Ijazah Siluman Dari Lhokseumawe? DPRD Tapsel Terseret Skandal SKB 2012


author photo

24 Jul 2025 - 21.17 WIB


Lhokseumawe — Skandal pendidikan kembali mencuat, kali ini menyeret nama anggota DPRD Tapanuli Selatan ke pusaran dugaan ijazah siluman yang disebut-sebut berasal dari Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Lhokseumawe. Tahun penerbitannya 2012 sebuah periode yang kini disorot tajam karena longgarnya pengawasan dan lemahnya sistem administrasi, Kamis (24 Jul 2025).

Sumber yang tak ingin disebutkan namanya menyebut inisial “Jam” bukan nama sebenarnya sebagai tokoh sentral di balik pengurusan ijazah tersebut. Jam diketahui pemilik salah satu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Lhokseumawe dan diduga memainkan peran aktif dalam menerbitkan dokumen pendidikan non formal yang kini dipertanyakan legalitasnya.

Lebih mengejutkan lagi, Dinas Pendidikan Kota Lhokseumawe disebut telah menerima surat resmi dari Kepolisian Daerah (Polda). Surat tersebut memuat permintaan klarifikasi atas keabsahan ijazah yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan non formal di bawah SKB Lhokseumawe langkah yang menandakan persoalan ini telah masuk ke ranah penyelidikan aparat penegak hukum.

Plt Kadis Pendidikan Kota Lhokseumawe, Dedi Irfansyah, ST., MT., membenarkan adanya surat dari pihak kepolisian terkait masalah tersebut. Sementara itu ditempat terpisah, Kepala SPNF SKB Kota Lhokseumawe, Syamaun, ketika dikonfirmasi berdalih bahwa dirinya baru menjabat pada pertengahan 2014. Ia mengaku tidak bisa menjelaskan detail proses penerbitan ijazah sebelum tahun tersebut karena belum adanya sistem Dapodik dan tertib administrasi yang memadai saat itu.

“Kita belum punya data lengkap karena sebelum 2014 belum menggunakan sistem yang rapi. Itu di luar periode saya,” ujar Syamaun mencoba berkelit.

Namun publik tak mudah diyakinkan. Pertanyaan besar kini menggantung apakah ijazah tersebut benar-benar melalui proses pendidikan sebagaimana mestinya? Atau sekadar produk dari celah sistem pendidikan non formal yang longgar, lalu dimanfaatkan untuk melegalkan posisi politik seseorang?

Tahun 2012 dinilai sebagai periode rawan sistem pendidikan kesetaraan masih belum digital, minim akuntabilitas, dan rentan disusupi manipulasi. Banyak yang menilai, justru di situlah ladang subur bagi praktik ilegal semacam ini tumbuh dari ijazah palsu, jual beli sertifikat, hingga legitimasi palsu bagi pejabat publik.

Kini, publik menanti akankah kasus ini terbongkar hingga ke akar, atau justru kembali ditelan kabut kompromi politik? Skandal ini bukan hanya soal keabsahan selembar ijazah tapi tentang integritas, kepercayaan publik, dan kejahatan sistemik yang mengoyak sendi-sendi demokrasi dari balik meja kelas yang tak pernah ada.(A1)
Bagikan:
KOMENTAR