Aceh Utara – Sengketa batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat setelah sejumlah pulau di kawasan perairan Aceh, termasuk Pulau Mangkir Besar, diklaim masuk ke wilayah administratif Sumatera Utara melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri. Menanggapi hal tersebut, Sanusi, Sekretaris Umum Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Aceh Utara sekaligus mahasiswa Fakultas Hukum, angkat bicara dan mendesak pemerintah pusat untuk segera mencabut keputusan yang dinilai kontroversial itu.
“Kami menilai bahwa SK Mendagri yang mengalihkan status administratif pulau-pulau yang secara historis, geografis, dan sosiokultural merupakan bagian dari Aceh adalah bentuk pengabaian terhadap identitas wilayah dan prinsip keadilan dalam administrasi negara,” tegas Sanusi dalam keterangannya,
Sebagai mahasiswa hukum, Sanusi menyoroti adanya potensi cacat hukum dalam penerbitan SK tersebut. Ia menyatakan bahwa dalam ketentuan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap perubahan batas wilayah harus melalui mekanisme yang jelas dan melibatkan persetujuan antarprovinsi serta DPRD terkait.
“Keputusan sepihak tanpa partisipasi publik dan tanpa proses hukum yang transparan justru berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan ketegangan antarwilayah. Ini sangat berbahaya jika dibiarkan,” ujarnya.
Sanusi menyatakan, IPNU Aceh Utara bersama elemen pemuda akan terus menyuarakan perlawanan terhadap keputusan tersebut sebagai bentuk pembelaan terhadap marwah dan kedaulatan Aceh. Ia juga mendesak Pemerintah Aceh untuk segera mengambil langkah hukum, termasuk menggugat SK tersebut melalui Mahkamah Agung atau mengajukan keberatan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri.
“Kami mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak pasif. Langkah hukum, diplomasi antarwilayah, dan penyampaian aspirasi secara konstitusional harus segera dilakukan. Ini bukan sekadar soal peta wilayah, tetapi tentang jati diri rakyat Aceh yang harus dihormati dan dilindungi,” tegasnya.
Sanusi menegaskan bahwa sebagai mahasiswa hukum, ia dan rekan-rekannya memahami bahwa penegakan hak wilayah tidak bisa hanya bersandar pada narasi politik, tetapi juga harus ditopang oleh dasar hukum dan argumentasi akademik yang kuat.
“Kami akan terus mengawal proses ini secara hukum dan moral. Jangan sampai satu wilayah kehilangan identitas hanya karena kesalahan administratif dari pusat,” pungkasnya.(**)