Negara Mengambil Tanah Terlantar, Untuk Siapa ?


author photo

26 Jul 2025 - 16.34 WIB



Oleh : Wulan Safariyah 
(Aktivis Dakwah)


Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih negara. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis mengatakan, lahan yang sengaja tidak diusahakan, dimanfaatkan, digunakan, atau dipelihara oleh pemegang hak akan ditetapkan sebagai tanah telantar. (Kompas.com, 16/7/2025)

Pengambilalihan, tak hanya bisa terjadi untuk tanah bersertifikat HGU atau HGB saja. Pengambilalihan juga ternyata bisa dilakukan negara terhadap tanah berstatus hak milik jika terlantar. Hal itu diatur dalam Pasal 7 Ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Aturan itu menyebut pengambilalihan bisa dilakukan terhadap tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah.

Selain tanah berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha negara juga bisa mengambil tanah berstatus hak pakai, hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah bila sengaja ditelantarkan dua tahun sejak penerbitan hak.

PP itu juga menetapkan enam kategori objek penertiban tanah terlantar pada Pasal 6. Daftar itu meliputi kawasan pertambangan; perkebunan; industri; pariwisata; perumahan/permukiman skala besar/terpadu; atau kawasan lain yang pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatannya didasarkan pada izin/konsesi/perizinan berusaha yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan ruang. (CNNIndonesia.com)

Kapitalisme dan Penguasaan Tanah

Dalam sistem kapitalisme, tanah dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjual belikan, tanah dianggap bermanfaat jika menghasilkan keuntungan. Dalam sistem kapitalisme tanah bukan sebagai amanah publik yang harus dikelola untuk kepentingan bersama. Tak heran jika penguasaan tanah menjadi ajang bisnis spekulatif bagi kalangan elite.
 
Sekilas, aturan pengambilan tanah terlantar oleh negara tampak bahwa negara seolah ingin mendisiplinkan rakyat kecil agar menggunakan tanah secara produktif. Namun di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa tanah di Indonesia banyak dikuasai oleh korporasi besar melalui skema Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB), sementara rakyat kecil kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang.

Negara seharusnya hadir sebagai pelindung hak rakyat, namun yang terjadi justru sebaliknya, negara seringkali bertindak sebagai fasilitator kepentingan para pemilik modal. Dengan adanya aturan tanah terlantar yang diambil alih oleh negara, Ini bisa menjadi celah bagi pemanfaatan tanah untuk oligarki, sehingga rakyat kecil kembali menjadi korban. 

Pasalnya, Pemerintah dinilai belum memiliki kerangka rencana yang jelas mengenai pemanfaatan lahan-lahan terlantar tersebut. Selain itu, banyak tanah yang dimiliki negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum seperti penyediaan lahan pertanian, perumahan rakyat, atau fasilitas umum, tanah-tanah tersebut justru dibiarkan terbengkalai tanpa kejelasan pemanfaatan. Sehingga dapat memicu penyalahgunaan atau pengelolaan tidak tepat sasaran. 

Sebagaimana yang disebutkan oleh Yayat Supriyatna,Pengamat Tata Kota transportasi kepada media Bloomberg Technoz, Jumat (18/7/2025). "Bahkan tanah-tanah aset lembaga pemerintah tidak dibangun oleh mereka bertahun-tahun terlantar. Contohnya yang nggak tahu tanahnya siapa? Tanahnya BMKG. Tanah BMKG di Tangerang didudukin preman. Jadi ada kebijakan-kebijakan yang seharusnya sebelum ditujukan ke masyarakat, tunjukkan dulu bahwa negara itu mampu mengelola. Bukan sekedar mengambil alih.”

Negara seolah hanya memandang pengelolaan tanah dari aspek ketersediaan anggaran, seakan-akan tanah hanya layak dikelola jika memberikan manfaat dan menguntungkan secara finansial. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan yang sangat penting bagi masyarakat bukan komoditas yang hanya bernilai ekonomi. Namun, kapitalisme menjadikan semua hal, termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan investor, sehingga mengabaikan kepentingan rakyat kecil dan kelestarian lingkungan.

Perlu ada perubahan sistem dalam pengelolaan tanah yang lebih berpihak pada rakyat kecil dan lingkungan. Negara harus menjadi pelindung hak rakyat dan mengelola tanah untuk kepentingan bersama, bukan hanya untuk kepentingan pemodal. 

Pengelolaan Tanah dalam Sistem Islam

Dalam sistem Islam (Khilafah), pengelolaan tanah terbagi menjadi tiga jenis kepemilikan: individu, umum, dan negara. Pengelolaan tanah dalam sistem ini memiliki tujuan yang jelas, yaitu untuk kesejahteraan dan keberkahan rakyat, bukan hanya untuk laba.

Negara tidak boleh menyerahkan tanah untuk dikuasai individu atau swasta tanpa batas. Sebaliknya, Khilafah akan mengelola tanah-tanah milik negara untuk proyek strategis yang menyentuh kebutuhan rakyat, seperti: Permukiman untuk rakyat, pertanian untuk meningkatkan ketersediaan pangan, dan Infrastruktur umum untuk memfasilitasi kehidupan masyarakat.

Tujuan pengelolaan tanah dalam sistem Islam bukanlah laba, melainkan kesejahteraan dan keberkahan rakyat. Dengan demikian, tanah dikelola untuk kepentingan bersama, bukan hanya untuk kepentingan individu atau korporasi.

Islam memiliki mekanisme pengelolaan tanah yang jelas, termasuk tanah terlantar dan tanah mati. Mekanisme ini memastikan bahwa tanah dikelola dengan efektif dan efisien untuk kepentingan rakyat. Dengan pengelolaan tanah yang tepat, Khilafah dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencapai keberkahan.

Tanah dalam Islam merupakan bagian sektor penting dalam perekonomian, yaitu sektor pertanian. Ada tiga sektor lainnya, yaitu sektor industri, sektor perdagangan, dan sektor jasa. Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (1963) menjelaskan dua hal terpenting mengenai tanah, khususnya lahan pertanian: 

Pertama, kepemilikan (al-milkiyyah). Kedua, produktivitas (al-intaj). Keduanya ini sangat berkaitan dan tidak boleh dipisahkan. Jadi setiap ada kondisi yang memisahkan aspek kepemilikan dengan aspek produktivitasnya, Islam akan mencegahnya. Misalnya, seseorang sudah memiliki tanah, tetapi tidak ada produktivitasnya, misalnya karena tanahnya ditelantarkan, maka Islam akan mengatasinya dengan membolehkan negara mengambil paksa tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut itu, lalu memberikan tanah itu kepada yang mampu mengelolanya agar produktif.

Mengenai kepemilikan, tanah itu dapat dimiliki oleh individu melalui enam cara yang ditetapkan syariah, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (1963). Keenam cara syariah itu adalah; (1) jual-beli; (2) waris; (3) hibah; (4) ihya‘ul mawat (menghidupkan tanah mati); (5) tahjir (meletakkan batu di sekiling tanah mati yang dihidupkan); dan (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).

Namun, kepemilikan tanah ini, khususnya lahan pertanian, ada syaratnya, yaitu tidak boleh ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Jika ditelantarkan tiga tahun berturut-turut, hak kepemilikannya hilang, sebagaimana dijelaskan dalam As-Sunnah dan Ijmak Shahabat. Hukum ini berlaku umum, baik untuk tanah yang dimiliki melalui ihya‘al-mawat dan tahjir maupun yang dimiliki melalui cara-cara lainnya, yaitu jual-beli, waris, hibah, dan iqtha’. Selanjutnya, tanah yang ditelantarkan itu akan diambil-alih oleh negara dan diberikan kepada yang mampu mengelolanya.

Dengan demikian, pengelolaan tanah terlantar dalam Islam adalah tanggung jawab bersama antara negara dan masyarakat, dengan tujuan untuk kesejahteraan dan keberkahan umat. Tanah juga dapat menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat.

Wallahu'alam bissawab
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT