Daripada Makan Riba, Tengku Rabo Sarankan Mualem Dirikan PT KPA


author photo

20 Agu 2025 - 21.23 WIB



BANDA ACEH – Dua dekade damai, tapi bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih hidup dalam kemiskinan. Anak-cucu mereka sebagian besar hanya jadi penonton pembangunan. Sementara para elit politik Aceh sibuk berebut kursi, proyek, dan memperkaya diri.

Kritik telak ini datang dari Anwar Daod alias Tengku Rabo, kombatan GAM wilayah Perlak. Dalam pernyataan persnya, Rabu, 20 Agustus 2025, ia menyebut damai Aceh sudah terlalu lama dipermainkan. Alih-alih melahirkan kesejahteraan, ia menilai yang muncul hanya “politik dagang sapi” dan program kosmetik tanpa dampak nyata.

“Banyak kawan seperjuangan sudah meninggal. Anak-anak dan cucu mereka hidup susah, sementara elit berfoya-foya. Lalu dibuat Dana Abadi yang katanya Rp 1,5 triliun, tapi Rp 650 miliar saja sudah amburadul. Jangan harap sisanya jadi berkat,” sindir Tengku Rabo.

Lebih keras lagi, ia menuding konsep Dana Abadi hanya menjebak eks kombatan untuk ‘makan riba’. “Meski lewat bank syariah, kalau intinya membungakan uang, tetap haram. Tanya saja Abu Paya Pasie, yang baru dikukuhkan Mualem sebagai Imam Besar Masjid Raya,” tegasnya.

PT KPA, Bukan Janji Kosong

Alih-alih menunggu janji-janji politik yang selalu basi, Tengku Rabo mendorong Mualem segera mendirikan PT KPA (Perseroan Terbatas Kebun Pejuang Aceh). Skema ini dinilainya lebih bermartabat ketimbang dana abadi yang rawan dikorupsi.

Konsepnya sederhana tapi konkret: lobi ke pemerintah pusat untuk HGU minimal 10.000 hektar, tanam sawit, kembangkan peternakan, bangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan pabrik minyak goreng. Semua dikelola profesional, transparan, bebas dari campur tangan politikus rakus.

“Kalau hanya mengandalkan pemerintah Aceh, habislah. PT KPA harus berdiri independen. Buat kontrak manajemen profesional, biar tidak bisa diganggu siapapun,” tekannya.

Kritik untuk Elit Aceh

Pernyataan Tengku Rabo bukan sekadar usulan, tapi juga tamparan keras untuk elit Aceh yang gemar bersembunyi di balik jargon “perdamaian”. Baginya, damai dua dekade bukan untuk dijadikan panggung politik, melainkan jaminan hidup layak bagi para eks kombatan dan keturunannya.

“Jangan biarkan anak-cucu pejuang tetap miskin, sementara elit terus mengangkangi proyek. Dua puluh tahun damai harusnya jadi bukti bahwa Aceh mampu berdiri di atas kakinya sendiri,” ujarnya pedas.

Bukan Sekadar Ekonomi, Tapi Tanggung Jawab Moral

Lebih dari sekadar bisnis, PT KPA diposisikan sebagai jalan penghidupan. Jika berhasil, ia akan menjadi bukti bahwa sumber daya Aceh bisa diubah jadi kesejahteraan nyata, bukan hanya angka di atas kertas atau proyek bancakan elit.

“Kalau terus begini, damai Aceh hanya jadi simbol. Yang merasakan manfaatnya segelintir orang, bukan rakyat yang sebenarnya paling berhak,” tutup Tengku Rabo.(R)
Bagikan:
KOMENTAR