Jakarta – Mantan staf ahli senator DPD RI asal Sulawesi Tengah, M. Fithrat Irfan, secara resmi melaporkan unit Pengaduan Masyarakat (Dumas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Dewan Pengawas KPK pada Rabu, 8 Mei 2025. Laporan ini berkaitan dengan dugaan lambannya penanganan kasus suap dalam pemilihan Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI.
Dalam laporannya, Irfan menyebut pihak Dumas KPK belum menunjukkan keseriusan menangani aduan yang telah diajukan sejak 6 Desember 2024 dengan nomor informasi 2024-A-04296. Ia menilai, meski telah menyerahkan bukti kuat, proses aduan tak kunjung naik ke tahap penyelidikan.
"Padahal bukti yang saya berikan sudah jelas," ujar Irfan. Ia menduga ada pihak-pihak yang sengaja menghambat penanganan kasus tersebut.
Irfan juga mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto dalam Program Astacita, khususnya poin nomor 7 yang menekankan integritas KPK.
"Apakah Astacita No.7 Presiden Prabowo Subianto dalam peran KPK RI hanya jargon saja?" tanyanya.
Menurut Irfan, selama lima bulan sejak pelaporan, Dumas KPK hanya memberi janji normatif tanpa tindak lanjut nyata. Hingga kini, pihak terlapor belum dipanggil maupun diperiksa.
"Apakah terlapor kebal hukum? Atau memang benar banyak pihak-pihak berpengaruh yang ingin kasus ini terbungkam karena melibatkan banyak senator yang menerima suap?" ungkapnya.
Irfan menegaskan, jika mantan atasannya terbukti menerima suap, maka semua pihak yang turut menerima akan terkena imbasnya.
"Yang pastinya begini, kalau terduga mantan bos saya terbukti menerima suap, pasti penerima suap akan diusut. Dan semua yang menerima selain mantan bos saya juga akan terkena imbasnya. Di sini jelas integritas dan nama baik KPK RI dipertaruhkan," tegasnya.
Laporan awal Irfan sempat menjadi sorotan publik saat Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2024, bertepatan pula dengan pelantikan Ketua KPK yang baru, Setyo Budiyanto.
"Irfan berharap masalah ini bisa menjadi prestasi baru serta penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pimpinan barunya," ujar dia.
Isi Laporan ke Dewas KPK
Dalam dokumen yang disampaikan ke Dewas KPK, Irfan menguraikan sejumlah poin utama yang menjadi keberatannya:
1. Laporan lambat ditangani. Sejak dilaporkan pada 6 Desember 2024, aduan belum naik dari tahap pengayaan informasi ke penyelidikan atau penyidikan.
2. Pertemuan tidak prosedural. Pada 11 Desember 2024, pihak Dumas KPK—diwakili oleh Bu Stevia, Pak Yopi, dan Kasatgas Dumas—meminta bertemu di luar kantor KPK, tepatnya di Rumah Makan Bakso Malang Enggal, Rawamangun. Dalam pertemuan tersebut, Irfan diminta membawa perangkat elektronik pribadinya untuk dikloning.
"Ini sangat tidak lazim. Saya sebagai pelapor, bukan terlapor," jelas Irfan.
3. Permintaan penyerahan data pribadi. Keesokan harinya, ia diminta datang ke Gedung KPK untuk menyerahkan handphone agar datanya dikloning. Irfan menolak karena alasan privasi, namun tetap menyerahkan seluruh data terkait dugaan suap.
4. Janji tidak ditepati. Ketua KPK dan juru bicara sempat berjanji kasus akan diproses dalam dua bulan, namun hingga kini belum ada kejelasan.
5. Intimidasi terhadap pelapor. Irfan mengaku mendapat peringatan dari Kasatgas Dumas bahwa dirinya bisa dijadikan tersangka. Padahal, ia merupakan pelapor (whistleblower) yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum.
6. Belum ada pemeriksaan terhadap terlapor. Hingga saat ini, Rafiq Al Amri, senator DPD RI yang dilaporkan, belum pernah dipanggil atau diperiksa oleh KPK.
Irfan berharap Dewas KPK dapat menindaklanjuti aduan ini dengan serius dan menuntaskan kasus hingga tuntas.
"Ini salah satu langkah anak bangsa yang ikut andil dalam mendukung pemerintahan yang bersih di parlemen DPD RI," tuturnya.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada media dan masyarakat yang terus mengawal kasus ini. Ia mengajak mahasiswa dan rakyat untuk bersama-sama mengawasi proses hukum ini. (Red/Fad)
Narasumber : M. Fithrat Irfan