Oleh: Sofyan, S.Sos
Fenomena seringnya pemberhentian pejabat struktural bahkan hingga tenaga kebersihan di lingkungan Pemerintah Kota Lhokseumawe kini menjadi sorotan publik. Di balik kebijakan itu muncul pertanyaan mendasar: apakah langkah-langkah tersebut didorong motif politik, atau sekadar “selera kepemimpinan” wali kota dalam upaya memperbaiki tatanan birokrasi?
Memperbaiki birokrasi tidak selalu harus dimulai dari pemecatan massal. Yang lebih bernilai adalah menguji kualitas, dedikasi, dan kapasitas aparatur untuk menjalankan pelayanan publik. Bila pola pemberhentian ini terus berulang tanpa kajian yang jelas, dampaknya tak hanya membebani individu ASN melainkan juga merongrong kualitas tata kelola dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan kota.
1. Perspektif Administrasi Publik: Ketidakstabilan Organisasi
Dari sudut administrasi publik, pergantian pejabat yang terlalu sering menciptakan instabilitas birokrasi. Setiap perubahan struktur menuntut proses adaptasi: memahami tugas baru, membangun koordinasi lintas bidang, dan menata ulang program kerja. Akibatnya, kebijakan yang telah dirancang kerap terhenti di tengah jalan atau diulang dari awal. Birokrasi memerlukan kontinuitas agar kebijakan publik berjalan konsisten dan terukur; bila pergantian menjadi kebiasaan, kesinambungan kebijakan menjadi rapuh dan program pelayanan kehilangan arah.
2. Perspektif Manajemen Sumber Daya Aparatur
Dalam manajemen ASN, pemberhentian tanpa alasan objektif berpotensi menurunkan motivasi dan moral kerja. Bisik-bisik di warung kopi menyebutkan, “Wali kota sekarang terlalu sering mengganti—kita jadi bekerja karena takut, bukan karena semangat.” Pola seperti ini melahirkan fear-based management, di mana kreativitas terhambat dan iklim organisasi menjadi toksik. Lebih jauh lagi, tindakan yang mengabaikan prinsip merit kompetensi, kinerja, dan kualifikasi berpotensi membuka ruang bagi praktik patronase politik, bertentangan dengan semangat UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN.
3. Perspektif Tata Kelola Pemerintahan (Governance)
Keputusan pemberhentian yang tidak transparan merongrong prinsip good governance. Akuntabilitas melemah ketika alasan dan proses tidak dijelaskan; kepastian hukum terancam jika prosedur mutasi tidak dipenuhi; partisipasi publik diabaikan ketika keputusan bersifat sepihak. Dalam budaya pemerintahan yang menjunjung tata krama serta akal sehat, kebijakan semacam ini seharusnya dilandasi kajian akademis dan dialog publik, bukan semata keputusan top-down.
4. Perspektif Politik Kebijakan
Secara politik, pemberhentian berulang kerap ditafsirkan sebagai upaya konsolidasi kekuasaan untuk membungkam kritik atau menempatkan figur yang “loyal” di posisi strategis. Jika persepsi ini menguat, maka bukan hanya hubungan internal pemerintahan yang terganggu; legitimasi kepala daerah pun akan terkikis. Trust publik menjadi korban, karena warga melihat pemerintah bekerja untuk kepentingan elit ketimbang kepentingan rakyat.
5. Dampak terhadap Kualitas Layanan Publik
Pejabat struktural adalah ujung tombak layanan publik. Ketika jabatan tidak stabil, layanan di sektor perizinan, kesehatan, pendidikan, dan kebersihan akan terganggu: koordinasi melemah, keputusan tertunda, dan kualitas pelayanan menurun. Dalam jangka panjang, reputasi kota tergerus dan citra birokrasi lokal memburuk sebuah biaya politik dan administratif yang mahal.
Penutup
Pemberhentian dan rotasi memang merupakan hak prerogatif kepala daerah. Namun, dalam kerangka kebijakan publik modern, setiap keputusan harus berpijak pada profesionalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Kepemimpinan sejati tidak diukur dari seberapa sering pejabat diganti, melainkan sejauh mana pemimpin mampu menumbuhkan kepercayaan, stabilitas, dan semangat kolektif untuk memperbaiki layanan bagi rakyat.
Saya berharap agar Bapak Wali Kota Lhokseumawe dalam menyusun pembenahan birokrasi tidak bertindak gegabah, tetapi berdasar kajian akademis dan dialog publik agar setiap kebijakan tidak menimbulkan spekulasi yang merugikan citra pemerintahan dan kepercayaan masyarakat.