Swasembada Pangan dalam Islam Mandiri Tanpa Investasi


author photo

2 Agu 2025 - 09.45 WIB




Oleh: Ninis (Aktivis Muslimah Balikpapan)

Sekilas, visi pemerintah untuk mencapai swasembada pangan ibarat angin segar. Program tersebut seakan-akan menampakkan keseriusan pemerintah terhadap masalah ini. Namun, patut dipertanyakan apakah pelaksanaan program ini bisa terwujud di tengah kompleksitas persoalan pertanian dan pangan yang membelit, mulai dari hulu (produksi dan pasokan) hingga ke hilir (akses masyarakat dan jaminan konsumsi)? 

Kali ini, Pemerintah Desa Loa Raya, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur tengah mempersiapkan sebagian wilayahnya untuk swasembada pangan. Pemerintah pun merencanakan investasi skala besar oleh investor asal Malaysia. Rencana investasi ini mencakup empat desa, yakni Loa Raya, Loa Pari, Loa Ulung, dan Tanjung Batu, dengan fokus pengembangan di sektor perkebunan, industri, pariwisata, dan perumahan.

Kepala Desa Loa Raya, Martin, mengungkapkan investor utama berasal dari grup usaha Malaysia yang dipimpin oleh Dato Tan Sri, pemilik saham terbesar di perusahaan MKH. Melalui PT Megah Utama Mandiri (MUM), mereka berencana menanamkan investasi pada pengembangan durian, singkong, dan pisang di wilayah tersebut. (kaltim.tribunnews.com )

Ketahanan pangan dengan menggalakkan kembali swasembada pangan menjadi sesuatu yang patut diapresiasi. Namun, mengapa mewujudkan swasembada pangan harus dengan melibatkan investasi asing?

*Persoalan Paradigma*

Sejatinya, permasalahan pengelolaan pertanian pangan bukan hanya teknis, bersifat sistemis. Paradigma pengelolaan pangan saat ini berpijak pada cara pandang yang kapitalistik yang melihat pertanian dan pangan hanya sebagai komoditas ekonomi dan tujuan pengelolaannya sebatas untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Paradigma batil inilah yang menyebabkan kapitalisasi pertanian dari hulu ke hilir untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan pemenuhan kemaslahatan rakyat tidaklah menjadi orientasi. Selain itu, pemenuhan ketahanan pangan kapitalistik ini diukur secara komunal bukan individual, sehingga mustahil terwujud aspek pemerataan pemenuhan pangan.

Menurut pendapat pengamat pertanian Emilda Tanjung, M.Si., "Paradigma rusak dari ideologi sekuler kapitalisme ini tentu saja memengaruhi konsep pengaturan pangannya. Tata kelola pertanian dan pangan berjalan dengan beberapa prinsip, yaitu pertama, fungsi negara dibatasi sekedar regulator dan fasilitator. Kedua, peran operator meluas dari kalangan korporasi sehingga terjadi penguasaan pada seluruh lini dari hulu ke hilir. Ketiga, unit teknis pemerintah semisal BUMN/BUMD berperan seperti korporasi yang bertujuan bisnis. Keempat, model kekuasaan pemerintahan bersifat desentralisasi sehingga melahirkan otonomi daerah yang menimbulkan egosentris.

Lagi-lagi investor asing dilibatkan dalam pengelolaan desa semakin menunjukkan lemahnya pengurusan negara dalam pembangunan desa. Padahal investasi asing merupakan jalan pintas penjajahan sehingga kedaulatan negara hingga desa bisa terancam. Investasi sebenarnya hanya menguntungkan para investor. Bahkan menjanjikan akan membuka peluang kerja bagi rakyat sekitar tetapi nyatanya sekedar buruh kasar teknis, yang berkuasa tetap pihak investor. 

Seharusnya, swasembada pangan adalah hal yang strategis dikelola sendiri, tetapi sistem kapitalisme justru membolehkan investasi. Swasembada dan kemandirian pangan yang diimpikan jika bergantung asing tidak akan tercapai. Apalagi melibatkan koperasi desa atau BUMDes dengan sistem bagi hasilnya 25 persen untuk masyarakat dan 75 persen untuk investor, sangat nampak siapa yang diuntungkan.

*Kemandirian Pangan dalam Islam*

Sangat berbeda dengan Islam yang menetapkan paradigma dasar yang unik terkait pangan dan kewajiban pemenuhannya. Dalam Islam, pangan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan kebutuhan pokok yang menjadi hak bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, pemenuhannya pada seluruh individu rakyat merupakan tanggung jawab negara yang harus ditunaikan. Sehingga seluruh rakyat mudah mengakses kebutuhan pangannya. 

Berdasar paradigma ini, maka tanggung jawab pengurusan pangan berada di pundak pemerintah dan tidak boleh diserahkan kepada pihak lain. Melibatkan investor asing dalam mengelola proyek strategis (ketahanan pangan) sangat berbahaya. Untuk itu negara yang wajib bertanggung jawab mengurusi semua kebutuhan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada hadis lain, Nabi saw. juga menegaskan, “Sesungguhnya, seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (HR Bukhari dan Muslim).

Paradigma lainnya bahwa pemenuhan ini bersifat individual secara menyeluruh, bukan kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Alhasil, kalau negara ingin mewujudkan swasembada pangan, tidak boleh sebatas memproduksi bahan pangan sesuai jumlah penduduk, tetapi juga harus memastikan bahan pangan tersebut terdistribusi merata kepada semua rakyat. Artinya, pemerintah wajib bertanggung jawab, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi agar tujuan tersebut tercapai.

Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tata kelola yang khas sesuai Islam. Pertama, pemerintah wajib hadir sebagai raa’in dan junnah dalam pemenuhan pangan, mengurusi mulai dari produksi sampai konsumsi dengan prinsip pelayanan. Kedua, lembaga teknis, seperti BUMN/BUMD, berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang juga berorientasi pelayanan. Ketiga, anggaran pembiayaan menggunakan sistem baitulmal dan bersifat mutlak sehingga negara tidak boleh bergantung kepada dana investasi, apalagi utang luar negeri.

Demikian paradigma Islam dalam ketahanan pangan, jika diterapkan dalam kehidupan akan mampu mewujudkan kedaulatan pangan yang sesungguhnya. Bahkan, penerapan konsep ini secara kaffah juga akan melahirkan kemandirian pangan yang bisa tahan terhadap berbagai kondisi. Wallahualam
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT