Proyek Jalan dan Jembatan Aceh Jaya Tembus Rp33 Miliar: Rakyat Menjerit, Transparansi Gelap, Siapa Diuntungkan?


author photo

18 Jun 2025 - 22.48 WIB




Aceh Jaya — Gelontoran anggaran infrastruktur jalan dan jembatan yang mencapai lebih dari Rp33 miliar di Kabupaten Aceh Jaya tahun 2024 menuai kritik tajam. Proyek-proyek yang digarap Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) itu dinilai lebih menguntungkan kontraktor ketimbang rakyat. Sorotan publik makin tajam karena minimnya transparansi, lemahnya pengawasan, dan dugaan kuat aroma praktik penyimpangan terstruktur, Rabu (18 Jun 2025).

Dibungkus dengan narasi pembangunan, sederet proyek berikut menjadi sorotan publik:

Jalan Leupee – Lhuet – Mukhan: Rp5,9 miliar

Jalan Patek – Suak Beukah: Rp4,7 miliar

Jalan Sp. Lhok Guci – Alue Jang: Rp6,38 miliar

Jalan Wisata Gp. Lhok Timon: Rp2,94 miliar

Jalan Sapek – Gunong Meunasah: Rp2,6 miliar

Jalan Mahkota Utama, Kuala Meurisi: Rp1,68 miliar

Jalan Cot Langsat – Mata Ie – Paya Santeut: Rp906,3 juta

Jalan Paya Baro – Teupin Ara: Rp878,8 juta

Jalan Lhok Kruet – Suak Beukah: Rp963,5 juta

Jalan Lingkungan Dusun Mata Ie: Rp1,39 miliar

Rehabilitasi Jalan Patek – Suak Beukah: Rp2,9 miliar

Jembatan Gp. Lamdurian: Rp576 juta

Jalan Lingkar Gp. Lhok Guci: Rp512,6 juta


Total: Rp33,29 miliar.

Angka tersebut memicu pertanyaan publik: di mana urgensi dan keadilan pembangunan ketika masih banyak warga yang melintasi jalan tanah menuju sekolah dan fasilitas kesehatan?

“Setiap tahun ada proyek jalan, tapi jalan yang sama terus-terusan diperbaiki dengan nama berbeda. Ini bukan pembangunan, ini modus pengurasan anggaran,” tegas seorang pemerhati kebijakan Aceh Jaya kepada media ini.

Ia menyebut proyek infrastruktur sebagai ladang bancakan paling menggiurkan, karena rawan dimainkan melalui mark-up harga, kualitas buruk, hingga pengulangan paket dengan kamuflase nama baru. Pembangunan fisik tak sebanding dengan nilai kontrak, sementara informasi pelaksana dan progres realisasi proyek nyaris tak bisa diakses masyarakat.

"Rakyat tidak butuh jalan yang dibangun asal jadi. Rakyat butuh keadilan, transparansi, dan manfaat nyata dari uang mereka sendiri," kata seorang tokoh muda Aceh Jaya yang menyayangkan proyek jalan wisata senilai hampir Rp3 miliar, sementara akses ke desa-desa masih terisolir.

Kekhawatiran lain datang dari potensi proyek fiktif atau setengah jadi yang dibungkus laporan seolah tuntas. Dengan pengawasan yang lemah, masyarakat tak diberi ruang untuk mengontrol jalannya pembangunan yang seharusnya mereka nikmati.

“Ini proyek ‘senyap’ yang memiskinkan rakyat secara sistematis. Jika tak diaudit, rakyat hanya akan jadi penonton proyek yang dibayar dari uang mereka sendiri,” tambahnya.

Aktivis dan tokoh sipil mendorong agar BPK RI dan Kejaksaan turun tangan untuk mengaudit seluruh proses — mulai dari tender, kontrak, hingga pelaksanaan fisik di lapangan.

“Aceh Jaya harus jadi contoh penegakan hukum terhadap mafia proyek. Jika tidak, daerah ini hanya akan terus dikeruk, dan rakyat tinggal ampasnya,” pungkasnya.

Dalam situasi ini, publik tidak menolak pembangunan — tapi menolak dijadikan objek kebohongan atas nama pembangunan. Transparansi bukan pilihan, tapi keharusan.(Ak)
Bagikan:
KOMENTAR