Aceh Utara – Pernyataan kontroversial Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) yang mendukung rencana pembangunan empat batalyon TNI di Aceh menuai kecaman keras dari berbagai pihak. Ketua Komite Independen Aceh (KIA) menilai sikap sang rektor sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat perdamaian yang tertuang dalam MoU Helsinki, Minggu (4 Mei 2025).
“Rektor Unimal telah mencederai semangat perjanjian MoU Helsinki dengan menyepakati rencana pembangunan batalyon di Aceh,” tegas Ketua KIA dalam pernyataan tertulisnya. Ia menambahkan bahwa kondisi Aceh pascakonflik sudah jauh lebih stabil. Ancaman bersenjata nyaris tak terdengar lagi, dan masyarakat justru sedang fokus membangun kehidupan yang lebih baik.
Menurutnya, pembangunan batalyon di Aceh terkesan dipaksakan, dan lebih untuk memenuhi kepentingan tertentu ketimbang kebutuhan nyata masyarakat. “Damai RI-GAM sudah mendekati usia remaja 20 tahun lebih kita hidup tanpa desing peluru. Mengapa harus hadir kembali bayang-bayang militer?” kritiknya.
“Rektor yang Melupakan Luka Kolektif Aceh”
Tokoh pemuda Aceh, Muhammad Tori, juga mengecam sikap Rektor Unimal yang dianggap membutakan diri terhadap realitas sosial Aceh. “Sangat disayangkan, seorang akademisi mendukung pembangunan empat batalyon. Padahal di sudut hati rakyat Aceh masih ada luka yang belum sembuh,” katanya.
Ia menyebut bahwa dukungan terhadap penambahan pasukan TNI secara permanen jelas bertentangan dengan butir 4.7 hingga 4.11 MoU Helsinki. Dalam perjanjian itu ditegaskan, personel TNI di Aceh hanya boleh berjumlah maksimal 14.700 orang, khusus untuk pertahanan eksternal. Tidak ada ruang bagi penambahan pasukan secara permanen, apalagi batalyon baru.
“Butuh Pekerjaan, Bukan Batalyon”
Alih-alih mendukung militerisasi, Tori menilai seharusnya sang rektor lebih peka terhadap kebutuhan riil masyarakat Aceh: lapangan pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan yang merata. “Aceh butuh pekerjaan, bukan batalyon. Aceh butuh sekolah gratis, bukan senapan. Aceh butuh rumah sakit, bukan barak militer,” ujarnya pedas.
Ia juga menyoroti pernyataan rektor yang menyebut banyak lahan tidur di Aceh dan mengusulkan agar TNI mengelolanya. “Apakah rakyat Aceh tak sanggup mengelola lahannya sendiri? Kenapa bukan rakyat yang dilibatkan dalam ketahanan pangan? Kenapa TNI?” sindirnya.
"Bahaya Laten, Damai Terancam"
Tori memperingatkan bahwa jika rencana ini tetap dipaksakan, bisa memicu gelombang penolakan luas dan bahkan menggoyahkan stabilitas jangka panjang di Aceh. “Jika ada upaya sistematis seperti ini, maka ini bukan sekadar kesalahan kebijakan, tapi bentuk pengkhianatan terhadap damai itu sendiri,” pungkasnya.
Penolakan terhadap rencana pembangunan batalyon ini terus meluas. Jika suara rakyat diabaikan, sejarah mungkin akan mencatat ini sebagai awal dari kegagalan menjaga amanat damai yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.(R)