Oleh Rina Rachmi S., S.E.
Dalam tahun 2025 ini, warga NKRI akan menghadapi tantangan hidup yang makin luar biasa. Di tahun ini, akan ada sejumlah pungutan baru dan kenaikan tarif yang telah direncanakan pemerintah akan diberlakukan kepada warga NKRI.
Beberapa diantaranya yang sudah banyak diperbincangkan adalah kenaikan tarif PPN 12 persen yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan berlaku mulai 1 Januari 2025 tadi.
Walaupun telah dipastikan pemerintah hanya berlaku pada barang mewah, tapi ternyata tetap saja berdampak pada barang-barang kebutuhan lainnya.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira.
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) adalah sektor informal yang selama ini mungkin kontribusi dalam penyerahan faktur PPN tidak sebesar sektor formal.
Namun, kata dia, bila dilihat secara mendalam bahan baku seperti beras, tepung gandum atau terigu, kemudian minyak goreng secara tidak langsung akan terdampak oleh kebijakan kenaikan PPN 12 persen.
"Contohnya misalnya beras itu dimulai dari pupuknya untuk yang non-subsidi itu kena PPN 12%, traktor kemudian dari segi pembibitan untuk transportasinya, kendaraan itu dikenakan PPN 12 persen, BBM juga dikenakan PPN. Artinya ini akan berdampak juga terhadap seluruh harga yang dibentuk," ucap Bhima.
(Liputan6.com, 31 Desember 2024)
Selain PPN 12%, Pemerintah akan menerapkan opsen pajak kendaraan bermotor mulai 5 Januari 2025 sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD)
Opsen adalah pungutan tambahan PKB yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dari kantor berita Antara, Rabu (18/12/2024), opsen pajak merupakan salah satu kebijakan perpajakan daerah. Tujuan opsen pajak diterapkan untuk memperluas sinergi pemungutan pajak sekaligus mempercepat penyaluran pajak yang sebelumnya dibagihasilkan. Aturan tersebut diharapkan mampu meningkatkan pendapatan pajak daerah dalam jangka panjang.
Pemberlakuan opsen membuat pemilik kendaraan bermotor harus membayar tujuh komponen pajak yakni BBNKB, opsen BBNKB, PKB, opsen PKB, Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), serta biaya administrasi STNK dan TNKB.
(Kompas, 22 Desember 2024)
Pungutan berikutnya adalah Tapera. Pemerintah berencana menerapkan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sesuai Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 dan diperkuat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024.
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2020, pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerja kepada Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) paling lambat tujuh tahun sejak atau maksimal 2027.
Tapera nantinya akan wajib dibayarkan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pegawai swasta dengan gaji di atas upah minimum regional (UMR). BP Tapera mengusulkan, ASN akan ditarik iuran sebesar tiga persen dari gaji pokok plus tunjangannya untuk membayar tabungan tersebut.
Iuran BPJS Kesehatan juga direncanakan naik pada 2025. Rencana itu disebutkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024. Perpres ini menyebutkan, penetapan manfaat, tarif, dan iuran jaminan kesehatan akan ditetapkan paling lambat 1 Juli 2025.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menjelaskan, iuran peserta JKN perlu dinaikkan demi keberlangsungan BPJS Kesehatan yang terancam defisit sebesar Rp 20 triliun hingga akhir 2024.
Selain pungutan-pungutan tersebut diatas, terdapat sejumlah kebijakan seputar pungutan baru yang masih digodog pemerintah untuk diterapkan ke masyarakat Indonesia.
Misalnya, konversi subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Ada pula rencana pemberlakuan subsidi kereta rel listrik (KRL) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Dimana penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek.
Dengan perubahan skema subsidi berbasis NIK, artinya tidak semua masyarakat bisa menerima layanan KRL dengan harga yang murah seperti sekarang. (Kompas, 22 Desember 2024)
Itulah pungutan-pungutan yang diambil negara dari rakyat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup negara dalam upaya melayani rakyat.
Namun, tidak adakah pintu pendapatan lain selain pajak? Sehingga yang disebut kesejahteraan itu bisa terasa lebih hakiki bagi rakyat.
Pajak adalah penopang Ekonomi Kapitalis
“Tidak ada yang pasti di dunia ini, selain kematian dan pajak,” demikian ungkapan Benjamin Franklin, salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat. (National Constitution Centre, 2022). Pernyataan ini menunjukkan bahwa pajak merupakan komponen penting dari sistem ekonomi kapitalisme. Pajak sebagai sarana untuk mendapatkan penerimaan negara.
Secara teori, pajak adalah kontribusi wajib kepada pemerintah yang digunakan untuk kepentingan umum. Pajak dibebankan untuk menanggung biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi publik (pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur), maupun untuk tujuan regulasi (seperti membatasi konsumsi rokok) tanpa mempertimbangkan keuntungan khusus yang diperoleh mereka yang membayar. (Crowe dalam McGee, 2003).
Seberapa besar tarif pajak yang adil, menjadi sangat relatif. Tarif pajak penghasilan individu dapat mencapai lebih dari 50% di beberapa negara maju, seperti Jepang (55%), Inggris (63%), Finlandia (66,7%), dan Belgia (79,5%). Pajak pertambahan nilai (PPN) yang diterapkan pada hampir semua barang dan jasa yang diperdagangkan, telah memperlakukan orang kaya dan miskin setara di dalam beban membayar pajak.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu cara pemerintah untuk mengatur distribusi kekayaan, selain sebagai sumber penerimaan negara. Tarif pajak yang lebih tinggi akan diterapkan pada individu dengan pendapatan yang lebih tinggi. Sebaliknya, tarif pajak yang lebih rendah diterapkan pada mereka yang memiliki pendapatan lebih rendah.
Pajak juga dianggap sebagai alat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengontrol inflasi. Misalnya, tarif pajak dapat dikurangi ketika pendapatan turun. Sebaliknya, tarif pajak dapat ditingkatkan untuk menekan inflasi jika pertumbuhan ekonomi meningkat. Namun, fleksibilitas tarif pajak sebenarnya sulit diterapkan karena perubahan tingkat pajak membutuhkan perjanjian politik yang rumit.
Pajak, Sumber Dana Terbesar APBN
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemenkeu RI, pada 2024, penerimaan negara dari berbagai sumber diproyeksikan mencapai Rp2.802 triliun. Pajak menghasilkan keuntungan terbesar dengan target perolehan Rp2.309,9 triliun, naik Rp191 triliun dari tahun sebelumnya atau 82,4% dari total pendapatan negara.
Sementara itu, penerimaan bukan pajak menyumbang Rp492 triliun kepada negara. Perinciannya, pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan—dalam hal ini BUMN—mewakili 3,1% penerimaan dan 7,4% dari penerimaan SDA. Sebanyak 3% berasal dari pendapatan badan layanan umum (BLU) dan 4,1% dari penerimaan bukan pajak lainnya. Hibah sebesar Rp430 miliar juga akan menambah pendapatan.
Bisa dikatakan bahwa setiap tahunnya APBN mengalami defisit anggaran yang berarti pengeluaran selalu lebih banyak daripada yang diterima. Anggaran negara juga selalu berkurang dengan utang—yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain utang luar negeri, alat pembiayaan APBN juga berasal dari utang domestik, seperti surat utang negara (SUN).
Menurut laman resmi Kemenkeu RI, tujuan utama negara berutang adalah untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur. Kedua utang tersebut dialokasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tersebab ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas, masyarakat harus menanggung tingginya biaya ekonomi yang mengakibatkan rendahnya daya saing nasional. Inilah yang mendorong pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Per Oktober 2024, Kemenkeu RI mencatat APBN mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun atau setara 1,37% dari produk domestik bruto (PDB). Menurut undang-undang, defisit direncanakan hingga 2,29% dari PDB.
Khilafah Membiayai Negara Bukan dengan Pajak dan Utang
Negara Islam, juga dikenal sebagai Khilafah, adalah negara yang meletakkan Islam sebagai dasar hidupnya. Wahyu Allah Swt. yang dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunah merupakan sumber agama Islam.
Oleh karenanya, semua pos yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran negara di dalam Khilafah, memiliki basis kuat dari Al-Qur’an, Sunah, ijmak sahabat, dan kias syar’i.
Menurut Zallum (2003), pos pendapatan APBN Khilafah terdiri dari 12 jenis, yakni pendapatan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di negara Islam); harta milik umum; harta milik negara; ‘usyur (harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri); harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak; khumus barang temuan dan barang tambang; harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris; harta orang-orang murtad; dharibah; dan harta zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).
Gagasan Islam tentang pembentukan APBN sangat berbeda dengan APBN dalam sistem kapitalisme. Sumber daya utama pendapatannya dan cara pembelanjaannya berbeda. Sumber APBN Khilafah atau kas baitulmal sama sekali tidak bergantung pada sektor pajak. Syariat Islam mengatur sumber-sumber utama penerimaan negara untuk kas baitulmal sebagai berikut.
Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti zakat, sedekah, dan hibah, adalah tiga sumber utama. Untuk zakat, tidak boleh dicampur dengan harta lain. Kedua, bidang kepemilikan umum, seperti gas, minyak bumi, batu bara, pertambangan, dan kehutanan. Ketiga, bidang yang dimiliki negara, seperti jizyah, kharaj, ganimah, fai, ‘usyur, dan sebagainya.
Terkait aturan pembelanjaan, APBN Khilafah dapat dibuat oleh khalifah tanpa meminta persetujuan Majelis Umat. Tidak seperti sistem ekonomi kapitalisme, APBN Khilafah tidak tergantung pada tahun fiskal. Dalam menetapkan anggaran pengeluaran, khalifah hanya tunduk pada aturan atau prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh syarak.
Dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat, khalifah memiliki otoritas penuh untuk menetapkan berapa banyak dana yang harus dialokasikan untuk seluruh keperluan masyarakat. Ini wajib didasarkan pada persyaratan yang ditetapkan oleh syarak, salah satunya untuk mencegah kekayaan tertumpu pada orang-orang kaya saja (lihat QS Al-Hasyr [59]: 7).
Dalam menyusun anggaran untuk pos-posnya, khalifah paling tidak harus mengikuti enam prinsip utama. Pertama, harta zakat di kas baitulmal, sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur’an, hanya disalurkan kepada delapan ashnaf yang berhak. Kedua, pos pembelanjaan bersifat tetap dan wajib untuk keperluan jihad dan memenuhi kebutuhan orang miskin dan fakir. Ketiga, baitulmal harus membelanjakan uang secara tetap untuk membayar pegawai negeri, hakim, tentara, dan lainnya yang bekerja untuk kepentingan negara.
Keempat, pos wajib yang bersifat tetap untuk membangun sarana kemaslahatan rakyat yang wajib yang jika tidak ada, rakyat akan menderita. Contohnya, pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, dan sistem air bersih.
Kelima, pos pembelanjaan wajib yang bersifat sementara, misalnya untuk membantu korban bencana alam atau musibah, seperti gempa bumi, paceklik, banjir, angin topan, tanah longsor, dsb. Keenam, anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan fasilitas kemaslahatan rakyat tidak wajib, yang berarti bahwa fasilitas tersebut hanya akan menjadi penambahan dari fasilitas yang sudah ada. Tidak akan membahayakan rakyatnya jika tidak ada sarana tambahan.
Untuk pos pengeluaran pertama, khalifah hanya boleh membelanjakan sesuai jumlah harta zakat yang masuk ke kas baitulmal. Untuk pos pengeluaran butir kedua sampai kelima, khalifah harus mengeluarkan uang dari baitulmal sebagai kewajiban negara untuk segera membayar hak-hak rakyatnya sesuai kondisi masing-masing. Untuk butir keenam, jumlah yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan jumlah yang tersedia di baitulmal.
Pajak dalam Islam
Sebagai din yang sempurna, Islam mengatur soal sumber-sumber keuangan negara. Sandarannya sendiri tidak lain adalah ketetapan syariat yang digali dari Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw.. Inilah yang menjamin pelaksanaannya akan membawa kebaikan dan manfaat bagi semua pihak, jauh dari kezaliman.
Sumber-sumber keuangan negara dalam Islam seperti yang disebutkan di atas meniscayakan kesejahteraan yang hakiki bagi rakyat, tanpa membebani dengan pungutan-pungutan receh.
Islam, mengharamkan mengambil utang yang akan menggadai kedaulatan negara. Haram pula menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara.
Pajak dalam Islam hanya akan dipungut negara saat sumber-sumber pemasukan tadi sama sekali tidak ada hingga menyebabkan kas negara kosong adanya. Itu pun tidak semua warga negara dipungut pajak. Yang dipungut hanya orang-orang kaya saja dan akan dihentikan jika kebutuhan negara sudah tercukupi.
Memungut pajak tanpa hak, bahkan dipandang sebagai keharaman. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Dengan demikian, sumber keuangan negara Islam tidak bergantung pada pajak dan utang. Melainkan pada sumber-sumber yang sangat memungkinkan negara Islam menjadi negara yang kaya raya dan mampu menyejahterakan rakyatnya.
Semua harta-harta tadi akan dikelola oleh lembaga keuangan negara yang disebut Baitulmal, lalu pengeluarannya pun diatur berdasar syariat. Tidak ada celah bagi penguasa, termasuk para pegawainya untuk melakukan tindakan curang karena sistem Islam memiliki tiga pilar yang menjamin tindakan curang tidak berkembang di tengah umat.
Wallahu a'lam