Kebijakan pemerintah terkait pelayanan terhadap rakyat makin tak karuan dan terkesan asal-asalan. Belum lama mengeluarkan pernyataan terkait efisiensi anggaran, pemerintah kini mengaku mengalami keterbatasan anggaran. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menyampaikan bahwa pemerintah telah menyalurkan bantuan pangan beras 20 kg per KPM (keluarga penerima manfaat) dan 10 kg beras per bulan yang dijadwalkan hingga Desember 2025. Namun, bantuan tersebut tidak akan berlanjut pada tahun 2026. Sebagai gantinya, pemerintah akan menyalurkan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). (cnnindonesia.com, 12/09/2025)
Sementara itu, dikutip dari sumber berita yang sama, berdasarkan laporan dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), dalam 8 bulan pertama di tahun 2025 ini beras terus naik, baik untuk beras kualitas biasa, medium maupun beras super (premium). Bahkan harganya melampaui HET (harga eceran tertinggi), yakni mencapai Rp 60 ribu per kilogram. Meski begitu, pemerintah tetap optimis bisa melakukan swasembada beras.
Munculnya program SPHP ini dinilai tidak solutif dan efektif dikarenakan beberapa sebab diantaranya: ketersediaan beras SPHP tidak merata, lambatnya penyaluran, banyaknya kecurangan seperti kasus beras oplosan dan ganti kemasan, terjadinya pelanggaran seperti penimbunan, serta pengawasan yang lemah. Lebih jauh dari itu, pasokan beras, kualitas dan harga pasar ditentukan oleh para pemain besar, yakni pedagang dan eksportir yang bekerjasama dengan segelintir penggilingan besar. Semakin nyata kerusakan distribusi dari hulu ke hilir. Meskipun stok beras melimpah, beras tidak akan sampai ke masyarakat sesuai aturan. Dan ini sudah terjadi secara berulang tanpa ada solusi tuntas. Akhirnya rakyat pula yang dirugikan.
Begitulah mekanisme ekonomi dalam sistem kapitalisme. Proses produksi yang terus digenjot tidak diimbangi dengan distribusi yang benar. Rakyat dipaksa untuk terus membeli beras dengan harga yang tak masuk akal, meski dengan kualitas yang tak layak sekalipun. Sementara itu, tingginya harga beras membuat stok beras di gudang Bulog menumpuk. Dibuanglah beras-beras tersebut karena busuk dan tak layak konsumsi. Sebagaimana temuan Ombudsman pada 300 ton beras di gudang Bulog yang dibuang dan mengakibatkan kerugian pada negara sebesar Rp 4 triliun. Sungguh tindakan keji yang melukai hati rakyat. Di saat dakyat kesulitan mendapatkan beras, mereka dengan tanpa perasaan melakukan tindakan yang memilukan.
Hal ini sungguh bentuk kezhaliman terhadap rakyat. Kebutuhan pokok rakyat yang seharusnya dijamin oleh negara nyatanya tidak dilaksanakan dengan semestinya. Sistem kapitalisme memang rusak dari akarnya, tak akan bisa menuntaskan problem manusia secara menyeluruh karena bertentangan dengan syariat. Sementara itu, sistem Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan rakyat dengan baik dan benar, karena negara dalam sistem Islam adalah pekayan bagi rakyat.
Negara dalam sistem Islam yang disebut dengan khilafah akan melaksanakan sistem ekonomi dengan mekanisme pasar yang dikelola sesuai syariat. Bantuan pangan akan diberikan secara gratis kepada rakyat, atau dengan harga yang sangat terjangkau. Para petani akan mendapatkan harga yang sesuai dengan komoditas pangan yang dijual. Negara khilafah juga akan melarang praktik-praktik penimbunan bahan pangan serta oligopoli yang mengintervensi harga pasar. Hukuman yang setimpal akan diberikan atas setiap kejahatan yang dilakukan. Negara khilafah juga akan mengawasi proses produksi hingga distribusi pangan secara sistemis sehingga bisa secara mandiri melakukan swasembada pangan dan keadilan dapat dirasakan oleh rakyat.