Lhokseumawe — Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Surat Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menyatakan bahwa empat pulau di Aceh Singkil masuk ke wilayah Sumatera Utara menuai kecaman keras dari kalangan mahasiswa. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Malikussaleh (Unimal) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar tidak tinggal diam dan segera bertindak mengembalikan keempat pulau tersebut ke pangkuan Tanah Rencong.
Empat pulau yang dipermasalahkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang secara administratif dan historis selama ini tercatat sebagai bagian dari Aceh. Ketua Umum DPM Unimal, Rendi Alfariq Del Chandra, menyebut keputusan pemerintah pusat itu tidak masuk akal dan mencederai martabat rakyat Aceh.
“Keputusan itu sangat tidak logis dan mengabaikan fakta historis serta bukti administratif yang kuat. Data dari surat nomor 136/40430 tahun 2017 secara eksplisit merujuk pada Peta Topografi TNI-AD tahun 1978, yang menyatakan keempat pulau itu berada dalam wilayah Aceh,” ujar Rendi.
Ia menuding DPRA gagal menjalankan fungsi pengawasan dan pembelaan terhadap kepentingan rakyat. Menurutnya, DPRA terlalu pasif dalam merespons konflik teritorial ini, meski Gubernur Aceh saat itu, Nova Iriansyah, sudah mengirim surat revisi penolakan ke Kemendagri sejak 2019 hingga 2022.
“Apa gunanya DPRA jika kedaulatan wilayah sendiri tidak mampu dijaga? Ini bukan hanya soal peta, ini soal kehormatan Aceh yang diinjak-injak. Rakyat sudah lelah, dan kami tidak akan diam,” tegas Rendi.
Lebih jauh, Rendi juga menyinggung upaya “pengelolaan bersama” yang diusulkan oleh pemerintah Sumatera Utara sebagai bentuk kompromi. Menurutnya, hal ini bukan solusi, melainkan bentuk pengaburan masalah.
“Kami menolak mentah-mentah wacana pengelolaan bersama. Itu sama saja melegitimasi penjajahan wilayah. Aceh punya cukup banyak sumber daya manusia untuk mengelola wilayahnya sendiri tanpa intervensi dari luar,” katanya geram.
Rendi menekankan bahwa pengakuan masyarakat adat dan hukum laut Aceh juga menegaskan identitas pulau-pulau tersebut. Ia menyoroti praktik adat yang masih dijalankan secara turun-temurun oleh nelayan Aceh, yang menandakan ikatan budaya dan wilayah yang kuat.
“Pemerintah pusat dan DPRA harus membawa persoalan ini ke jalur hukum, bukan duduk berdamai dan menyerahkan martabat Aceh untuk dikelola orang lain. Ini bukan sekadar konflik teritorial, ini tentang marwah bangsa Aceh yang dari dulu dikenal sebagai bangsa merdeka,” tutupnya.(**)