RADAR ACEH | Bireuen --- Menyikapi pelaksanaan Uqubat Cambuk di Bireuen pada 4 Oktober 2019 yang dilaksanakan dihalaman Mesjid Agung Bireuen, Pakar Hukum yang merupakan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Kebangsaan Indonesia Bireuen (UNIKI) DR. T. Rasyidin, SH ikut menanggapi.
Menurutnya, dalam press release yang diterima Radar Aceh via pesan WhatsApp, Minggu (6/10/2019) malam, "Berkaitan dengan pelaksanaan hukuman Cambuk di Bireuen mengacu kepada pasal 263 Qanun Nomor 7 Tahun 2013, tanpa memperhatikan pasal 48 ayat (2) Pergub nomor 5 tahun 2018, penerapannya kurang tepat, karena Pergub nomor 5 tahun 2018 merupakan turunan dari Qanun 7 tahun 2013. Hal itu dapat dilihat pada konsideran pergub nomor 5 tahun 2013," sebutnya.
Dikatakan T.Rasyidin, "Jika memang benar hal itu terjadi sebagaimana pemberitaan di media massa paska pelaksanaan hukuman cambuk di Bireuen yang diduga inprosedural, maka pelaksanaan uqubat cambuk yang inprosedural mengadung konsekuesi yuridis,"
"Pergub tidak boleh diabaikan karena merupakan peraturan perundang undangan yang diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana yang tercantum dalam UUP3 No. 12 tahun 2011".
"Pergub juga merupakan peraturan perundang undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pembentukannya diperintahkan oleh peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Selain itu, "Pergub dibentuk untuk aturan pelaksanaan qanun. Dasar hukumnya dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (2) UUP3 No. 12 tahun 2011, Pasal 246 ayat (1) UU Pemda Nomor 23 Tahun 2014 dan pasal 242 UU PA" .
Sambungnya, "Hubungan Qanun dengan Pergub tidak dapat dipisahkan, karena Pergub penjabaran dari isi qanun. Hal hal yang belum diatur oleh qanun diatur lebih lanjut dengan Pergub. Sering dijumpai qanun belum dapat dilaksanakan sebelum ada pergub, dalam hal ini berlaku bagi aturan qanun yang belum bersifat final," ungkap DR.TRasyidin.
"Sedangkan aturan qanun yang bersifat final, langsung dapat dilaksanakan tanpa perlu pergub. Perlu diberi catatan, meskipun qanun bersifat final dalam hal tertentu masih memerlukan diskresi dari pelaksanaannya atau perlu diatur dengan pergub karena terjadi kekosongan hukum"
"Oleh karena itu, lanjutnya, "Gubernur membentuk Pergub berdasarkan kewenangannya. Pada saat pergub sudah diundangkan dalam berita daerah, maka berlaku teori fiksi hukum, maka pada saat itu pula berlaku pergub tersebut kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang undangan,"
"Pembenaran Diskresi atas konsekuensi dari negara welfer state atau negara kesejahteraan. Negara indonesia termasuk dalam negara wellfer state bukan negara penjaga malam. Disinilah pembenaran berlakunya asas legalitas dan asas diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara kita,"
"Melihat hirarkinya kedudukan Pergub berada dibawah Qanun, oleh sebab itu muatan materi pergub tidak boleh bertentangan dengan qanun, jika bertentangan dengan qanun Pergub dinyatakan tidak berlaku,"
"Berkenaan dengan beberapa pertanyaan hukum, apakah pergub dapat diabaikan, jawabannya boleh diabaikan jika pergub bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Jika pergub tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, maka wajib dipatuhi,".
"Menjadi pertanyaan hukum selanjutnya, apa konsekuensinya dan tindakan tersebut dianggap inprosudural, pertanyaan hukum berikutnya dan apa sanksinya? Menurut konsep pemberian sanksi dapat dijelaskan bahwa, kesalahan terjadi akibat dari kelalaian dan kesengajaan. Jika karena kelalaian sanksinya perdata, dan jika karena kesengajaan sanksinya pidana.
"Dalam negara hukum kita, sanksi diatur dalam peraturan perundang undangan. Sanksi apa yang harus diterima tergantung sanksi apa yang diatur dalam peraturan perundang undangan. Maka kita harus merujuk kepada peraturan yang mengatur tentang sanksi atas perbuatan tersebut"
"Berdasarkan hal diatas, saat disimpulkan, Pergub memiliki kekuatan hukum mengikat dan berlaku juga sebagai aturan hukum. Oleh karena itu, memiliki konsekuensi yuridis apabila dilanggar. [REL/SR]