Banda Aceh – Pemadaman listrik massal yang melanda sebagian besar wilayah Aceh sejak akhir pekan lalu menimbulkan keresahan dan kecurigaan publik. PLN menyebut penyebabnya adalah gangguan pada sistem interkoneksi Sumatera bagian Utara. Namun, bagi masyarakat Aceh, mati lampu kali ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan simbol bahwa urat nadi kehidupan di Aceh masih sepenuhnya digenggam dari luar.
Di media sosial, terutama Facebook dan grup WhatsApp, narasi liar berkembang pesat. Netizen ramai-ramai mengaitkan padamnya listrik dengan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution. Sebab, sehari sebelum listrik Aceh padam, Bobby melakukan razia terhadap kendaraan berplat BL asal Aceh di wilayah Sumut. Aksi itu menimbulkan protes keras di Tanah Rencong, hingga banyak yang menduga pemadaman ini bukan kebetulan.
“Tak bisa disalahkan kalau publik menghubungkan dua peristiwa ini. Sejak dulu kendali listrik Aceh masih diatur dari Medan, dan rakyat Aceh selalu jadi korban,” tulis seorang warganet. Ungkapan senada muncul di banyak grup WhatsApp, memperlihatkan betapa kuatnya kecurigaan bahwa ada tangan-tangan politik di balik gelapnya Aceh.
Kendali di Medan, Aceh Jadi Korban
Secara struktural, pernyataan itu ada dasarnya. Hingga kini, Aceh belum memiliki pusat kendali distribusi listrik sendiri. Walaupun ada PLTU Nagan Raya, PLTU Lhokseumawe, dan sejumlah pembangkit lain, suplai listrik Aceh tetap masuk dalam jaringan interkoneksi Sumut–Aceh. Artinya, pengaturan beban, pemadaman darurat, bahkan aliran energi ke pelanggan ditentukan dari pusat kendali PLN di Medan.
Hal inilah yang memicu sentimen lama: bahwa Aceh selalu berada di bawah bayang-bayang Medan. Di sektor ekonomi, Aceh kerap merasa hanya menjadi pasar bagi pengusaha Sumut. Ribuan kendaraan berplat BK membanjiri jalanan Aceh, sementara plat BL kerap dipersoalkan jika memasuki Sumut. Kini, giliran listrik yang menambah daftar panjang ketergantungan.
Ketua Laskar Panglima Nanggroe, Sulaiman Manaf, menilai keresahan rakyat Aceh bukan isapan jempol.
“Jangan anggap remeh kemarahan rakyat Aceh. Dari dulu ekonomi Aceh dikuasai Medan, sekarang listrik pun masih dikendalikan dari sana. Wajar kalau masyarakat mengaitkan pemadaman ini dengan Bobby. Apalagi, sehari sebelumnya ia melakukan razia plat BL yang melukai hati rakyat Aceh,” tegasnya.
Desakan Investigasi Hukum
Sorotan paling tajam datang dari kalangan eks kombatan. Anwar, yang akrab disapa Tengku Rabo, mendesak agar pemadaman listrik ini tidak dianggap remeh. Ia menilai ada potensi kelalaian besar bahkan unsur kesengajaan yang harus diusut.
“Pemadaman listrik selama belasan jam membuat ekonomi rakyat lumpuh, rumah sakit terganggu, dan aktivitas masyarakat kacau. Ini bukan sekadar gangguan teknis. Kasus ini harus diinvestigasi mendalam, siapa pun yang terlibat wajib diproses secara hukum,” ujar Anwar menegaskan.
Menurutnya, rakyat Aceh sudah terlalu sering menjadi korban permainan kekuasaan yang berpusat di luar daerah. “Kalau PLN atau pihak lain sengaja melakukan ini, itu sudah kejahatan terhadap rakyat. Jangan biarkan Aceh terus diperlakukan seperti wilayah pinggiran tanpa harga diri,” tambahnya.
Luka Lama yang Terbuka
Pemadaman kali ini mempertegas luka lama dalam hubungan Aceh dengan Medan. Rakyat Aceh masih mengingat bagaimana sumber daya alam mereka—gas Arun, hutan, hasil bumi—lama dikuasai pihak luar tanpa memberi kesejahteraan berarti di Tanah Rencong. Kini, dalam era damai sekalipun, rasa ketergantungan itu masih terasa, baik dalam urusan kendaraan, perdagangan, maupun energi listrik.
PLN memang berjanji akan menuntaskan pemulihan jaringan dan memastikan kejadian serupa tidak terulang. Namun, kepercayaan publik sudah terlanjur koyak. Masyarakat Aceh ingin kepastian, bukan janji.
Pemadaman listrik di Aceh kali ini telah melampaui batas isu teknis. Ia menjadi cermin ketidakadilan struktural dan sekaligus alarm keras bagi pemerintah pusat. Tanpa investigasi mendalam dan langkah hukum tegas, kecurigaan publik bahwa Aceh “dihukum” oleh Medan akan semakin menguat.
Aceh butuh jawaban, dan yang bersalah harus diproses hukum.(R)