Oleh: Fina Siliyya, S.TPn.
Kelaparan hebat yang kini menimpa Gaza bukan sekadar musibah kemanusiaan biasa, melainkan sebuah bentuk penindasan sistemik yang dirancang dengan sadar. Sejak blokade total diberlakukan oleh Israel pada 2 Maret 2025, lebih dari 70% wilayah Gaza tertutup rapat. Ribuan truk bantuan dihancurkan, dan anak-anak tak berdosa meregang nyawa karena kekurangan gizi. Kelaparan bukan lagi akibat sampingan dari perang, tapi telah dijadikan alat penghancur yang menyakitkan.
Berbagai laporan dari PBB dan media internasional memperkuat bukti bahwa ini bukan kejadian acak, melainkan bagian dari strategi yang menindas dan melumpuhkan. Ironisnya, dunia hanya menyaksikan. Amerika Serikat tetap menjadi pelindung politik bagi Israel, PBB tampak tak berdaya, dan sebagian besar pemimpin Muslim memilih diam. Seolah-olah jerit pilu dari Bumi Para Nabi tak lagi menggugah nurani.
Umat Islam pun perlahan dilemahkan oleh propaganda dan narasi ketidakberdayaan yang terus ditanamkan. Padahal sejarah telah mencatat: ketika umat ini bersatu dalam satu akidah dan tujuan, mereka mampu menjadi pelindung keadilan dan cahaya bagi dunia.
Kini, penderitaan Gaza bukan hanya tentang kemanusiaan, tapi juga ujian bagi keimanan kita. Bantuan kemanusiaan memang dibutuhkan, tapi tidak cukup. Solusi sejati hanya akan lahir dari kebangkitan dan persatuan umat Islam—melalui dakwah, kepedulian, dan perjuangan nyata untuk melindungi darah dan kehormatan kaum Muslimin.
Gaza memang jauh secara geografis, tetapi jeritannya dekat bagi hati yang beriman. Tangisan kelaparan anak-anak di sana adalah seruan yang tak boleh dibungkam. Mari jadikan ini sebagai momen untuk bersuara, menyatukan langkah, dan menumbuhkan tekad menuju perubahan yang hakiki.