INSIDEN KEPALA SEKOLAH DAN MURID SOAL MEROKOK DI SEKOLAH : CERMIN KRISIS MORAL GENERASI AKIBAT PENERAPAN SISTEM SEKULER LIBERAL


author photo

29 Okt 2025 - 21.37 WIB



Oleh : Purwanti, S.Pd 
(Guru BK Samarinda)

Pendahuluan
Beberapa waktu lalu viral Insiden yang melibatkan kepala sekolah dan siswa soal merokok di lingkungan sekolah kembali menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Kejadian ini bukan sekadar persoalan kenakalan remaja, namun menyingkap persoalan yang lebih fundamental, yaitu krisis moral dan kegagalan sistem pendidikan dalam membentuk karakter bangsa. Peristiwa viral yang terjadi di berbagai daerah mengindikasikan perlunya refleksi mendalam terkait bagaimana nilai-nilai disiplin dan etika tidak lagi menjadi landasan kokoh dalam dunia pendidikan dan kehidupan remaja saat ini.
Fakta Pendidikan Generasi Saat Ini
Kasus-kasus terbaru menjadi gambaran nyata bagaimana persoalan moral generasi saat ini mulai memprihatinkan.
Kasus Kepala Sekolah dan Siswa Merokok di SMAN 1 Cimarga yang viral, menunjukkan kompleksitas interaksi antara guru dan murid yang menyangkut penerapan disiplin. Kepala sekolah Dini Fitri, di sisi lain, tampil sebagai sosok yang berani menegakkan aturan, namun akhirnya terjebak dalam situasi yang merugikan keduanya karena sikap siswa Indra yang berbohong dan kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Tidak jauh berbeda, insiden lain di Makassar menunjukkan betapa remaja masa kini merasa bebas dan kurang memiliki kesadaran akan adab kepada guru. Foto seorang siswa dengan santainya merokok dan mengangkat kaki di samping gurunya menjadi simbol dari keadaan nyata pengkhianatan nilai hormat yang selama ini dijunjung tinggi.
Selain itu, data yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang melonjaknya pengguna rokok elektrik (vape) di kalangan remaja menambah kekerasan dari isu ini. Sekitar 15 juta remaja berumur 13-15 tahun di seluruh dunia telah menggunakan vape, 
Larangan merokok di sekolah sejatinya telah diatur oleh Permendikbud 4/2015 yang menetapkan sekolah sebagai kawasan tanpa rokok, serta UU 17/2023 tentang Kesehatan yang mengancam pelanggaran dengan pidana denda hingga Rp50 juta. Semua orang di lingkungan sekolah, termasuk kepala sekolah, guru, siswa, dan pengunjung dilarang merokok atau melakukan aktivitas terkait rokok, seperti menjual atau mempromosikannya.
Beberapa tahun terakhir, penggunaan rokok elektrik atau vape kian populer di kalangan remaja. Mereka beralasan vape lebih aman daripada rokok konvensional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa saat ini sedikitnya terdapat 15 juta remaja berusia 13—15 tahun di seluruh dunia yang menggunakan rokok elektronik atau vape. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10—18 tahun. Hal ini menandakan tren berbahaya yang mengancam generasi muda kita.
Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13—15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019). Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15—19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10—14 tahun (18,4%) (Kemenkes, 29-5-2024).
Penyebab Krisis Moral Generasi
Meski sudah ada aturan yang jelas perihal larangan merokok di kawasan sekolah, masih banyak oknum siswa yang melakukan pelanggaran tersebut. Mereka merasa memiliki hak dan kebebasan untuk melakukan apa pun. Bahkan, ada yang berani menantang duel sang guru hanya karena ia tidak diterima ditegur oleh sang guru. Ini menunjukkan betapa krisis moral generasi kian memprihatinkan. Semua ini dipengaruhi banyak faktor, di antaranya:
Pertama, pendidikan agama (Islam) yang lemah. Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai akidah, akhlak, dan adab kepada anak-anaknya. Pengabaian terhadap kewajiban ini akan melahirkan generasi yang jauh dari adab dan kering dari pemahaman agama (Islam).
Kedua, kurangnya sinergi antara guru dan orang tua. Pembelaan orang tua terhadap anak yang berbuat salah akan membuat anak tidak belajar tanggung jawab atas konsekuensi perbuatannya. Alhasil, anak menjadi arogan dan tidak memiliki kemampuan mengatasi masalahnya sendiri.
Ketiga, sistem kehidupan sekuler liberal telah mengubah arah pandang generasi dalam memaknai kebebasan. Mereka menganggap kebebasan wajib dihormati dan dihargai, termasuk dalam perkara merokok. Mereka beralasan merokok adalah ungkapan kedewasaan, jati diri, dan kebanggaan agar terlihat sebagai laki-laki keren. Jika anak merokok, mereka biasanya melihat dan meniru orang-orang di sekitarnya sehingga dijadikan pembenaran oleh anak bahwa merokok dibolehkan di mana saja, termasuk di sekolah.
Keempat, lemahnya pengawasan negara terhadap peredaran rokok. Buktinya, rokok mudah dijangkau dan dibeli remaja. Padahal, seharusnya distribusi dan peredaran rokok diawasi secara ketat agar tidak mudah diakses generasi muda serta membahayakan mereka.
Akar masalah Persoalan Generasi Akibat Berkiblat pada Sistem Pendidikan Sekuler Liberal
Insiden siswa merokok di sekolah, hilangnya wibawa guru, dan krisis moral generasi sesungguhnya merupakan akibat dari berkiblatnya sistem kehidupan pada ideologi sekuler liberal. Output pendidikan sekuler menghasilkan generasi kurang beradab, baik kepada guru maupun orang tua. Pergantian kurikulum pun nyatanya tidak mampu membendung derasnya sekularisasi yang menjauhkan aturan Islam dari kehidupan.
Penanaman pendidikan karakter yang selalu digaungkan di institusi pendidikan juga tidak memberikan dampak positif. Masalah di dunia pendidikan makin pelik dan generasi justru tumbuh sebagai pribadi problematik. Bukan hanya merokok sebagai ajang gagah-gagahan, kadang kala kepedulian dan empati turut hilang. Mereka menjadi generasi pembully, suka menghina, dan berkata kasar.
Sekularisme menempatkan pendidikan semata-mata untuk pengembangan intelektual dan keterampilan manusia tanpa terikat dengan aturan agama. Dalam sistem ini, agama hanya dianggap urusan pribadi, bukan dasar kurikulum juga pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik.
Pendidikan sekuler liberal hanya berorientasi pada aspek materi dan prestasi, bukan akhlak dan kepribadian mulia. Hal ini akan menimbulkan perilaku individualis dan hedonistik, gaya hidup liberal, permisif (serba boleh), dan kehilangan tujuan hidup serta kebingungan atas jati dirinya sebagai manusia. Standar benar dan salah pun ditentukan oleh penilaian manusia, bukan aturan agama (Islam).
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan generasi dari krisis dan degradasi moral tentu membutuhkan peran berbagai pihak, yaitu keluarga sebagai pilar pertama pendidikan, sekolah dan masyarakat sebagai pilar kedua dalam membentuk kebiasaan serta mencegah kemaksiatan dan perilaku buruk, dan negara sebagai pilar ketiga melindungi generasi dari berbagai bahaya, baik pemikiran, budaya, maupun segala hal yang merusak tatanan kehidupan sosial dan pergaulan generasi.
Proses mendidik dan membimbing generasi memang membutuhkan penanaman akidah, ketegasan, serta kedisplinan agar kehidupan mereka terarah sesuai pedoman Allah Taala. Namun, pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pemahaman yang baik tanpa bertindak keras dan berlebihan, seperti kekerasan fisik dan sejenisnya. Segala bentuk kekerasan tidak dibenarkan sehingga butuh pendidikan yang menjadikan remaja paham siapa dirinya dan arah hidupnya. Itulah sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam.
Sistem Islam Menanamkan Akidah, yang Melahirkan Akhlak Mulia
Guru memiliki peran sentral dalam membentuk sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas. Oleh karena itu, Islam menempatkan pendidikan sebagai sektor yang sangat penting. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membangun kepribadian guru dan peserta didik agar memiliki syakhshiyah (kepribaduan) Islam, yakni pola pikir, pola sikap, dan perilaku yang selaras dengan ajaran Islam. Fondasi dari kurikulum pendidikan Islam berakar pada akidah Islam.
Dengan kepribadian tersebut, seorang guru tidak hanya dituntut untuk mengajar dengan baik, tetapi juga mendidik dengan cara menyatukan nilai ilmu dan iman dalam setiap proses pembelajaran. Dalam pandangan Islam, guru yang kompeten harus memiliki dua karakter utama: akhlak mulia dan profesionalitas dalam mendidik. Di sinilah letak peran penting guru dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu dan berlandaskan nilai-nilai Islam.
Dalam perspektif Islam, guru merupakan agen perubahan yang mendorong lahirnya generasi unggul, berilmu, dan beriman. Sejarah telah mencatat, pada masa kejayaan Islam, para guru berhasil melahirkan murid-murid yang tidak hanya cemerlang secara intelektual, tetapi juga memiliki keteguhan iman yang tinggi. Para ulama dan ilmuwan muslim terdahulu mengabdikan ilmu mereka sepenuhnya untuk kemaslahatan umat. Mereka bukan generasi yang berorientasi materi, melainkan generasi yang mampu menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat secara proporsional sesuai tuntunan syarak.
Dalam sistem pendidikan saat ini tidak ada perlindungan pasti yang terealisasi bagi guru. Mereka berada dalam tekanan yang luar biasa, baik secara administratif maupun psikologis dalam mengemban tanggung jawab moral peserta didik. Mendidik generasi adalah salah satu upaya menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan teladan dan hikmah, bukan dengan kekerasan.
Dalam menyelesaikan kasus atau terjadi konflik antara guru dan siswa, yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai adab dan akhlak yang telah Islam ajarkan, yakni guru melakukan klarifikasi kepada siswa atas problem yang dihadapinya. Dengan nilai-nilai Islam yang tertanam, siswa akan menghormati gurunya dan guru akan menghargai siswanya secara adil dan proporsional.
Pandangan ulama tentang hukum merokok memang beragam. Namun, perlu diingat bahwa merokok bisa membahayakan kesehatan, baik perokok aktif maupun pasif. Selain itu, daripada uang habis untuk membeli rokok, alangkah baiknya dimanfaatkan untuk keperluan lain yang lebih utama. Pemahaman inilah yang harus tersampaikan kepada anak didik agar menjauhi rokok bukan karena takut aturan dan sanksinya, tetapi kesadaran atas bahayanya jika dikonsumsi secara terus-menerus.
Dalam Islam tidak ada kebebasan mutlak. Setiap individu muslim terikat dengan aturan syariat Islam. Sistem pendidikan sekuler yang diterapkan saat ini memberikan ruang kebebasan tanpa batas yang telah terbukti gagal mencetak peserta didik yang bertakwa dan berakhlak mulia. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham Al-Islam hlm.198 menjelaskan bahwa akhlak merupakan hasil dari pelaksanaan perintah-perintah Allah Swt.  yang dapat dibentuk dengan cara mengajak masyarakat kepada akidah dan melaksanakan Islam secara sempurna. Oleh karena itu, untuk mewujudkan generasi bertakwa, bersyakhshiyah Islam, dan berakhlak mulia harus menjadikan akidah Islam sebagai kurikulum dasar pada semua jenjang pendidikan.
Dengan penerapan sistem Islam kafah, insiden guru dan siswa saling bersitegang tidak akan terjadi. Ini karena Islam memiliki mekanisme menyeluruh dalam membentuk guru dan peserta didik yang berkepribadian Islam dengan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang disokong oleh sistem politik ekonomi yang sahih.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT