Korupsi Terus Mengerogoti Negeri Ditengah Beban rakyat Semakin Berat


author photo

1 Agu 2025 - 20.32 WIB




Oleh : Meltalia Tumanduk, S. Pi
(Pemerhati Masalah Sosial) 

Korupsi menjadi penyakit yang amat berat menyerang negeri ini. Ibarat penyakit kanker, korupsi terus bersarang dan menggerogoti Negeri ini. Tentu ini merugikan Negara. Terlebih lagi masyarakat. Sebagai negara hukum, Indonesia telah melakukan berbagai upaya. Baik yang bersifat preventif maupun represif. Salah satunya dengan di bentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari hasil kerja KPK ini banyak terungkap kasus korupsi dan triliunan uang negara berhasil diamankan. Mirisnya, dari sederet pelaku korupsi yang diamankan beberapa diantaranya masih berusia sangat muda. 

Salah satunya yang pernah membuat warga Kaltim geger dengan operasi tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Nur Afifah Balqis alias Bilqis. Ia ditangkap Januari 2022 saat usianya baru 24 tahun. Bilqis menjabat sebagai bendahara DPC Partai Demokrat Balikpapan, sebuah jabatan yang dia peroleh saat masih menjadi mahasiswi hukum. Ia menjadi tersangka kasus suap pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Kabupaten Penajam Paser Utara. Uang suap senilai Rp447 juta disimpan di rekening pribadinya dan KPK menyita total Rp5,7 miliar dari operasi tersebut. Bilqis akhirnya divonis 4 tahun 6 bulan atas perbuatannya. Kasus ini juga menjerat Abldul Gafur Mas'ud, Bupati PPU saat itu. (prokal.co, 16/7/2025) 

Sulitnya Berantas Korupsi

Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa korupsi masih saja terus terjadi? Bahkan seakan menjadi tradisi dan prestasi. Korupsi terjadi dimana-mana. Dari daerah hingga skala nasional. Korupsi sungguh telah menggurita di Negeri ini. Padahal upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan. Namun sangat sulit dilakukan. Hal ini berakar dari diterapkannya sistem sekulerisme kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. 

Dalam sistem sekuler kapitalisme ini kekuasaan cenderung korup akibat tidak ada kontrol agama terhadap perilaku manusia saat menjadi penguasa. Bahkan ini sistem ini hadir dalam sistem pendidikan. Sehingga melahirkan sistem pendidikan rusak karena jauh dari agama. Agama hanya boleh termanifestasi dalam sektor privat, yaitu akidah, ibadah, dan akhlak. Sedangkan dalam sektor publik yang salah satunya adalah sistem politik kenegaraan, agama tidak boleh hadir dan mengatur. Akibatnya, kekuasaan berjalan liberal, penguasa pun seolah-olah berwenang untuk berbuat semaunya demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya.

Selain itu dalam sistem politik yang ada, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Begitulah dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi, dan cukong pemberi modal politik amat berpengaruh. 

Sementara sistem hukum yang berbelit untuk membuktikan kasus korupsi. Sehingga banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga ringan. Bahkan meski telah dijebloskan dalam jeruji besi, para koruptor ini masih bisa menikmati fasilitas mewah. Jadi, jangankan mencegah tindak pidana korupsi, jerah pun mereka tidak. 

Islam Cegah dan Tuntaskan Korupsi

Pemberantasan korupsi akan sangat sulit dilakukan jika sistem yang digunakan masih sistem yang ada sekarang. Buktinya sampai saat ini masalah korupsi tidak pernah tuntas. Bahkan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena sistem sekuler yang diterapkan saat ini justru menjadi sebab maraknya korupsi. Oleh karena itu, diperlukan sistem lain yang mampu menyelesaikan korupsi hingga akarnya. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam. 

Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus. 
Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi. Spirit ruhiah yang sangat kental ketika menjalankan hukum-hukum Islam, berdampak pada menggairahnya budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.

Diberlakukannya juga seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.

Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda: 

“Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah. (HR. Abu Dawud)

Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.

Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.

Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Rasulullah SAW bersabda: 

“Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan. (HR. Abu Dawud).

Dalam Islam, status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan.

Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, mereka malah enjoy dengan mobil mewah terbarunya, serta fasilitas-fasilitas yang lain.

Dengan sistem Islam, pemberantasan korupsi bisa benar-benar dilakukan hingga tuntas. Aturan Islam ini lengkap dan efektif dalam menangani masalah tindak pidana korupsi. Islam menyelesaikan masalah dari hal yang mendasar sampai cabangnya. Sistem Islam juga memiliki cara dalam pencegahan, hingga penyelesaian. 

Oleh karena itu, betapa kita rindu dengan penerapan sistem Islam yang akan membawa umat kepada keberkahan dan kesejahteraan.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50). 

Wallahu a’lam bi ash-shawab
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT