sudah meresap di kalangan pelajar dan mahasiswa, yang mengikuti jejak buruk para pemimpin negeri ini. Hukum di Indonesia, dalam sistem demokrasi yang diterapkan, dinilai belum mampu memberikan efek jera bagi koruptor, karena hukum lebih melindungi mereka yang berada di atas sementara yang di bawah semakin tertekan. Semua ini menunjukkan bahwa sistem yang ada masih jauh dari harapan untuk mewujudkan keadilan sejati bagi seluruh rakyat. 

Inilah buah dari sistem kehidupan kapitalistik, yang menjadikan materi sebagai tolak ukur utama keberhasilan dan kebahagiaan, sehingga mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual dalam proses pencapaiannya. Sistem ini gagal menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk membentuk karakter yang jujur, amanah, dan berakhlak mulia, sesuai dengan tuntunan Islam yang mengedepankan nilai moral dan etika dalam setiap aspek kehidupan.

Sistem pendidikan Islam merupakan bagian dari syariat Islam kafah yang diterapkan oleh negara Islam (Khilafah). Secara mendasar, akidah Islam mewajibkan umat Islam berbuat takwa (menjalankan segala perintah Allah Taala dan menjauhi segala larangan-Nya) sebagai konsekuensi keimanan pada-Nya. Allah Taala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran [3]: 102).

Ketakwaan ini terwujud pada semua sistem yang negara terapkan. Pada sektor pendidikan, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian islami (syakhsiyyah al-Islamiyyah) dan membekali para peserta didik dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut, maka dilarang (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Muqaddimah Dustur pasal 167). 

Para siswa bersemangat menuntut ilmu demi meraih rida Allah Taala karena Allah memerintahkan umat Islam untuk menuntut ilmu berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah no. 224). Tujuan belajar adalah untuk meraih rida Allah, bukan keuntungan materiel. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dapat memperoleh keridaan Allah Swt., (tetapi) ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan duniawi maka ia tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat nanti.”(HR Abu Daud).

Materi pengajaran di sekolah ada dua macam, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan sains (ilmiah) untuk pengembangan akal agar manusia dapat menetapkan hukum atas perkataan, perbuatan, dan suatu benda dari sisi fakta dan karakteristiknya, serta kesesuaiannya dengan fitrah manusia. Ilmu pengetahuan ini tidak berhubungan langsung dengan pembentukan kepribadian.
2. Ilmu pengetahuan tentang hukum syarak (syar’iyah) mengenai perkataan, perbuatan, dan suatu benda dari sisi penjelasan hukum syarak. Ilmu pengetahuan ini yang membentuk pola pikir islami (akliah islamiah) dan pola jiwa islami (nafsiah islamiah). Dari pola pikir islami (akliah islamiah) dan jiwa islami (nafsiah islamiah) tersebut akan terbentuk kepribadian islami (syakhsiyyah al-Islamiyyah) yang menempatkan akidah Islam sebagai landasan berpikir dan kecenderungan jiwanya. Sekolah dituntut menjadi pengasuh utama untuk membentuk kepribadian islami yang khas.

Dalam sistem pendidikan Islam, kejujuran dalam ujian lahir dari kesadaran untuk terikat pada syariat secara kafah. Guru dipilih dari kalangan yang bertakwa, berilmu, dan profesional sehingga mampu mendidik sekaligus memberi teladan. Ujian pun dirancang untuk benar-benar mengukur kemampuan siswa, baik melalui ujian praktik, tertulis, maupun lisan (wawancara), demi memastikan kualitas hasil belajar.

Negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh akan menjamin pendidikan gratis dan berkualitas tinggi bagi seluruh rakyat. Dana pendidikan disediakan negara, termasuk untuk infrastruktur dan gaji guru yang layak. Sistem kehidupan Islam juga mendukung lahirnya generasi jujur dengan politik yang bersih dan sanksi tegas bagi pelaku kecurangan. Dengan itu, masyarakat bertakwa dan dunia pendidikan yang bersih dapat diwujudkan.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Bagikan:
KOMENTAR