Remaja, Dunia Digital, dan Tantangan Kesehatan Mental: Saatnya Membangun Karakter Cerdas dan Bijak


author photo

18 Jul 2025 - 13.50 WIB


Banda Aceh, 16 Juli 2025 – Dunia digital telah menjadi lanskap utama kehidupan remaja Indonesia saat ini. Namun di balik layar ponsel dan media sosial, tersembunyi kompleksitas yang tak sedikit berkontribusi pada meningkatnya tekanan mental generasi muda. Dalam konteks inilah, lebih dari 150 siswa kelas 10 SMA Labschool Unsyiah mengikuti sesi edukasi bertema Membangun Karakter Pemuda Cerdas & Bijak di Era Digital bersama GEN-A (Generasi Edukasi Nanggroe Aceh), dalam rangkaian Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tahun ajaran 2025/2026.

Di tengah ketergantungan yang semakin tinggi terhadap gawai, para remaja menghadapi tekanan sosial yang belum tentu mereka pahami atau mampu kendalikan. Dari paparan informasi yang berlebihan, perbandingan hidup di media sosial, hingga kecemasan akan citra diri dan cyberbullying, para remaja terjebak dalam ruang digital yang sering kali menuntut lebih banyak daripada memberi.

Menurut dr. Imam Maulana, Direktur Eksekutif GEN-A sekaligus narasumber utama kegiatan ini, persoalan kesehatan mental remaja tak bisa lagi dipisahkan dari dinamika kehidupan digital mereka. “Kita sedang menghadapi generasi yang mengalami tekanan tak terlihat. Mereka terlihat aktif, produktif, bahkan lucu di TikTok — tapi di balik itu, banyak yang kesepian, cemas, dan tidak tahu ke mana harus bicara,” ujarnya.

*Kesehatan Mental dan Karakter Digital*
Alih-alih hanya menyampaikan definisi teknis atau aturan bermedia sosial, sesi edukasi ini lebih menekankan penguatan karakter dan kesadaran diri. Remaja diajak memahami bahwa cerdas bukan sekadar pintar akademik, dan bijak bukan hanya soal bersikap sopan. Keduanya adalah fondasi penting untuk membangun kesehatan mental yang kokoh di era digital.

“Karakter bukan hanya tentang apa yang kamu tahu, tapi siapa kamu saat tidak ada yang melihat. Bagaimana kamu memperlakukan orang lain di kolom komentar adalah cerminan siapa kamu sebenarnya,” jelas Annisa Putri salah satu edukator GEN-A yang juga mahasiswa Pendidikan Dokter FK Abulyatama.
Di dalam kelas terbuka selama dua jam tersebut, peserta dikenalkan lima pilar karakter cerdas dan bijak di era digital: integritas digital, literasi & berpikir kritis, kreativitas, empati & toleransi, serta manajemen diri.

Setiap pilar dikemas dalam contoh konkret: dari bagaimana mengenali dan menghindari hoaks, melindungi data pribadi, menyadari jejak digital yang tak pernah hilang, hingga praktik membatasi penggunaan media sosial untuk menjaga keseimbangan hidup.
“Otak kita lebih canggih dari algoritma mana pun. Tapi kalau tidak dilatih berpikir kritis, kita bisa diperdaya konten sesat atau jadi korban manipulasi,” tambah Aiza, salah satu edukator yang memfasilitasi sesi reflektif dan kuis interaktif, yang juga mahasiswa Ilmu Pemerintahan USK.

*Digitalisasi dan Tekanan Tak Kasat Mata*
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO), kecemasan sosial, dan citra diri yang dibentuk dari likes atau followers telah menjadi pemicu tekanan psikologis baru bagi remaja. Paparan berlebihan terhadap kehidupan sempurna orang lain di media sosial menciptakan standar ilusi yang tidak realistis. Tidak sedikit yang akhirnya merasa kurang berharga, tertinggal, bahkan kehilangan arah.

Sementara itu, kasus perundungan siber juga kian meningkat. Banyak remaja yang menjadi sasaran ejekan, fitnah, atau intimidasi di ruang digital, namun merasa malu atau takut untuk melapor. Dalam sesi ini, siswa dibekali strategi menghadapi tekanan digital, termasuk cara mengelola emosi, membangun ketahanan mental, dan mencari bantuan ketika diperlukan.

“Kami ingin anak-anak tahu bahwa sehat mental juga berarti tahu kapan harus istirahat dari gawai, kapan harus berbicara, dan kapan harus mengabaikan hal-hal yang tidak membangun,” Ujar Farah Novilianti Irawan, co-trainer dari tim edukator GEN-A yang juga mahasiswa Pendidikan Dokter FK USK.

*Dari Edukasi ke Transformasi*
Alih-alih hanya menjadi ajang ceramah satu arah, sesi edukasi ini dikembangkan sebagai ruang dialog terbuka yang memicu refleksi diri. Para peserta juga terlibat dalam kuis literasi digital, bernyanyi dan senam tangkal hoaks, hingga tanya jawab interaktif.

Salah satu peserta, Hafizh Alshidiqi (17), mengaku bahwa kegiatan ini membantunya lebih menyadari dampak media sosial terhadap emosinya. “Ternyata banyak hal yang saya anggap biasa, padahal bisa berbahaya buat mental saya. Seperti membandingkan diri terus-terusan sama orang lain di Instagram, ikutan tren FOMO. Setelah ikut sesi ini, saya lebih paham cara jaga diri,” ujarnya. "Kegiatan sangatlah menarik, pembawaan dari tim narasumber yang interaktif, asik dan ada games, nyanyian, dan senam edukatif buat kami senang. terbaik deh pokoknya" jelasnya Hafizh yang juga Ketua OSIS.

*Menuju Generasi yang Tangguh dan Berdaya*
dr. Imam menegaskan, membangun generasi cerdas dan bijak digital bukan sekadar tugas guru TIK atau konselor sekolah. “Ini kerja lintas peran: sekolah, keluarga, komunitas, bahkan negara. Kita harus menciptakan ekosistem yang mendorong pertumbuhan karakter dan kesehatan mental anak muda secara menyeluruh,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa literasi digital tak boleh berhenti pada soal keamanan daring atau pengenalan teknologi semata. “Harus naik kelas. Kita ajak remaja untuk berpikir etis, berempati, bertanggung jawab, dan produktif di ruang digital. Mereka bukan sekadar konsumen, tapi juga warga digital yang punya kuasa dan dampak.”

Kolaborasi bersama OSIS SMA Labschool Unsyiah  ini ada bagian dari upaya GEN-A dalam menyiapkan generasi Aceh yang bukan hanya unggul secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan sosial. “Kami percaya bahwa kesehatan mental adalah fondasi penting dari karakter bangsa. Remaja yang cerdas dan bijak secara digital adalah aset masa depan,” tambah Imam Maulana, yang juga praktisi kesehatan masyarakat.

Kegiatan ini menandai langkah penting dalam membangun kesadaran bahwa teknologi harusnya menjadi alat pemberdaya, bukan sumber tekanan. Sebab, membentuk karakter yang kuat dan sehat tidak bisa ditunda, terlebih di tengah dunia digital yang tidak mengenal waktu.

Penulis: dr. Imam Maulana (Edukator Kesehatan Mental)
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT