Biangkerok! Judol Semakin Marak, Akibat Negara Kapitalis


author photo

13 Jun 2025 - 13.47 WIB



Oleh : Nurnaini S.Kom (Aktivis Muslimah Samarinda)
Aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali terjadi di Samarinda. Kali ini, seorang bapak di kawasan Sempaja, Kecamatan Samarinda Utara, terekam sedang memukuli anaknya sendiri menggunakan gagang sapu hingga patah. Peristiwa memilukan itu terjadi pada Senin (26/5/2025) dan sempat direkam sendiri oleh korban. Dalam video berdurasi 40 detik tersebut, terlihat jelas sang anak menjadi korban penganiayaan. Ia tampak memelas dan meminta ampun, namun tetap menerima pukulan dari ayahnya yang tampak kehilangan kendali. Peristiwa ini menjadi perhatian Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim. Ketua TRC PPA Kaltim, Rina Zainun, mengatakan bahwa tindakan kekerasan pelaku bukan kali ini saja dilakukan. Sang istri, yang juga ibu korban, pernah mengalami perlakuan serupa. "Ketika itu, pelaku kami dampingi untuk dilaporkan ke kepolisian dan sempat ditahan selama dua bulan. Namun setelah dibebaskan, istrinya kembali memaafkan. Sayangnya, kejadian serupa terulang, dan kali ini korbannya adalah anak kandungnya sendiri," ujar Rina. Kejadian terbaru dipicu oleh kemarahan pelaku terhadap anaknya yang menolak disuruh mengambil uang hasil judi slot yang disimpan dalam dompet digital. Karena kesal, pelaku memukul anaknya menggunakan gagang sapu hingga patah. TRC PPA Kaltim kembali mendampingi keluarga korban untuk melaporkan kasus ini secara resmi ke Polsek Sungai Pinang. Laporan tersebut langsung direspons cepat oleh pihak kepolisian.
Judi ibarat candu. Kalahnya membuat penasaran, sedangkan menangnya bikin ketagihan. Seseorang akan mudah menggadaikan apa pun miliknya jika sudah terjerat dalam perjudian. Mirisnya, judi online ini kian marak di masyarakat, menjerat laki-laki maupun perempuan. Ditambah akun-akun virtual yang saling terhubung makin memudahkan bandar judi untuk “merampas” apa saja milik para penjudi. Jangankan harta, keutuhan rumah tangga pun dikorbankan. Diantaranya rumah tangga berantakan, hubungan keluarga tidak karuan, kehidupan pun berserakan. Fenomena ini tentu bukan perkara yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, butuh kajian komprehensif melihat fenomena sosial mengenai judi sebagai bencana bagi keutuhan rumah tangga.
Tidak dipungkiri pemerintah telah melakukan beberapa cara untuk mencegah dampak kerusakan dari judol dengan mengandalkan dua cara untuk memberantas judol. Pertama, upaya pencegahan yang dilakukan lewat jalur edukasi dan literasi. Dalam hal ini, Menkominfo Budi Arie Setiadi, selaku Ketua Harian Pencegahan, diberi mandat oleh presiden untuk mencerdaskan masyarakat untuk mengurangi permintaan judol. Kedua, upaya penindakan yang dikomandoi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Sehubungan dengan hal ini, Usman menyebut Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo juga dilibatkan untuk menurunkan (takedown) situs judol maupun situs yang menampilkan judol. (CNBC Indonesia, 15-6-2024). 
Nah Pertanyaannya, mampukah cara tersebut menyelesaikan dan mencegah masyarakat untuk tidak terjerat dan terjerembak ke dalam lingkaran setan perjudian?
Besarnya animo masyarakat untuk bermain judol jelas sangat memprihatinkan. Sejak dahulu, perbuatan judi memang menghancurkan segalanya. Yang beriman menjadi kalap, yang menang bisa menjadi jahat. Yang kalah bisa gelap mata, yang kaya bisa melarat, apalagi yang miskin. Yang senang bisa sengsara, apalagi yang susah. Ditambah, kompleksitas masalah tersebab sistem kapitalisme makin tidak manusiawi. Siapa pun bisa terjebak judi jika menyangkut masalah ekonomi. Kebutuhan makin banyak, harga-harga melambung tinggi, sedangkan pendapatan tidak beranjak naik. 
Pada akhirnya, masyarakat yang kalut dan buntu menemukan solusi, lebih memilih mengambil jalan pintas, yakni melakukan pinjaman atau judi secara online. Ini mengindikasikan bahwa kemiskinan bisa memicu seseorang berbuat haram yang berpotensi bertindak kriminal. Oleh karenanya, memberantas judi tidak cukup dengan pemblokiran situs, pembekuan rekening, edukasi yang sifatnya parsial, atau penindakan yang belum memberi efek jera bagi pelaku. Ini harus dilakukan secara komprehensif dengan mengubah paradigma masyarakat dan pemangku kebijakan. 
Tentu kita layak bertanya, mengapa terjadi? mengapa judi kian marak? Setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, aspek individu. Jika merujuk tata nilai di masyarakat, judi di negeri ini memiliki konotasi negatif. Kedua, masyarakat. Meski masyarakat memahami bahwa judi merupakan perbuatan tercela, tetapi celaan masih ala kadarnya, lebih karena stigma masyarakat. Sikap individualis cenderung dominan saat mengetahui seseorang melakukan perbuatan tercela. Ketiga, negara. Negara bertanggung jawab atas menjamurnya situs judi online. Negaralah yang memiliki otoritas untuk menertibkan seluruh lalu lintas dunia maya. Sudah seharusnya negara membersihkan praktik judi online di tengah masyarakat. 
Mirisnya, saat ini, negara seakan tidak berdaya mengerahkan seluruh organnya dalam membersihkan dunia virtual dari perjudian. Lantas, bagaimana Islam memandang masalah ini?
Butuh Islam sebagai sistem
Fungsi negara tidak hanya melayani dan mengurusi berbagai urusan rakyat, tetapi juga melindungi serta mencegah warga negaranya dari perbuatan maksiat. Islam telah menerangkan bahwa apa pun bentuknya, perjudian adalah haram. Dengan paradigma ini, negara dalam sistem Islam tidak akan menoleransi segala kegiatan yang berbau judi. 
Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah: 90).
Khilafah akan menerapkan kebijakan secara preventif dan kuratif dalam mengatasi perjudian. Mekanismenya sebagai berikut.
Pertama, melakukan pembinaan dan penanaman akidah Islam kepada seluruh elemen masyarakat melalui sistem pendidikan Islam. Kedua, memberdayakan pakar informasi dan teknologi untuk memutus seluruh jaringan judol agar tidak mudah masuk ke wilayah Khilafah. Negara memberi gaji yang sepadan agar mereka bekerja secara optimal. Ketiga, bisa mengaktivasi polisi digital yang bertugas mengawasi kegiatan dan lalu lintas masyarakat di dunia siber sehingga dapat mencegah masyarakat mengakses situs judi. Keempat, menindak tegas para bandar serta pelaku judi dengan hukuman yang berefek jera. Kelima, menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat agar terwujud kesejahteraan. Negara membuka seluas-luasnya lapangan kerja serta memberi bantuan modal kerja bagi pencari nafkah. Keenam negara tidak boleh mendiamkan sebab mendiamkannya adalah bentuk pelanggaran syariat sekaligus kelalaian atas amanah, lalai terhadap amanah mengurus dan melindungi rakyat. Negara wajib membersihkan praktik perjudian, baik yang tampak maupun di dunia maya. Negara dapat mengerahkan aparat maupun bekerja sama dengan para ahli IT untuk mengidentifikasi praktik perjudian. Ketujuh negara juga harus aktif melakukan edukasi mengenai perkara syariat, hingga berperan dalam memberi sanksi bagi setiap pelanggaran yang terjadi. Sudah selayaknya penguasa memahami besarnya bahaya perjudian. Terlebih, negara yang memahami bahwa rumah tangga adalah institusi terkecil penopang peradaban, tidak akan membiarkan institusi rumah tangga hancur karena para suami terjebak praktik perjudian.
Demikianlah, Islam mampu menuntaskan segala keharaman (termasuk judi) dengan penegakan seluruh syariat Islam dalam sendi kehidupan. Tanpa aturan Islam secara kafah, perbuatan haram, seperti judi, miras, riba, narkoba, dan sebagainya, akan terus bermunculan. Ini karena negara yang berpegang pada prinsip kapitalisme demokrasi tidak menjadikan halal haram sebagai tolok ukur dalam memandang masalah. Hal tersebut tidak akan pernah terwujud jika di negara tercinta kita ini masih menerapkan sistem kapitalis liberal.
Wallahu bissawab
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT