Oleh: Syahida Adha
Hujan lebat yang mengguyur Balikpapan beberapa waktu terakhir kembali membuka tabir lemahnya pengelolaan lingkungan dan tata kota di Kalimantan Timur, khususnya di kawasan penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN). Di Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan Utara, genangan air kian meluas hingga merendam permukiman warga. Masyarakat pun mulai menyuarakan keresahan atas dampak nyata dari proyek pembangunan jalan tol menuju IKN yang dinilai telah merusak sistem drainase alami.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPRD Balikpapan, Halili Adinegara. Ia menyatakan bahwa salah satu akar permasalahan banjir tersebut adalah minimnya infrastruktur penunjang, terutama saluran drainase dan bozem sebagai tempat penampungan air. Bahkan, ia menyoroti kejanggalan pembangunan tiang pancang yang berdiri di atas aliran sungai, yang jelas menghambat kelancaran aliran air.
Kondisi ini bukan hanya masalah teknis semata, tetapi menunjukkan kegagalan mendasar dalam tata kelola pembangunan. Perencanaan yang tidak matang, pengawasan yang lemah, serta minimnya kepedulian terhadap daya dukung lingkungan menunjukkan bahwa proyek sebesar pembangunan IKN tidak dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan. Hal ini mencerminkan wajah asli sistem sekuler kapitalis yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan investasi, namun abai terhadap keselamatan rakyat dan keberlangsungan lingkungan.
Sekulerisme dan Kapitalisme: Akar Masalah Nyata
Sistem sekuler memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam urusan pembangunan dan pengelolaan alam. Dalam sistem ini, proyek pembangunan tidak lagi berdasarkan pertimbangan halal-haram atau maslahat umat, melainkan hanya dinilai dari segi keuntungan material dan kepentingan politik. Maka tak heran jika pengupasan lahan secara masif, pengalihan aliran air, hingga pembangunan yang melanggar etika lingkungan menjadi hal biasa, selama mampu mendatangkan keuntungan bagi investor.
Kapitalisme, sebagai ideologi ekonomi yang menjadi tulang punggung sistem ini, semakin memperparah kondisi. Ia memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada individu dan korporasi untuk mengeksploitasi alam demi keuntungan pribadi. Negara, alih-alih menjadi pelindung rakyat, justru bertindak sebagai fasilitator kepentingan pemodal. Akibatnya, pembangunan yang seharusnya membawa kemaslahatan malah menjadi sumber bencana, seperti banjir, longsor, dan kerusakan ekologis lainnya.
Islam Menjawab Tantangan Tata Kelola Lingkungan Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem kehidupan yang paripurna. Dalam Islam, alam semesta adalah ciptaan Allah SWT, dan manusia diberi amanah untuk pengelolanya dengan penuh tanggung jawab sesuai hukum-hukum syariat. Allah SWT berfirman: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. Ar-Rum: 41). Juga dalam ayat lain:"Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (TQS. Thaha: 124). Islam memiliki sistem pemerintahan yang mampu mengatur pembangunan dan tata kota secara adil dan maslahat, yakni Khilafah Islamiyah. Dalam sistem ini, setiap kebijakan pembangunan harus memperhatikan kaidah-kaidah syar'i dan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Adapun prinsip tata kelola alam dan pembangunan dalam Islam yakni: 1) Allah sebagai Pemilik Hakiki: Segala sesuatu di bumi ini adalah milik Allah SWT. Manusia hanya dititipi untuk mengelolanya sesuai dengan syariat-Nya; 2) Manusia sebagai Khalifah: Manusia bertugas untuk memakmurkan bumi, bukan merusaknya. Segala aktivitas yang mengancam keberlangsungan lingkungan dipandang sebagai pelanggaran terhadap amanah Allah; 3) Negara sebagai Ra’in (Pengurus): Khalifah atau pemimpin Islam memiliki tanggung jawab langsung dalam menjaga kemaslahatan umat, termasuk dalam aspek pembangunan dan perlindungan lingkungan. Tidak boleh ada proyek yang membahayakan rakyat, apalagi demi kepentingan korporasi.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam sistem Khilafah, pembangunan infrastruktur akan dilakukan dengan perhitungan strategis—baik secara fisik, lingkungan, maupun politik. Tidak akan ada pembangunan yang mengorbankan rakyat atau merusak alam karena semua harus sesuai dengan hukum Allah. Bahkan jika dilakukan pemindahan ibu kota, maka akan dilakukan melalui kajian mendalam dan maslahat yang bersifat umum, bukan sekadar ambisi segelintir elite.
Kembali pada kasus banjir di Balikpapan, kita bisa melihat bahwa ini bukan hanya persoalan lokal atau teknis, melainkan persoalan sistemik. Banjir hanyalah satu dari sekian banyak dampak buruk dari sistem sekuler kapitalis yang kini menguasai negeri ini. Maka, solusi yang dibutuhkan pun harus menyentuh akar masalah, yaitu mengganti sistem sekuler kapitalis dengan sistem Islam kaffah melalui institusi Khilafah Islamiyah.
Khilafah bukan hanya sistem pemerintahan, tetapi juga pelindung umat dan penjaga bumi. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh: 1) Pembangunan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan maslahat; 2) Lingkungan dijaga sesuai amanah syariat; 3) Rakyat dilindungi dari bencana akibat kelalaian Negara; 4) Kekuasaan dijalankan sebagai bentuk amanah, bukan alat meraih kekayaan pribadi.
Inilah saatnya umat menyadari bahwa selama sistem sekuler kapitalis masih menjadi landasan, bencana demi bencana akan terus terjadi. Maka, sudah sepatutnya kita kembali kepada aturan Allah dengan menegakkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Wallahu A’lam Bissawwab[]