Kohabitasi, Zina, dan Tragedi Mutilasi: Potret Gelap Generasi Liberal


author photo

17 Sep 2025 - 14.36 WIB


Oleh: Sarah Ainun

Cinta yang seharusnya menghadirkan kasih dan ketenangan, justru bisa berubah menjadi mimpi buruk yang menelan nyawa. Ketika ikatan suci pernikahan ditinggalkan, dan hubungan dijalani tanpa aturan syariat, cinta sering kali kehilangan arah. Apa yang semula tampak manis bisa berakhir tragis—bahkan dengan cara paling kejam yang sulit dibayangkan.

Seperti di lansir dari DetikNews (08/09/2025). Tragedi cinta berdarah dari Mojokerto dan Surabaya mengguncang hati banyak orang. Potongan tubuh seorang wanita muda ditemukan berserakan, setelah diidentifikasi ternyata milik seorang gadis yang tinggal bersama pacarnya.

Sang pacar, yang juga pelaku mutilasi, menyimpan ratusan potongan tubuh korban di kamar kosnya. Alasan yang terungkap sungguh ironis: ia kesal tidak dibukakan pintu kos dan merasa terbebani oleh tuntutan ekonomi sang pacar.

Tragedi ini jelas menyisakan luka batin bagi keluarga korban, tetapi juga menghadirkan pertanyaan lebih dalam bagi kita semua: mengapa relasi yang dibangun atas nama cinta justru berakhir dengan kekerasan paling keji? Apa yang salah dengan cara generasi muda menjalani hubungan hari ini?

Fenomena Kohabitasi: “Gaya Hidup” Generasi Muda

Kasus ini menyingkap fakta tren kehidupan bebas generasi muda, yaitu living together atau kohabitasi alias kumpul kebo. Tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan bukan lagi dianggap tabu, bahkan semakin banyak dipilih dengan alasan “praktis” dan “rasional”.

Beberapa anak muda menganggap kohabitasi sebagai uji coba sebelum menikah, untuk saling mengenal lebih jauh pasangan mereka. Sebagian lain beralasan soal efisiensi biaya hidup, berbagi sewa kos, listrik, hingga kebutuhan sehari-hari. 

Pandangan semacam ini diperkuat oleh sebagian psikolog. Sebagaimana disampaikan oleh Psikolog Virginia Hanny, ada tiga hal yang bisa jadi pertimbangan oleh pasangan sebelum memutuskan kohabitasi. Pertama, tinggal bersama ini merupakan kemauan dari kedua belah pihak tanpa adanya paksaan sama sekali. Kedua, Menentukan lokasi tinggal (berkaitan dengan biaya hidup, sewa, listrik, dll.). Ketiga, mengetahui apa tujuan dari tinggal bersama dan menentukan batasan yang jelas.

Sekilas terdengar rasional, tetapi benarkah kohabitasi hanya sekadar “pilihan hidup”? Ataukah ia pintu masuk pada kerusakan yang lebih dalam?

Akar Masalah: Sekularisme dan Liberalisasi Pergaulan

Fenomena ini tidak lahir dari ruang kosong. Sekularisme—ide yang memisahkan agama dari kehidupan—membuat manusia merasa bebas bertindak tanpa panduan halal-haram. Marah, cinta, atau senang bisa dilampiaskan dengan cara apa pun, seolah hidup hanya untuk memuaskan nafsu dan keinginan pribadi.

Dalam masyarakat sekuler-liberal, pacaran tidak lagi dipandang sebagai aib dan praktik kemaksiatan yang melanggar syariat. Tinggal bersama dengan pacar bahkan dipromosikan sebagai sesuatu yang wajar, “modern”, dan “dewasa”. 

Negara pun abai: aktivitas pacaran, tinggal serumah, bahkan hubungan seks pranikah tidak dipidana, kecuali jika ada unsur pemaksaan atau korban. Artinya, zina dianggap bukan persoalan negara, melainkan sekadar “pilihan pribadi”.

Inilah wajah nyata liberalisasi pergaulan: membiarkan generasi muda terseret arus kebebasan semu yang menormalisasi kohobitasi—jalan menuju kemaksiatan dan zina—tragisnya, dari dosa yang dipelihara itu, lahirlah tragedi kelam yang tak hanya merenggut kehormatan, tapi juga nyawa; mutilasi yang mengoyak nurani kita sebagai manusia dan bangsa.

Fakta Kerusakan Sosial

Mutilasi hanyalah satu potret ekstrem. Di luar sana, pergaulan bebas telah melahirkan banyak kerusakan sosial, diantaranya: data aborsi ilegal menunjukkan tingginya angka kehamilan di luar nikah, kasus kekerasan dalam pacaran meningkat dari tahun ke tahun, serta tingginya angka perceraian juga dipicu oleh pernikahan yang dilandasi pergaulan bebas tanpa kesiapan tanggung jawab.

Kohabitasi yang awalnya dianggap solusi praktis justru berakhir dengan konflik, kekerasan, bahkan kriminalitas. Bagaimana mungkin generasi yang diharapkan menjadi pilar bangsa justru tumbuh dalam lingkungan yang melegalkan zina dan merelakan kehormatan dirusak oleh tren toksik “gaya hidup rusak”?

Solusi Islam: Membangun Pergaulan yang Sehat

Islam hadir dengan sistem sosial yang menyelamatkan manusia, bukan menjerumuskannya ke dalam kerusakan. Ada tiga pilar utama yang menjadi fondasi. Pertama, individu bertakwa. Ketakwaan adalah benteng awal yang menjaga seseorang agar tidak terjerumus dalam pacaran, kohabitasi, apalagi zina. 

Orang yang beriman menyadari bahwa tubuh, jiwa, dan kehidupannya adalah amanah dari Allah, bukan miliknya semata. Karena itu, setiap langkah dan perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Al-Qur’an menegaskan:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).

Ayat ini mengingatkan bahwa seorang Muslim bukan hanya dilarang berzina, tetapi juga dilarang mendekati segala jalan yang bisa mengantarkan ke sana, termasuk pacaran dan kohabitasi. Maka, ketakwaan membuat seorang hamba selalu berhati-hati, menjaga pandangan, pergaulan, dan batasan agar tidak melanggar aturan Allah.

Kedua, kontrol masyarakat. Selain individu, masyarakat juga memiliki peran penting. Kontrol sosial hadir lewat amar ma’ruf nahi munkar, yaitu saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dengan begitu, lingkungan tetap sehat dan tidak menjadi tempat subur bagi maksiat.

Allah berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).

Jika masyarakat diam terhadap pergaulan bebas dan kemaksiatan, maka kerusakan akan cepat menyebar.

Pilar terakhir adalah negara. Islam menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab menjaga moral dan perilaku masyarakat. Negara harus membentuk rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah, menegakkan aturan pergaulan Islami, dan menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran syariat.

Allah menegaskan:
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”(QS. Al-Hajj: 41).

Dengan tegaknya peran negara dalam bingkai Islam kaffah, masyarakat akan terlindungi dari kerusakan, dan tujuan penciptaan manusia—yakni beribadah kepada Allah—bisa diwujudkan secara nyata.

Alarm untuk Bangsa

Kasus mutilasi di Mojokerto-Surabaya seharusnya menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Bahaya kohabitasi bukan hanya soal “hidup bersama tanpa nikah”, melainkan tentang bagaimana sekularisme telah merusak sendi moral generasi.

Kita tidak boleh lagi menutup mata. Liberalisasi pergaulan bukanlah tanda kemajuan, melainkan jalan menuju kehancuran. Saatnya bangsa ini berani kembali kepada Islam sebagai solusi hakiki.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT