Indonesia Membara, Akankah Perubahan Mewujud Nyata?


author photo

16 Sep 2025 - 20.15 WIB


Oleh : Mial, A.Md.T (Aktivis Muslimah) 

Sejak 25 Agustus 2025, berbagai aksi massa terjadi di 107 titik di 32 provinsi di Indonesia. Di beberapa tempat, aksi berlangsung anarkis, bahkan hingga memakan korban jiwa. Menanggapi hal tersebut, Presiden Prabowo menyebut soal adanya upaya makar dan terorisme yang dilakukan para mafia. Hal ini ia sampaikan dalam konferensi pers yang digelar di Istana Negara pada Ahad (31-8-2025).CNBCIndonesia)

Ia juga mengatakan akan menyelidiki siapa yang bertanggung jawab dan tidak akan ragu untuk membela rakyat dan melawan para mafia. Ia juga memerintahkan agar pihak Kepolisian dan TNI segera mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku tindak perusakan fasilitas umum, penjarahan terhadap rumah individu, serta sentra-sentra ekonomi sesuai dengan hukum yang berlaku.

Sebelum 25 Agustus, seruan aksi massa memang sudah tersebar di media sosial atas nama Revolusi Rakyat Indonesia. Para penggagasnya mengajak semua elemen masyarakat untuk turut dalam aksi tersebut. Tujuannya adalah menyampaikan protes terhadap berbagai kebijakan penguasa yang kian hari kian menyusahkan rakyat. Pemicunya sendiri adalah adanya kebijakan soal pajak khususnya kenaikan PBB yang dipandang sangat zalim dan akhirnya memicu demo besar-besaran di berbagai daerah. Di Pati, sekitar 100.000 warga turun ke jalan, menuntut Bupati Sudewo meletakkan jabatan. Di Jombang, Semarang, Bone, dsb., masyarakat dan mahasiswa juga turun ke jalan karena Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) naik drastis, bahkan di Cirebon kenaikan terjadi hingga 1.000%.

Kekisruhan ini diperparah dengan pembahasan RAPBN yang strukturnya dipandang makin tidak adil. Di satu sisi atas nama efisiensi, pembiayaan pada sektor-sektor layanan umum terus dipangkas dan pendapatan dari pajak pun terus digenjot. Di sisi lain, pos pembelanjaan dirancang sangat boros pada program-program populis dan berbau politik. Termasuk soal rencana penambahan tunjangan anggota DPR hingga angka yang fantastis. Padahal, kasus-kasus korupsi yang dilakukan para penjabat negara—baik eksekutif maupun legislatif—kian marak dan kinerja mereka pun dipertanyakan.

Fakta-fakta itulah yang awalnya mendorong para demonstran turun ke jalan pada 25 Agustus 2025. Mereka secara damai menyampaikan beberapa tuntutan, termasuk pengusutan kasus dugaan korupsi keluarga Mantan Presiden Joko Widodo dan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, serta mendesak DPR untuk menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai kontrol pemerintah.



Namun ndilalah-nya, alih-alih mendengarkan berbagai kritik keras dan masukan dari masyarakat, beberapa anggota DPR malah mengeluarkan berbagai pernyataan dan melakukan perbuatan yang kian memancing kemarahan rakyat. Di luar kebiasaan mereka melakukan flexing, ada di antara mereka yang menghina rakyat dengan kata-kata kasar, nyinyir atas protes rakyat soal tunjangan DPR, termasuk malah berjoget ria di gedung DPR seolah bergembira atas kenaikan tunjangan yang praktis akan membebani APBN.

Fakta-fakta itulah yang kemudian memancing berbagai kecaman sekaligus memicu aksi massa yang lebih besar. Bukan hanya lebih besar, tapi juga brutal dan liar. Sebagian pihak melihat aksi lanjutan ini menunjukkan banyak kejanggalan. Berbagai video dan siniar berbagai tokoh masyarakat turut menganalisis dan menyinggung bahwa aksi ini ditunggangi pihak tertentu yang ingin berbuat makar. Dengan kata lain, aksi ini diduga merupakan operasi cipta kondisi dalam rangka menumbangkan pemerintahan.

Hanya saja, terlepas dari semua kekisruhan ini, sejatinya ada hal yang pantas kita renungkan. Mengapa kondisi bangsa ini tidak pernah beranjak dari keterpurukan? Mengapa rakyat makin sensitif dan begitu mudah terpicu dengan provokasi dan narasi kemarahan? Mengapa para pejabat justru makin bebal, padahal berbagai aksi massa terus berjalan? Mengapa kondisi rakyat tidak pernah berubah, bahkan kian hari kian bertambah parah? Bukankah mereka selalu terlibat dalam memilih pimpinan melalui pesta lima tahunan?

*Sekadar Asal Berubah*

Indonesia sendiri pernah punya pengalaman soal kondisi chaos seperti yang terjadi hari ini. pada 1998, terjadi demo besar-besaran hingga menumbangkan rezim yang dipandang korup dan diyakini sulit ditumbangkan. Sebagian meyakini bahwa 1998 ini menjadi pintu gerbang bagi bangsa ini untuk menyongsong masa depan yang jauh lebih baik di bawah bendera reformasi. Namun apa yang terjadi? Alih-alih membawa kepada perubahan yang didambakan, warisan masalah dari orde baru dan lama justru kian bertumpuk dan bertambah berat dari rezim ke rezim yang ada pada era reformasi. Liberalisasi ekonomi dan sosbud pun berjalan makin masif, hingga kondisi negara makin rusak di semua sektor dan di semua lini.


Tampak pula pada masa ini ada upaya terstruktur, sistematis, dan masif untuk membangun dinasti kekuasaan. Sampai-sampai berbagai “aturan simsalabim” diubah tanpa ada yang mampu melakukan perlawanan. Kursi kekuasaan pun tidak lebih sebagai ajang bancakan para oligarki terkait proyek pemilu lima tahunan. Suara oposisi dibungkam bahkan dengan menggunakan undang-undang. Kentalnya politik pencitraan yang dikemas dengan program-program populis dan bombastis benar-benar telah mampu menutup watak represif yang ada di balik topeng kesederhanaan.

Lantas, bagaimana dengan rakyat? Seperti biasanya, mereka selalu jadi objek penderita. Sebagian kecilnya menjadi modal properti penguasa dalam berbagai drama proyek populis bernama bansos dan kartu-kartuan. Tidak jarang daya kritis mereka hilang sehingga tidak sadar bahwa apa yang mereka terima bukanlah hadiah, tapi hak yang semestinya mereka dapatkan lebih banyak dari penguasa. Mereka pun tidak paham bahwa rakyat lain yang jumlahnya jauh lebih banyak justru tidak mendapatkan hak-haknya dengan dalih penghasilan mereka ada di atas garis kemiskinan, yakni senilai Rp609.160 per kapita per bulan!

Sesungguhnya, mayoritas masyarakat sudah lama memimpikan perubahan. Terlebih kehidupan mereka alih-alih membaik. Kemiskinan makin merebak dan makin parah, gap sosial makin lebar, moral generasi makin hancur, politik pun penuh dengan intrik dan hipokrisi. Namun sayangnya perubahan yang ada pada benak mereka masih sebatas asal berubah. Cara berpikir mereka masih sangat pragmatis dan selalu fokus pada pergantian personal.

Itulah sebabnya rakyat negeri ini masih mudah diiming-iming iklan dan pencitraan. Meski sering dikecewakan, mereka selalu saja melakukan kesalahan yang berulang. Mereka menempuh jalur demokrasi yang memaksa untuk hanya fokus pada pergantian orang. Padahal, jika dicermati lebih dalam, akar dari semua problem kehidupan yang mereka hadapi justru karena buruknya sistem sekuler demokrasi yang diterapkan.

*Islam Satu-Satunya Jalan Perubahan*

Sejatinya, masyarakat hari ini sudah memiliki modal pertama untuk perubahan, yakni adanya kesadaran bahwa kondisi mereka dan negaranya sedang tidak baik-baik saja. Aksi-aksi massa dan tuntutan yang terus berulang menjadi bukti bahwa kesadaran itu telah ada. Hanya saja, sadar akan adanya masalah saja tentu tidak cukup untuk menggerakkan seseorang atau masyarakat untuk berubah. Diperlukan juga kesadaran tentang apa akar masalah bagi semua problem yang terjadi, ke mana arah perubahan atau kehidupan ideal yang layak dikejar, dan bagaimana peta jalan mewujudkan perubahan tersebut.

Terkait semua problem yang sedang mengimpit kehidupan masyarakat pada hari ini jelas tidak ada yang berdiri sendiri alias tunggal. Semua saling kait-mengait alias bersifat sistemis, yakni akibat penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal yang tegak di atas paham kebebasan. Dari paham ini lahir berbagai aturan sekuler yang sarat berbagai kepentingan dan membuka ruang besar terjadinya “adu kuat” kepentingan modal yang pada saat sama berkelindan dengan kepentingan para pemburu kekuasaan. Berbagai intrik politik pun akan dilakukan, semata demi memenangkan ego kepemimpinan dan melanggengkan dinasti kekuasaan.

Alhasil menempuh jalur demokrasi untuk perubahan hakiki, justru bagai pungguk merindukan bulan. Bukan hanya tidak akan sampai pada kondisi ideal yang diinginkan, keterlibatan umat dalam perubahan ala demokrasi justru hanya akan melanggengkan keburukan.

Sebagai din yang sempurna, Islam telah memberi tuntunan yang jelas dan komprehensif tentang perubahan, mulai arah, hingga jalannya. Satu-satunya arah perubahan yang harus menjadi tujuan adalah tegaknya sistem Islam (Khilafah) sebagai versus dari sistem demokrasi sekuler kapitalisme yang terbukti destruktif dan memunculkan kekacauan. Khilafah ini tegak di atas landasan akidah Islam dan berfungsi menegakkan hukum-hukum Allah yang diturunkan sebagai problem solving atas seluruh problem kehidupan.

Sejarah mencatat keberadaan Khilafah telah membawa umat Islam tampil sebagai umat yang mulia-sejahtera selama belasan abad. Sebaliknya ketiadaan Khilafah menjadi sebab keterpurukan dan kemunduran umat hingga sekarang. Hal ini merupakan bukti dari janji Allah sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an.

Allah Swt. berfirman, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka menyebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96).

Adapun jalan mewujudkan Khilafah adalah dengan membangun kesadaran ideologis di tengah umat untuk menggantikan cara berpikir pragmatis yang ada pada mereka. Caranya adalah dengan menggencarkan dakwah di tengah umat agar mereka paham bahwa jalan kemuliaan dan kebangkitan mereka hanya ada pada Islam. Yakni Islam yang diterapkan secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, bukan jalan demokrasi yang penuh dengan tipuan dan keburukan.

Dakwah seperti ini tentu bukan perkara mudah dan ringan. Para penjaga sistem sekarang akan berusaha menjauhkan umat dari dakwah Islam kafah dan para penyerunya dengan menciptakan berbagai fitnah. Mereka tentu tidak akan rela membiarkan sistem yang telah lama menguntungkan mereka akan runtuh begitu saja. Mereka siap mengerahkan seluruh daya dan upaya agar kekuasaannya akan langgeng sepanjang masa.

Hanya saja mereka lupa bahwa bandul sejarah akan saatnya berubah. Abad mereka akan segera lewat dan berganti dengan abad Khilafah. Terlebih kedatangan kembali Khilafah yang tegak di atas minhaj kenabian sudah Allah janjikan dan Rasulullah ﷺ kabarkan. Yang pasti, kita tinggal memastikan bahwa kita ada di barisan jamaah Islam ideologis yang tidak kenal lelah bekerja untuk segera mewujudkannya. 

 Wallahualam'Bishowab
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT